Tuan LS, 58 tahun, yang tinggal tidak kauh dari rumah sakit tempat saya praktek adalah salah satu dari banyak pasien penyakit ginjal kronis yang akhirnya menjalani terapi pengganti hemodialisis atau cuci darah.
Pertama kali masuk intalasi hawat darurat sekitar satu tahun yang lalu dengan keluhan sesak nafas, sakit kepala, mual, muntah, tidak mau makan, lemas.Â
Keluhan yang sudah cukup lama dirasakannya dan sudah mencoba mengkonsumsi obat yang dibeli sendiri, berobat alternatif yang menjajikan bahwa ia akan sembuh, mengonsumi bermacam herbal  tetapi tidak ada perbaikan, malah semakin hari semakin berat. Karena keluhan yang senakin berat inilah  pasien kemudian dibawa oleh keluarganya ke instalasi gawat dariurat.
Pada pemeiksaan di instalasi gawat darurat,menurut dokerr IGD didapatkan tekanan dsrah yang sangat tinggi, 215/120 mmhg, jantung membesar, edema paru.
Pads  pemeriksaan laboratorium ada anemia berat, hiperkalemi, dan fungsi ginjal yang sangat menurun yang  dapat dilihat dam creatinin serum yang sangat tinggi, lebih dari 10, dengan estimasi fungsi fitrasi ginal kurang dari 10 %, begitu juga indikator fungsi ginjal lainnya. Melihat keadaan klinis pasien, dan hasil laboratoriumnya, pasien akhirnya disarankan untuk menjalani cuci darah segera.
Seperti kebanyakan pasien  yang akan cuci darah, awalnya sering tudak menerima dan menolak. Tapi, dengan edukasi yang diberikan dan dukungan kekuarga pasien akhirnya setuju.
Nah, sampai sekarang Tn LS ini sudah menjalani hemodialisa lebih dari satu setenga tahun. Saya lihat  semakin lama penampilannya  semakin lebih baik, apalagi dibandingkan dengan pertama kali dia dilarikan ke instalasi gawat darurat.
Pernah waktu dia kontrol di poli, sambil berseloroh mengatakan, "Dok, kalau saya bersikukuh menolak cuci darah dulu, saya tidak tahu, apakah masih bisa ketemu dokter."
"Hehehehe, itulah ketentuan Allah, takdir," jawab saya.
Lalu, Tn LS yang berpenampilan kekar, tapi agak pendek,  kepala  botak, raut muka yang khas ini adalah salah satu pasien yang menarik bagi saya terkait dengan sikapnya dalam menjalani hemodialisis ini.
Seperti diketahui, bahwa bila kita  dihadapkan dengan penyakit yang berat seperti  ginjal kronis, apalagi harus cuci darah, bermacam perasaan negatif pasti akan bergejolak dalam hati dan pikiran kita. Depresi, stress, takut, cemas, sering  dialami oleh pasien, apalagi pada tahap awal didiagnosis dan menjalani cuci darah.
Disinilah saya lihat perbedaan Tn LS ini dengan pasien lain. Walaupun pada tahap inisiasi hemodialisis dia sedikit mengalami stres, depresi dengan bermacam keluhan, tetapi tidak laman kemudian, setelah cuci darah rutin dua kali seminggu, semua berubah, penampilannya sudah jauh berbeda.
Kalau saya masuk ke ruang hemodialisis, sebelum saya menuju ke tempat tidurnya, dengan suara lantang dia lebih dahulu menyapa saya, "pagi dokter, apa kabar?" sambil senyum, beranjak duduk dan mengangkat tangan kanannya. Terlihat dari wajahnya perasaan senang seperti tidak ada beban yang dirasakannya sama sekali.
Lalu, melihat sikap bapak ini, dalam hati saya sering mengaguminya, luar biasa bapak ini, andaikan saya sendiri yang ada di tempat tidur itu, belum tentu saya bisa seperti dia. Dan, ketika saya sampaikan kepada dia, "hebat bapak, masih bisa senyum dan ketawa, masih dapat bercanda, tidak banyak mengeluh, seperti bapak tidak ada masalah, tidak ada tekanan."Â
Apa jawabannya?
"Mau bagaimana lagi dokter, ini sudah takdir saya, saya jalani, nikmati saja. Mudah-mudahan dengan cara seperti ini Allah mengampuni segala dosa-dosa saya, kesempatan bagi saya untuk menghargai waktu, kesehatan, dan semakin dwkst dengan Allah. Â Dan, toh, kalau saya menolak, saya tidak terima, saya banyak berkeluh kesah, keadaan tidak akan lebih baik, bisa tambah buruk dokter."
Lalu mendengar penuturan Tn LS ini, saya tidak heran setelah satu setengah tahun lebih menjalani  cuci darah keadaan kesehatannya secara keseluruhan kelihatan  semakin baik saja. Bahkan orang tidak akan mengira bahwa dia adalah penderita penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani cuci darah.
Dan, memang penelitian menunjukkan bahwa faktor psikologis yang dialami pasien sangat menentukan kualitas hidup, dan bahkan angka kematian pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.
Karena itu, tidak hanya untuk penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, tapi penyakit apa saja, termasuk wabah Covid-19 yang kita alami sekarang, reaksi, respon, cara kita menghadapinya akan sangat menentukan.#irsyalrusad #healthylife
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI