Mohon tunggu...
Irsyal Rusad
Irsyal Rusad Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Internist, FK UGM

Internist. Tertarik dng bidang Healthy Aging, Healthy Live, Diabetes Mellitus Twitter; @irsyal_dokter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhala 9 Senti Ini Nyaris Membunuh Bayinya

4 Desember 2014   15:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:04 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam perjalanan di sebuah "speed boat" yag cukup padat penumpangnya, dari arah belakang tiba-tiba saya mendengar tangisan seorang bayi yang cukup kuat. Saya pikir waktu itu, wajarlah seorang bayi menangis, barangkali tangisan ini karena sang bayi yang merasa tidak nyaman, kepanasan. Penumpang yang rame, "speed boat" tanpa AC saya kira adalah penyebab suasana yang tidak nyaman bagi sang bayi.

Tangisan bayi seperti tidak henti, dan agak cukup lama kemudian, dari arah belakang saya lihat sepasang suami-istri yang masih muda membawa bayinya ke depan. Sambil berjalan di tengah-tengah hempasan ombak yang cukup kuat saat itu, sang Ibu berusaha menggoyang-goyang sang bayi yang masih tetap menangis. Sang bapak yang mengiringi si istri juga tampak berusaha menghentikan tangisan sang bayi. Sambil tetap mengisap rokok dengan tangan kirinya, dia mengipasi sang bayi yang menurutnya barangkali kepanasan.

Sampai di depan, dekat pintu masuk, tempat angin laut berhembus cukup kencang, tidak jauh dari tempat saya duduk, tangisan sang bayi tidak kunjung reda, bahkan cenderung semakin keras. Dan, dari tempat saya duduk, tampak muka bayi yang semakin merah, keringat bercucuran dari mukanya. Tidak hanya itu, tampak jelas bagi saya, bayi itu kelihatan seperti sesak, pernafasannya tampak cepat. Sementara itu, sang bapak masih setia mengisap rokoknya, dan sesekali, barangkali tanpa disadarinya, gumpalan asap rokok itu bertiup ke arah hidung  sang bayi.

Melihat keadaan bayi seperti itu, naluri saya sebagai dokter seperti tergugah, pikiran saya mengatakan, jangan-jangan bayi itu menangis karena asap rokok yang dihembuskan bapaknya itu. Lalu, agak ragu saya bangkit mendekati sang bapak, "Maaf Mas, bagaimana kalau Anda buang rokok itu dulu, barangkali anak Anda menangis bisa-bisa karena itu." Tanpa bicara sedikit pun sang bapak melihat ke arah saya, kelihatan tidak senang. Sebaiknya sang ibu tampak tersenyum seperti mengucapkan terima kasih, kemudian dia menoleh kepada sang suami, seolah-olah dongkol dan menggerutu.

Lalu, segera kemudian, entah apa sebabnya, barangkali karena gerutuan si istri, rokok itu langsung dibuang suaminya ke laut. Dan, anehnya, tidak berapa setelah itu, sang bayi berhenti menangis.... "Hmmm, barangkali betul juga dugaan saya, bayi itu menangis mungkin ada hubungannya dengan gumpalan-gumpalan asap rokok asap rokok yang dihembuskan sang bapak, ikut dihisapnya," bisik saya dalam hati.

Dan, melihat bayi ini, hati saya berkata, "Ini dia contoh nyata perokok pasif yang ada di depan mata kepala saya. Bayi mungil dengan berat hanya beberapa kilo itu ikut menghisap racun yang ditebarkan orang tuanya, dan  juga perokok lain di sekitarnya."

Kemudian, seperti diketahui, bahwa perokok  pasif pada seorang bayi jauh lebih berbahaya dibandingkan orang dewasa. Ini disebabkan berat badannya yang kecil, pernapasan yang cepat, maka bayi akan mengisap racun rokok per kilo gram berat badan jauh lebih besar dari orang dewasa. Di samping itu, sistem imunitas yang belum berkembang dengan baik menyebabkan resiko bayi untuk mengalami infeksi pernapasan, asthma, bahkan kematian mendadak menjadi lebih besar pula.

Lalu, menghadapi kenyataan seperti itu, dan melihat orang-orang yang masih tetap merokok dalam suasana udara yang panas, relatif tertutup, penumpang yang padat, saya lalu teringat sebuah puisi,  "Tuhan sembilan centi", yang ditulis oleh Taufik Ismail. Saya kutip beberapa bait di bawah ini:

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,

tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,

di pabrik pekerja merokok,

di kantor pegawai merokok,

di kabinet menteri merokok,

di reses parlemen anggota DPR merokok,

di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara- perwira nongkrong merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,

di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,

di loket penjualan karcis orang merokok,

di kereta api penuh sesak orang festival merokok,

di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,

di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im sangat ramah bagi perokok,

tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita

Nah,  bahwa apa yang dialami bayi  tersebut, seperti nukilan bait puisi di atas, adalah bagaikan siksa kubur hidup-hidup yang tak mungkin dielakkannya. Dia bisa menjadi korban berhala 9 centi yang suatu saat siap merenggut nyawanya. Sayangnya, masih banyak para orang tua yang belum menyadarinya, dan kita pun membiarkannya.#irsyalrusad

Jakarta, 4-12-14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun