Karena perbedaan ritual dan tata cara ibadah inilah memunculkan masalah hingga puluhan tahun, sampai saya dewasa. Apa masalahnya? baik perantau Minang atau pun masyarakat Jawa transmigran punya masjid masing-masing. Memang dalam kehidupan sosial, seperti interaksi dan urusan-urusan umum, mereka baik-baik saja. Namun kalau soal ibadah, mereka anggap sudah masuk wilayah prinsip. Inilah repotnya.
Seiring berjalannya waktu, generasi kedua yang lahir di tanah perantauan pun beranjak dewasa. Mereka kuliah dan menuntut ilmu di ibu kota, termasuk saya. Inilah yang mendorong terjadi perubahan besar di masyarakat. Anak-anak muda ini punya semangat baru, dan tentu punya pandangan yang lebih berbeda dengan orang tua mereka, terutama makin menerima perbedaan yang ada.
Sampai hari ini, jasa anak-anak muda di kampung saya sangat terasa. Tak ada lagi sekat antara warga NU dan Muhammadiyah. Bahkan mushola kecil di dekat rumah saya, diubah menjadi Masjid, dan semua berbaur saling memahami, saling mengerti dan saling menerima. Malah ketika bulan ramadhan persatuan begitu terasa. Tak ada yang protes ketika jumlah rakaat tarawih sebanyak 23 rakaat, maupun 11 rakaat. Semua dianggap benar dan sesuai ketentuan agama.
**
Kampung halaman ku tercinta, aku bangga atas makin baiknya persatuan di antara kalian. Kampung halaman ku, di mana aku dilahirkan dan dibesarkan, kini membawa semangat toleransi yang utuh agar kita sama-sama bangkit untuk kebaikan bersama. Semoga kebaikan-kebaikan yang telah ada, membawa keberkahan untuk kalian semua. Aku bangga telah menjadi bagian dari bertumbuhnya kesadaran untuk saling menghormati dan saling memahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H