Mohon tunggu...
Irsyal Rusad
Irsyal Rusad Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Internist, FK UGM

Internist. Tertarik dng bidang Healthy Aging, Healthy Live, Diabetes Mellitus Twitter; @irsyal_dokter

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Beras Mahal; Pemulung Ini Merintih Pedih Kelaparan

16 Maret 2015   12:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14264847071157855591

[caption id="attachment_373246" align="aligncenter" width="300" caption="plus.google.com"][/caption]

Suatu pagi seperti biasa,  setelah menegakkan shalat subuh saya pergi jogging di sepanjang sisi BKT. Di sana, memang ada jalur khusus yang sering digunakan masyarakat sekitarnya untuk bersepeda,  jalan, jogging, atau lari.  Hari Sabtu dan minggu biasanya cukup rame yang melakukan aktivitas itu. Namun, pagi itu karena bukan hari libur dan hari juga masih gelap, susana di sana sangat sepi. Jalan raya yang biasanya sering macet, kelihatan masih lengang, sesekali kendaraan bermotor lewat dengan kecepatan tinggi. Tiupan angin yang cukup kencang terdengar berdesis menerpa pepohonan yang mulai rindang di sepanjang jalur khusus itu

Di tengah-tengah suasana yang lengang, gelap dan sedikit mencekam itu, sebelum saya mulai jogging, saya lihat dari kejauhan ada bayangan seseorang yang sedang duduk di sana. Jangan-jangan orang yang ingin berbuat jahat, bisik say dalam hati. Sayapun agak ragu dan takut juga, tapi, saya lihat dia hanya sendiri, kalau sendiri, mudah-mudahan tidak apa-apa, pikir saya. Dan, sayapun terus melanjutkan jogging.

Mendekati bayangan itu, samar-samar, saya lihat seseorang yang sedang duduk menunduk ke depan. Wajahnya tidak kelihatan sama sekali, tapi jelas tampak dia berperawakan kurus, kecil, barangkali sudah agak tua, dan semakin dekat saya dengar agak jelas suara rintihan seperti oranng yang kesakitan. Ke dua tangannya kelihatan memegang perutnya, tampak badannya juga sedikit gemetar, entah karena menahan sakit atau barangkali kedinginan karena cuaca memang agak dingin waktu itu. Di sampingnya, saya lihat onggokan satu karung plastik, setengah berisi dibiarkan begitu saja. Hmm, pasti seorang pemulung, gumam saya

Karena masih agak gelap, dan agak ragu untuk menghampirinya saya tetap melanjutkan jogging, melintas di depannya. Beberapa kali saya bolak-bolak balik tidak jauh darinya. Saya lihat   dia masih duduk seperti itu, rintihan seperti orang kesakitan sayup-sayup masih saya dengar. Pasti bapak ini sakit, naluri dokter saya mengatakan begitu. Kemudian saya berhenti, menegur sambil memegang pundaknya, bapak sakit? Tanya saya.

Agak lama baru dia menjawab; "tidak, hanya perut saya agak pedih dan mual"

Wajahnya tampak pucat, keringat merembes dari pori-pori di mukanya, tangannya masih memegang perutnya.

"Apa dada Bpk juga sakit, sesak nafas?" tanya saya. Jangan-jangan Bpk ini mengalami serangan jantung saya agak curiga

"Tidak, saya sering seperti ini"

"Sering seperti itu, mengapa?"

"Saya belum makan dari semalam, kalau terlambat makan, sering begini"

"Kok belum makan?"

"Tidak cukup uang beli nasi Pak, biasanya dengan uang 3-4 ribu saya sudah bisa makan". Sekarang enggak dapat  lagi,  kata yang jual nasi, beras mahal sekarang

"Bapak kerjanya  memulung?" tanya saya pura-pura tidak tahu. Padahal onggokan karung plastik yang sudah kumal yang sedikit berisi gelas-gelas, botol plastik tampak jelas di dalamnya.

"Ya, sudah beberapa tahun ini sejak saya meninggalkan kampung saya. Saya biasanya nyari botol plastik dan apa saja yang bisa dijual. Satu hari bisa dapat 2-3 kilo, 1 kilo dibeli 5 ribu rupiah. Ini barusan saja mengumpulkan plastik-plastik yang ada di sekitar sini", ceritanya

Kalau 2-3 kilo plastik, berarti hanya sekitar 10-15 ribu rupiah per hari? ....Apa yang bisa dimakannya, untuk sekedar mengganjal perutnya sehari-hari?...entahlah. Dan, terbayang oleh saya banyak pemulung lain dengan nasib yang sama dengan bapak ini. Usia tua yang harusnya dinikmatinya dengan bercengkrama dengan anak-cucunya, sebaliknya dia ini masih berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi.

Lalu, cukup lama saya berbincang-bincang dengan Bpk pemulung ini. Mulai dari usianya, pekerjaannya, kampungnya, tempat tinggalnya, istri, dan anak-anaknya.

Nah, ternyata pemulung yang kecil kurus ini sudah berusia sekitar 65 tahun, punya  1 istri, dan 3 orang anak yang tinggal di pacitan. Tidak punya tempat tinggal di Jakarta, berpindah-pindah dari satu emperan toko ke emperan lainnya, bahkan bisa saja di kolong jembatan.

Hmm, beras mahal sekarang, banyak yang menjerit seperti itu. Pemulung tua yang tidak sendiri  ini, yang kurus, kelihatannya yang juga sakit-sakitan ini merintih menahan pedih di lambungnya karena belum diisi sejak tadi malam.  ................Dan, apakah penguasa negri ini mau sedikit menoleh kepada mereka, ikut merasakan pedihnya kehidupannya ?........ Bukan malah sebaliknya, memburu-buru mereka.#irsyalrusad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun