Mohon tunggu...
Irsyad Nabil Putra Hansa
Irsyad Nabil Putra Hansa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Respons Indonesia Terhadap Kudeta Junta Militer Myanmar Tahun 2021 di Bawah Kepemimpinan Presiden Jokowi

2 Desember 2023   21:15 Diperbarui: 2 Desember 2023   23:52 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik luar negeri Indonesia menjadi pendorong utama bagi promosi demokrasi di kawasan Asia Tenggara. Dengan berlandaskan prinsip saling menghormati kedaulatan dan non-intervensi, Indonesia memainkan peran aktif dalam mengadvokasi nilai-nilai demokrasi melalui dialog dan kerjasama regional. Sebagai contoh, partisipasi dalam ASEAN Democracy Forum dan upaya mediasi dalam penyelesaian konflik di beberapa negara tetangga menjadi wujud konkret dari komitmen Indonesia terhadap stabilitas demokratis. Dukungan finansial, teknis, dan sosial yang terus diberikan juga mencerminkan peran penting Indonesia dalam membangun fondasi demokrasi yang kokoh di Asia Tenggara, termasuk Myanmar.

Myanmar merupakan negara yang mengalami jatuh bangun dalam membangun demokrasi yang utuh bagi negara nya sejak merdeka pada 1948. Transisi kekuasaan yang beralih dari militer ke sipil pada 2010 harusnya menjadi titik awal terbentuknya keutuhan demokrasi yang di cita-citakan di kawasan ASEAN. Tapi kudeta yang terjadi pada Februari 2021 lalu seolah menghancurkan harapan tersebut (Fadhlan Nur Hakiem et al., 2023). Disinilah peran politik luar negeri Indonesia dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kemanusiaan di wilayah ASEAN.

Kudeta militer pertama di Myanmar terjadi pada 1962, namun pada tahun 2010 diadakan pemilu yang dimenangkan oleh pihak sipil sehingga pemerintahan kembali dipegang oleh masyarakat sipil. Kudeta militer yang terjadi pada 2021 bermula dari tuduhan adanya kecurangan pada pelaksanaan pemilihan umum November 2020 yang memberi kemenangan telak Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dengan perolehan kursi sebanyak 346 sedangkan 2 partai yang disokong oleh militer hanya mendapat 15 dan 25 kursi (Alauddin, 2021).

Junta militer Myanmar menjalankan kudeta dengan melakukan penangkapan terhadap pimpinan partai Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, serta beberapa petinggi lain dari kekuasaan nasional Myanmar. Meskipun tuduhan mengenai kecurangan yang dilakukan oleh partai pemenang pemilu telah ditampik oleh KPU Myanmar dan para pengamat internasional yang terjun langsung dalam proses pemilihan suara tersebut, kudeta tetap saja dilanjutkan dan bahkan diikuti oleh serangkaian tindakan kekerasan kepada rakyat Myanmar (Alauddin, 2021).

Serangkaian aksi sepihak yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar ini akhirnya memicu kemarahan rakyat sipil. Mereka pun berbondong-bondong turun ke jalan dengan membawa senjata buatan sendiri seperti ketapel, senapan angin, hingga senjata api. Mereka menentang junta militer atas pembunuhan pengunjuk rasa anti-rezim yang damai di seluruh negeri. Situasi di Myanmar tak kunjung membaik sebab rezim militer justru membalas aksi masyarakat sipil dengan melakukan serangkaian penangkapan sewenang-wenang, membunuh warga sipil, eksekusi di luar hukum, menembaki daerah pemukiman, menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia, hingga menjarah dan membakar rumah (Fadhlan Nur Hakiem et al., 2023).

Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan salah satu pemilik suara yang besar di ASEAN, Indonesia melalui Presiden Jokowi sangat menentang berbagai kekerasan yang terjadi. Presiden Jokowi bahkan berkali-kali meminta Myanmar segera menghentikan tindak kekerasan yang terjadi disana. Beliau mengatakan dalam salah satu pidatonya yang berbunyi "Atas nama pribadi dan seluruh rakyat Indonesia, saya menyampaikan duka cita dan dan simpati yang dalam kepada korban dan keluarga korban akibat penggunaan kekerasan di Myanmar, Keselamatan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama" tegas nya (Asmara, 2021)

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki peran penting di dalam ASEAN akhirnya segera melakukan konsolidasi dengan semua anggota ASEAN dan merumuskan 5 poin konsesus sebagai langkah resolusi konflik dan pencegahan bertambahnya korban jiwa (DA, 2021). Meskipun para anggota ASEAN terpecah menjadi dua kubu, kubu pertama yang terdiri dari Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina yang memegang prinsip ASEAN anti intervensi menganggap bahwa kekerasan yang terjadi di Myanmar merupakan masalah internal dan tidak memerlukan campur tangan negara lain atau pihak eksternal karena akan menimbulkan eskalasi dan kompleksitas permasalahan. Sementara itu, Indonesia, Singapura, dan Malaysia cenderung mengkhawatirkan semakin parahnya pelanggaran HAM yang akan terjadi apabila semua pihak tidak saling menahan diri serta berkeinginan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog yang damai (KAPUR, 2022).

kompas.id (LUKAS-BPMI SETPRES )
kompas.id (LUKAS-BPMI SETPRES )

Prinsip yang diambil oleh Indonesia untuk melakukan usaha resolusi konflik dalam menanggapi isu ini tentu tidak didasarkan pada alasan yang sembarangan atau terburu-buru. Presiden Jokowi dan jajaran nya tentu telah berhitung dengan segala dampak yang bisa timbul dari respon yang dipilih oleh pemerintah. Dari sekian banyak alasan yang melandasi mengapa pemerintah mengambil respon tegas, kita bisa menganalisa beberapa diantaranya.

Pertama, kudeta militer yang terjadi di Myanmar akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas keamanan di kawasan ASEAN. ASEAN memiliki prioritas utama yaitu menjaga perdamaian dan keamanan Asia Tenggara. Perhatian penting ASEAN adalah kesatuan, sentralitas, dan netralitas dari berbagai persaingan geopolitik negara-negara besar Kawasan dan bagaimana negara-negara Asia Tenggara beradaptasi dengan konteks keamanan Kawasan. Sehingga ketika terjadi sebuah ketidakstabilan di satu negara anggota, bisa saja memicu konflik kepentingan bagi negara-negara besar apabila mereka saling berlawanan.(Fadhlan Nur Hakiem et al., 2023)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun