jantung. Maklum, waktu itu belum ada spesialis penyakit jantung d kota saya praktek. Pasien-pasien dengan keluhan jantung, bahkan paru-paru-pun berobatnya ke dokter ahli penyakit dalam.
Saya cukup sering merawat pasien penyakitDari banyak pasien jantung yang dirawat, ada beberapa pasien yang masih saya ingat, yang faktor risikonya atau pencetusnya kemungkinan karena "Emotional Stress."
Pasien pertama, seorang laki-laki, saya lupa umurnya, mungkin sekitar 50 tahun. Datang konsultasi dibawa anaknya dengan keluhan nyeri dada yang khas untuk serangan jantung, disertai mual, berkeringat banyak, agak sesak.
Menurut cerita anaknya waktu itu, sebelum sang Ayah mengeluh nyeri dada, bertengkar cukup lama dengan Ibunya. Tidak berapa lama kemudian saya lihat ayah jadi pucat, keringat bercucuran dan hampir jatuh sambil memegang dadanya.
Ketika saya tanya, "Apa sering melihat Bapak sama Ibu bertengkar?" "Ya dokter," jawab sang anak agak ragu.
Mendengar jawab sang anak, hati saya bergumam, barangkali inilah salah satu faktor risiko bapak ini mengalami serangan jantung. Stres berkepanjangan yang dapat menjadi racun bagi tubuhnya, baik fisik maupun psikis.
Pasien kedua, juga usia sekitar 50 tahun, laki-laki, profesi sebagai pegawai negeri. Mengalami serangan jantung ketika sedang mengikuti rapat.
Saya tidak tidak tahu pasti apa sebabnya beliau mengalami serangan jantung, tapi dari informasi yang saya dapat, Ia kelihatan sangat gelisah sebelum menyampaikan masalah kinerja di instansinya.
Nah, pada contoh dua kasus serangan jantung, kemungkinan besar sebagai faktor pencetusnya adalah stres. Menurut teori, stres, terutama stres kronis, merupakan salah satu faktor risiko penting penyakit jantung koroner.
Seperti diketahui, stres yang tidak terkendali mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan jantung. Stres dapat menyebabkan lonjakan tekanan darah, denyut jantung meningkat---Anda merasa jantung berdebar lebih kuat dan kencang--irama jantung tidak teratur, konstriksi atau penyempitan pembuluh darah jantung. Semua ini dapat berakhir dengan serangan jantung dan kematian tiba-tiba karena jantung.
Dan, berkaitan dengan stres ini, ada studi yang pernah dilakukan dan menunjukkan bahwa puncak serangan jantung terjadi antara jam 7 dan 10 pagi, pada hari Senin, dengan kejadian serangan jantung 21% lebih tinggi dari hari-hari lainnya, dan yang paling rendah pada hari Sabtu.
Tingginya kejadian serangan jantung pada hari pertama masuk kerja (Senin) dan paling rendah pada hari libur (Sabtu) menegaskan bahwa stres--dalam penelitian stres karena tekanan kerja--memang dapat menyebabkan serangan jantung (Prevent, Halt & Reverse Heart Disease; Pscatella J.C & Franklin, B.A).
Kemudian, pada tahun 1994 terjadi gempa cukup dahsyat di Los Angeles. Pada hari kejadian didapatkan 24 kasus kematian tiba-tiba karena jantung, atau penyakit terkait jantung. Meningkat tajam dari rata-rata 5 kematian pada hari-hari biasa. Kejadian ini menunjukkan bahwa stres mempunyai peranan penting kejadian serangan jantung.
Karena itu, di era modern sekarang, stres itu ada di mana-mana dan tidak mengenal waktu. Sumber stres sekarang bukan lagi binatang buas, harimau, singa yang nongol tiba-tiba di depan rumah Anda, tapi bisa berupa tagihan listrik, harga gas, sembako yang semakin naik, biaya pendidikan anak, tuntutan kerja, kemacetan di jalan, dan suasana hubungan dalam keluarga.
Jadi, stres adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Maka, respons, reaksi kita menghadapi stres itu lah yang sangat penting. Respon dan reaksi itulah yang akan menentukan perjalanan hidup kita, bahkan kemungkinan penyakit yang akan mendera kita ke depan, termasuk penyakit jantung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H