Mohon tunggu...
Irsyad Mohammad
Irsyad Mohammad Mohon Tunggu... Sejarawan - Pengurus PB HMI, Pengurus Pusat Komunitas Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), dan Alumni Ilmu Sejarah UI.

Seorang aktivis yang banyak meminati beragam bidang mulai dari politik, sejarah militer dan sejarah Islam hingga gerakan Islam. Aktif di PB HMI dan Komunitas SATUPENA. Seorang pembelajar bahasa dan sedang mencoba menjadi poliglot dengan mempelajari Bahasa Arab, Belanda, Spanyol, dan Esperanto.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berkenalan dengan Bangsa Armenia: Bangsa Kristen Pertama Sahabat Palestina

4 Maret 2024   19:04 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:52 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang-orang Armenia di Yerusalem pawai solidaritas dukungan untuk Palestina sambil membawa bendera Armenia & Artsakh. Sumber Gambar:https://thewiki.kr

Apa yang sekilas kita ketahui ketika mendengar kata “Armenia”? Mungkin kita hanya mengetahui, oh Armenia itu sebuah negara di dunia dan negara tersebut pecahan Uni Soviet. Setelah itu ketika mendengar kata Armenia, kita akan bergumam “Ooh Armenia itu negara yang berperang dengan Azerbaijan”. “Ooh Armenia negara leluhurnya Kim Kardashian” atau “ooh Armenia yang pernah jadi korban genosida Ottoman itu ya?.” Mungkin bagian ini tidak banyak yang tahu dan saya pun baru tahu ketika meriset soal Armenia, kalau ayah Kim Kardashian itu orang Armenia. Pada umumnya kita tidak mengetahui banyak soal Armenia, lain ceritanya dengan penduduk di negara-negara yang memiliki populasi minoritas Armenia cukup besar seperti di beberapa negara Eropa, pecahan Uni Soviet, dan juga banyak negara di Timur Tengah.

Indonesia pernah memiliki populasi etnis Armenia yang cukup signifikan pada masa Hindia-Belanda, banyak dari orang Armenia yang merantau ke Indonesia dan membuka bisnis di Indonesia, serta menjadi birokrat kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kebanyakan dari mereka meninggalkan Indonesia ikut bersama orang-orang Belanda dan Indo, pulang ke Belanda. Dulu mereka minoritas yang pernah besar di Indonesia, kini sudah punah. Jadi wajar saja tidak banyak yang orang Indonesia ketahui tentang Armenia. Namun ada sederetan fakta menarik tentang Armenia, rupanya Armenia merupakan bangsa pertama di dunia yang menganut agama Kristen tepatnya pada 301 M & juga merupakan bangsa yang konsisten membela kemerdekaan Palestina, serta terlibat aktif dalam gerakan nasionalisme Arab dan Pan-Arabisme.

Syahdan Yasser Arafat, Sang Bapak Bangsa Palestina saja terang-terangan mendukung Armenia dalam perang melawan Azerbaijan. Azerbaijan dengan Armenia terlibat Perang Nagorno Karabakh I (1988 – 1994), untuk memperebutkan wilayah otonom Nagorno Karabakh yang menjadi wilayah Azerbaijan sejak zaman Uni Soviet. Etnis Armenia yang mendiami wilayah itu, menginginkan bergabung dengan Armenia dan tidak menghendaki bergabung dengan Azerbaijan, sehingga pecah perang etnis. Perang ini dimenangkan oleh Armenia, karena Armenia dibantu oleh Rusia yang saat itu dipimpin oleh Presiden Boris Yeltsin. Rusia mengirimkan pasukan dan mempersenjatai Armenia, walhasil Azerbaijan pun kalah. Orang-orang Armenia yang mendiami wilayah Nagorno-Karabakh, mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama “Republik Artsakh.” Orang-orang Armenia yang mendiami Nagorno-Karabakh mengusir etnis Azerbaijan dari wilayah Nagorno-Karabakh.

Pada saat perang terjadi saat itu, dunia terbagi antara 4 sikap: pihak yang mendukung Azerbaijan atau Armenia, juga ada yang menentang Armenia ataupun Azerbaijan, ada juga yang netral, dan juga ada yang netral tapi diam-diam mendukung. Hal yang mengejutkan saat itu Armenia mendapatkan dukungan dari tempat tidak terduga, dari Palestina dan berbagai negara Arab seperti Libya, Irak, Suriah, Lebanon, Mesir. Syahdan Yasser Arafat mengatakan wilayah Nagorno-Karabakh yang diperebutkan antara Azerbaijan dan Armenia, memang wilayah sah milik Armenia dan ia mendukung perluasan wilayah Armenia atas wilayah Nagorno-Karabakh. Yasser Arafat selalu mengatakan bahwa Palestina dan Armenia adalah saudara, orang-orang Armenia di Palestina adalah saudara bangsa Palestina dan begitu juga komunitas Armenia di mana pun, termasuk negeri Armenia itu sendiri. Bahkan dulu ketika Pertemuan Camp David 2000, Yasser Arafat menegaskan bahwa wilayah Armenian Quarter, sebuah distrik etnis Armenia di Yerusalem merupakan bagian tidak terpisahkan dari Palestina dan bukan wilayah Israel. Yasser Arafat sendiri pernah mengatakan kepada Presiden Bill Clinton: "My name is not Yasir Arafat, it is Yasir Arafatian. I will not betray my Armenian brothers." Untuk konteks bagi pembaca Indonesia, orang Armenia pada umumnya menggunakan marga dengan imbuhan ‘ian’ atau ‘yan’, contoh nama Armenia: Calouste Gulbenkian (konglomerat Inggris), Aram Khacaturian (komposer besar dunia), Anastas Mikoyan (petinggi Uni Soviet), Kim Kardashian (artis), dan Henrikh Mkhitaryan (pemain sepakbola). Yasser Arafat ketika membahas soal Armenia ia mengubah namanya menjadi “Yasser Arafatian” untuk membuat namanya terlihat lebih Armenia, juga untuk menegaskan bahwa Armenia adalah bagian dalam dirinya dan Palestina. Pernyataan Arafat ini banyak dikutip oleh etnis Armenia di mana pun, terutama kaum nasionalis Armenia di Nagorno-Karabakh, bahkan komunitas Armenia di Palestina tidak membantah pernyataan ini dan tegas menginginkan wilayah Armenian Quarter, di Yerusalem masuk wilayah Palestina, bukan Israel.

Hal ini membingungkan banyak orang, bagaimana bisa Yasser Arafat mendukung Armenia yang penduduknya mayoritas Kristen melawan Azerbaijan yang penduduknya kebanyakan Muslim? Serta anehnya Azerbaijan yang mayoritas Muslim malahan dipersenjatai & didukung oleh Israel dalam perang melawan Armenia, terutama dalam Perang Nagorno Karabakh II (2020) yang berlangsung selama 44 hari, sehingga lazim disebut “Perang 44 Hari” baik di media Armenia dan Azerbaijan. Di Palestina sendiri ketika pecah Perang Nagorno Karabakh II, muncul aksi dukungan terhadap Armenia dalam Perang Nagorno Karabakh II, bahkan masa yang turun ke jalan membawa bendera Palestina dan Armenia. Juga muncul slogan: “Armenia & Palestine are Brothers.” Malahan di Israel muncul aksi massa membela Azerbaijan, massa yang turun ke jalan membawa bendera Turki, Azerbaijan, dan Israel. Hal yang sama pun terjadi di Turki, banyak massa yang mendukung Azerbaijan dalam perang melawan Armenia, mereka membawa bendera Turki, Azerbaijan, dan Israel.

Dunia sendiri terbagi atas isu ini, ketika dunia sedang sibuk menghadapi pandemi covid-19, ada juga negara yang nekat berperang. Perancis, India, Iran, dan banyak negara Arab umumnya mendukung Armenia. Amerika Serikat, Inggris, dan Israel, juga banyak negara Eropa malahan mendukung Azerbaijan. Inilah salah satu contoh propaganda politik salah sasaran. Azerbaijan berusaha menggalang dukungan negara-negara Muslim dengan menyerukan narasi “jihad”melawan Armenia, begitu juga Armenia berusaha menggunakan narasi “perang salib” melawan Azerbaijan dan menggunakan narasi historis bahwa mereka adalah bangsa Kristen pertama di dunia. Saya melihat narasi ini pada akhirnya tidak berhasil sebagaimana yang diharapkan kedua pihak, karena banyak negara Muslim yang mendukung Armenia dan malahan banyak negara Kristen serta Yahudi yang mendukung Azerbaijan. Meski ya memang ada negara-negara Kristen yang membela Armenia, juga ada juga negara-negara Muslim yang membela Azerbaijan.

Lantas bagaimana sikap Indonesia dalam konflik ini? Indonesia netral, tapi diam-diam mendukung Azerbaijan karena Indonesia memandang Azerbaijan sebagai sesama negara Muslim & juga Indonesia mengimpor BBM dalam jumlah besar dari Azerbaijan dan kebetulan harganya terjangkau kantong pemerintah Indonesia. Penulis tahu hal ini, karena penulis membaca tulisan Andi Wirapratama, kawan saya yang kebetulan saat itu mahasiswa S2 HI UI. Tulisan ini menjelaskan dengan sangat baik Perang Nagorno Karabakh II, juga sikap pemerintah Indonesia atasnya. Saya ingat sekali pada tahun 2020 ketika perang ini pecah, Komisi I DPR RI (Bidang Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, & Intelijen) mengadakan webinar soal perang ini di zoom. Memang isu ini tidak sehangat itu dibicarakan oleh rakyat Indonesia, tidak seperti isu Palestina dan memang perangnya berlangsung sebentar. Sedangkan DPR RI menseriusi masalah ini, jadi tentu saja penulis percaya penelitian Andi Wirapratama bahwa BBM kita diimpor dari sana. Sebab bila tidak, DPR RI tidak akan mengkaji masalah ini  secara serius.

Perang 44 hari ini akhirnya dimenangkan oleh Azerbaijan yang banyak merebut kembali wilayah mereka di Nagorno-Karabakh, dengan dibantu oleh drone-drone canggih dan persenjataan terbaru yang kebanyakan disuplai oleh Israel dan Turki. Pihak Armenia tidak berdaya menghadapi drone-drone dan persenjataan canggih pasukan Azerbaijan yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Rusia yang mereka harapkan akan membantu, malahan netral. Mengapa Rusia netral? Vladimir Putin sedikit jengah dengan ulah Perdana Menteri Nikol Pashinyan yang terpilih sejak 2018, Pashinyan berusaha untuk membuat Armenia lebih dekat dengan Uni Eropa dan mencari peluang ekonomi dengan negeri Blok Barat. Putin khawatir Armenia akan bernasib seperti Ukraina. Di satu sisi Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev menerapkan strategi diplomasi yang cerdas, ia membangun hubungan baik dengan Blok Barat, juga sembari mempertahankan hubungan lebih dekat dengan Rusia dan bloknya. Bapak Ilham Aliyev, Mantan Presiden Heydar Aliyev adalah seorang agen KGB sama dengan Putin. Sehingga Presiden Ilham dapat menjaga hubungan baik dengan Putin, sehingga Putin tidak all out membela Armenia. Hal ini membuat Rusia diam-diam jual senjata ke keduanya. Walhasil Armenia terpaksa menandatangani gencatan senjata dengan Azerbaijan atas tekanan dari Rusia.

Dari Genosida Armenia hingga Pembebasan Palestina. 

Sebelum Kristen dianut oleh rakyat Armenia, Kerajaan Armenia menganut agama Zoroaster (Majusi). Barulah pada abad ke-4 M ajaran Kristen dibawa oleh Santo Gregorius Sang Pencerah (Saint Gregory the Illuminator). Perlu digarisbawahi, bahwa gelar “Sang Pencerah” diberi untuk membedakannya dengan Santo Gregorius lainnya yang menggunakan gelar berbeda seperti “Santo Gregorius Agung” yang merupakan Paus Gereja Katolik Roma dari 590 hingga 604 M. Santo Gregorius berhasil membuat bangsa Armenia menganut Kristen dan akhirnya Kerajaan Armenia pun menetapkan agama Kristen sebagai agama resmi kerajaan, jauh sebelum Kaisar Konstantinus dari Romawi melakukannya. Kemudian Santo Gregorius mendirikan Gereja Apostolik Armenia dan menjadi pemimpin gereja tersebut, dengan gelar “Katolikos” (setara Kardinal), gelar ini juga kadang disebut “Uskup Agung Seluruh Armenia” ataupun “Patiarkh Seluruh Armenia.” Para penerusnya pun hingga hari ini menggunakan gelar ini. Di Vatikan sendiri terdapat patung Santo Gregorius Sang Pencerah, untuk menghargai jasanya menyebarkan agama Kristen di Armenia.

Kendati demikian riwayat Kerajaan Armenia sendiri tidak bertahan lama. Pada 428 M Kerajaan Armenia kemudian ditaklukkan oleh Byzantium (Romawi Timur) dan Persia, keduanya membagi Armenia menjadi Armenia Barat dan Timur, masing-masing menjadi milik mereka. Ketika agama Islam muncul di kemudian hari Armenia pun menjadi wilayah taklukan bangsa Arab. Hingga setelahnya Armenia beberapa kali pindah tangan mulai dari kekuasaan bangsa Arab, Mongol, Turki, hingga Persia dan Rusia. Meski beberapa kali ditaklukan oleh kekuasaan negara Islam, rakyat Armenia tetap mempertahankan identitas Kristennya. Bahkan ketika Persia (Dinasti Safawi) dan Ottoman membagi Armenia menjadi 2 wilayah, Armenia Barat (kini masuk wilayah Turki) dan Timur (Republik Armenia sekarang) persis seperti Byzantium dan Persia yang dulu membagi Armenia menjadi 2.

Kondisi beberapa kali ditaklukkan ini membuat orang-orang Armenia akhirnya banyak yang merantau ke luar wilayahnya. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi pedagang, pengrajin, tenaga ahli, yang menyebar ke berbagai kota-kota di berbagai negara Timur Tengah. Bila sebelum Israel berdiri zaman dulu banyak pemukiman Yahudi di kota-kota besar di Eropa dan Timur Tengah, begitu juga dengan orang Armenia banyak dari mereka yang menyebar ke berbagai kota besar di Eropa dan Timur Tengah membentuk pemukiman sendiri. Mereka pun turut merantau hingga ke India dan Indonesia, di India komunitas mereka masih ada.

Kepiawaian orang-orang Armenia dalam berwirausaha sudah dikenal luas, sehingga ketika wilayah Armenia dikuasai Persia pada masa Shah Abbas di abad ke-17 kemudian memerintahkan untuk memindahkan 150,000 orang Armenia dari Armenia ke wilayah Persia, terutama Isfahan yang merupakan Ibukota Persia saat itu. Dari sumber yang penulis baca di Historia.id, Shah Abbas The Great menghadapi masalah perekonomian di dalam negeri dan banyak pedagang Persia yang bangkrut, sehingga Shah Abbas mulai kurang mempercayai kemampuan orang-orang Persia dalam berbisnis. Shah Abbas mulai melirik orang-orang Armenia, ia membutuhkan kepiawaian berbisnis orang Armenia dan juga akses mereka ke pasar Eropa, karena mereka Kristen sehingga lebih mudah diterima. Walhasil orang-orang Armenia berperan menjadi pedagang dan juga perantara antara kepentingan bisnis Persia dengan Eropa. Orang-orang Kristen Armenia diberi toleransi oleh Shah Abbas, mereka diberi izin menternakkan babi, juga diberi jizya (pajak perlindungan) rendah, diberi modal usaha, dan kebebasan mendirikan gereja serta beribadah. Persia kemudian kehilangan wilayah Azerbaijan dan Armenia, karena kekalahan perang dengan Rusia pada 1828 sehingga wilayah Armenia dan Azerbaijan menjadi wilayah Kekaisaran Rusia hingga kemudian jadi wilayah Uni Soviet.

Di Isfahan hingga kini masih terdapat distrik New Julfa, yang merupakan pemukiman Armenia di Isfahan, juga terdapat berbagai pemukiman Armenia di Iran. Bahkan warga Kristen Armenia diberi kursi khusus di parlemen Iran yang disediakan untuk mereka. Lain ceritanya dengan orang-orang Armenia di wilayah Ottoman, mereka mengalami persekusi hingga genosida di akhir kekuasaan Ottoman. Ketika Perang Dunia I pecah, Ottoman saat itu di berada di pihak yang sama dengan Kekaisaran Austro-Hungaria dan Jerman berperang melawan Sekutu (Inggris, Perancis, Rusia). Etnis Armenia terbagi dua, Armenia Barat yang mendiami wilayah Turki bagian barat dan Armenia Timur yang kini menjadi Republik Armenia, saat itu wilayah Rusia. Orang-orang Armenia di Rusia menyatakan kesetiaannya pada Rusia dan siap membantu Rusia berperang melawan Ottoman, sedangkan orang-orang Armenia di wilayah Ottoman berkumpul dan menyatakan kesetiaan mereka pada Ottoman dan tidak akan menusuk negerinya sendiri dari belakang dengan membantu Rusia.

Kendati demikian, Talaat Pasha selaku Mendagri Ottoman curiga terhadap orang-orang Armenia. Ia khawatir Armenia akan menusuk mereka dari belakang, sehingga ia mempersiapkan program relokasi paksa orang-orang Armenia dari Istanbul hingga seluruh Anatolia, termasuk tanah nenek moyang mereka di Turki Barat seperti Danau Van, Mush, ke wilayah Padang Pasir di Suriah. Relokasi juga dilakukan ke wilayah Lebanon, Palestina, dan wilayah Arab yang dikuasai oleh Ottoman. Nyatanya relokasi malahan menjadi genosida terhadap orang-orang Armenia, orang-orang Armenia diseret layaknya gembala yang menternakkan hewan ternaknya digiring menuju kematian mereka. Orang-orang Armenia banyak yang mati dalam kejadian yang dikenal sebagai dead march itu, banyak orang Armenia yang mati kehausan/sakit, bahkan ketika ada orang Armenia yang sakit atau sekarat, tentara Turki tidak segan-segan menembak mereka. Bahkan banyak laki-laki Armenia yang dibunuh, para wanita, anak-anak, ataupun orang tua banyak yang diislamkan secara paksa. Banyak dari orang-orang Armenia yang berusaha cari selamat akhirnya mereka masuk Islam, takut jadi korban genosida. Di sini kita melihat adanya paksaan dalam beragama. Syahdan orang-orang Armenia yang semula loyal, kemudian berbalik memberontak terhadap Ottoman. Mereka memutuskan untuk mati melawan, ketimbang mati jadi korban genosida. Walhasil mereka pun akhirnya membantu tentara Rusia melawan Ottoman. Genosida ini bukan saja kepada orang Armenia, namun orang Assyiria dan mereka pun jadi korban karena kekhawatiran yang sama hanya karena mereka Kristen. Genosida ini membuat 1,5 juta orang Armenia tidak bersalah mati, hingga kini Turki yang merupakan negara penerus Ottoman masih menyangkal adanya genosida ini. Sudah 29 negara di dunia mengakui adanya genosida ini, termasuk beberapa negara Arab mengakui. Hingga kini Turki dan Armenia belum membuka hubungan diplomatk, karena Turki masih kekeh menyangkal adanya genosida ini. Wilayah Turki Barat yang semula dihuni etnis Armenia, mulai berubah populasinya jadi mulai banyak dihuni oleh etnis Kurdi yang akhirnya membuat Pemerintah Turki pusing juga karena mereka minta merdeka dan gerakan separatis Kurdi masih aktif di sana hingga sekarang. Etnis Armenia yang selamat di Turki banyak yang menghapus nama Armenianya dan menggantinya jadi nama Turki. Banyak yang kemudian masuk Islam, mereka yang memutuskan tetap Kristen. Mereka ini kemudian dikenal sebagai crypto-Armenians atau hidden Armenians. Di Turki sendiri banyak akademisi dan intelektual yang mendesak negaranya meminta maaf atas Genosida Armenia, bahkan Orhan Pamuk seorang penyair besar Turki dan Pemenang Nobel Sastra 2006 mengecam negaranya dalam Genosida Armenia dan meminta negaranya minta maaf. Pamuk pun membela Hrant Dink seorang jurnalis Turki keturunan Armenia yang dibunuh, lantaran membuat liputan soal genosida Armenia.

Lain ceritanya dengan negara-negara Arab, banyak negara-negara Arab terutama di daerah Syam (Levantine) meliputi Palestina, Suriah, dan Lebanon, serta Mesopotamia yang bersimpati pada orang-orang Armenia. Wilayah-wilayah yang penulis sebutkan saat itu masih masuk wilayah Ottoman. Banyak dari penyintas Armenia yang diselamatkan oleh orang-orang Arab, mereka menolong orang Armenia tidak melihat agama, melainkan karena kemanusiaan serta banyak Arab Muslim yang malu dengan kelakuan orang-orang Turki yang memerintah dengan bawa-bawa nama Islam tapi membantai jutaan orang Kristen Armenia tidak bersalah. Banyak dari orang-orang Arab yang memendam kebencian pada Ottoman sejak akhir abad 19 dan Perang Dunia I, lantaran menurut mereka Khalifah Islam dari Ottoman membawa umat Islam menuju kemunduran dan dulu ketika Kekhalifahan dipegang oleh orang Arab ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan ekonomi umat Islam meningkat, oleh karenanya mereka pun mulai memberontak terhadap kekuasaan Ottoman dan banyak dari mereka yang enggan membantu Ottoman dalam Perang Dunia I, meski juga propaganda Inggris berperan untuk memecah belah orang Arab dengan Turki. Pembaca bisa menyaksikan film Lawrence of Arabia (1962) yang menggambarkan soal pemberontakan Arab melawan Ottoman dan bagaimana sentiment orang Arab terhadap Ottoman.

Orang-orang Armenia yang selamat di negeri-negeri Arab, menunjukkan rasa terima kasihnya kepada orang-orang Arab. Banyak dari mereka yang belajar bahasa Arab dengan baik, meski mereka masih banyak yang mempertahankan bahasa Armenia di komunitas mereka; namun pada dasarnya mereka lebih sering berbahasa Arab ketimbang Armenia. Bahkan para penyintas Armenia dan keturunannya, banyak yang kemudian aktif di gerakan nasionalis Arab dan juga gerakan kiri Arab. Ketika Turki membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada 1949, orang-orang Armenia bersama orang-orang Arab mengecam sikap Turki dan teguh membela Palestina. Beberapa tokoh politisi Arab juga muncul dari kalangan keturunan Armenia seperti Émile Lahoud (Presiden Lebanon), Aram Kamanoukian (Jenderal Suriah), Arthur Nazarian (Politisi Lebanon). Wajar saja ketika beberapa negara Arab mulai khawatir dengan kebijakan luar negeri neo-ottomanisme Erdoğan, mereka mulai lebih mendekati Armenia dan mengadvokasi isu Genosida Armenia untuk menekan Turki.

Pada 19 September 2023 Azerbaijan melancarkan serangan dengan mobilisasi penuh ke Republik Artsakh dan membatalkan secara sepihak perjanjian genjatan senjata 2020. Azerbaijan memanfaatkan momentum Rusia yang sedang lengah karena perang dengan Ukraina. Walhasil 20 September 2023 kemudian Presiden Samvel Shahramanyan langsung menghubungi pihak Azerbaijan dan meminta gencatan senjata. Gencatan senjata dilakukan antara keduanya, dimediasi oleh pasukan perdamaian Rusia di Koridor Lachin, wilayah yang menghubungkan Artsakh ke Armenia. Kini Perang Nagorno Karabakh resmi berakhir, Azerbaijan memenangkan perang atas Armenia. Presiden Samvel Shahramanyan mengeluarkan dekrit pembubaran Republik Artsakh pada 28 September 2023, dekrit ini menyatakan bahwa terhitung sejak 1 Januari 2024 Republik Artsakh bubar secara de jure dan berintegrasi dengan Azerbaijan. Di Stepanakert (Khankedi), Ibukota Artsakh; Presiden Ilham Aliyev mengibarkan bendera Azerbaijan di atas wilayah Azerbaijan yang pernah hilang.

Meski Armenia kalah dalam perang, banyak rakyat Armenia yang meninggalkan Artsakh dan pindah ke Armenia. Namun perang ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa kubu yang berperang tidak selalu didukung oleh kubu yang berideologi/beragama sama. Juga dalam kemanusiaan dan persahabatan, seringkali persahabatan melampaui sekat-sekat etnis dan agama seperti halnya persahabatan bangsa Arab dengan Armenia, juga negara Palestina dengan negara Armenia. Setidaknya Palestina konsisten membela Armenia hingga titik darah penghabisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun