Sistem Apartheid inilah yang akhirnya membuat etnis Afrikaneer menjadi minoritas dominan di Afrika Selatan. Sistem ini pula yang memisahkan setiap orang berdasarkan warna kulit yang terbagi atas kulit putih, kulit berwarna (melayu,china, dan khoisan, dan keturunan asia lainnya), India dan kulit hitam.Â
[caption id="attachment_325474" align="aligncenter" width="300" caption="Pencetus sistem Apartheid"]
Nederduitse Gereformeerde Kerk
[caption id="attachment_325475" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu Gereja Dutch Reformed Church "]
Nederduitse Gereformeerde Kerk (Dutch Reformed Church) atau Gereja Reformasi Belanda. Merupakan Gereja yang menganut pemikiran John Calvin (Jean Chauvin) Gereja beraliran Chauvinistik inilah yang menjadi pendukung utama sistem Apartheid, terlebih lagi DF Malan perdana menteri Afrika Selatan yang pertama adalah pendeta dari Gereja ini. Kebanyakan jemaat Gereja ini berasal dari etnis Afrikaneer, sehingga Gereja ini menjadi penggerak utama nasionalisme Afrikaneer yang akhirnya berhasil mendirikan negara bagi etnis Afrikaneer dan negara yang beraliran chauvinistik.
Gereja ini menganggap bahwa penduduk pribumi kulit hitam adalah keturunan masyarakat Nabi Nuh yang dikutuk oleh Tuhan. Jadi pemisahan ras itu perlu untuk memisahkan ras yang beriman dan suci itu agar tidak bercampur dengan ras yang telah dikutuk oleh Tuhan. Dulunya Dutch Reformed Church merupakan institusi sangat berpengaruh di Afrika Selatan, namun setelah Apartheid dihapus jumlah jemaatnya pun menurun dalam survei teranyar disebutkan bahwa orang-orang Afrikaneer yang menjadi jemaat gereja ini berkurang 30%.
Kesimpulan
Jadi dulu di masa pendudukan Inggris orang-orang Boer Afrikaneer merasakan penderitaan yang cukup luar biasa. Inggris menahan penduduk Afrikaneer dalam kamp-kamp konsentrasi saat perang Boer kedua, karena mencurigai mereka sebagai mata-mata.
Ditambah lagi dengan gerakan nasionalisme Afrikaneer karena para kaum Boer merasa bahwa mereka memiliki bahasa yang berdialek beda dengan bangsa nenek moyang mereka yaitu orang-orang Belanda dan akhirnya jadi bahasa mereka sendiri yaitu bahasa Afrikaneer. Juga karena mereka sudah berasimilasi dengan pemukim kulit putih lainnya dan sudah bercampur kebudayaannya dengan penduduk pribumi setempat.
[caption id="attachment_325476" align="aligncenter" width="300" caption="Bendera diatas adalah bendera Afrika Selatan sekarang sedangkan bendera bagian bawah adalah bendera Afrika Selatan pada masa Apartheid."]
[caption id="attachment_325479" align="aligncenter" width="300" caption="Para pendukung Nasionalisme Afrikaneer merayakan berlakunya sistem Apartheid."]
Sehingga mereka merasa harus mendirikan negara sendiri yang dipimpin oleh etnis Afrikaneer dan belaliran Protestan Calvinis, karena mereka dulu didiskriminasi oleh Bangsa Inggris dan ditambah dengan pemikiran Dutch Reformed Church. Jadilah terciptanya sistem Apartheid. Sistem kejam dan tidak masuk akal ini berakhir setelah terpilih seorang Presiden yang moderat yaitu Frederik Willem De Klerk yang mengakhiri sistem ini dan membebaskan Nelson Mandela.
Dari kisah ini kita bisa belajar bahwasanya paham supremasi ras dan etnis bisa menciptakan terjadinya pembentukan negara baru dan gerakan separatis dimanapun terlebih lagi gerakan supremasi etnis atau ras seringkali mencari dukungan agama yang dianut mayoritas etnis itu dan menjadikannnya pembenaran. Kejadian ini biarlah jadi abu sejarah, yang tak perlu dinyalakan lagi karena akan membahayakan keselamatan dan perdamaian dunia. Biarlah masa lalu yang menjadikan pelajaran bagi kita semua. Sekali lagi saya tegaskan artikel ini hanya membahas etnis Afrikaneer dan mengapa mereka bisa menjadi rasis, semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi untuk generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H