Mohon tunggu...
Irsyad Mohammad
Irsyad Mohammad Mohon Tunggu... Sejarawan - Pengurus PB HMI, Pengurus Pusat Komunitas Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), dan Alumni Ilmu Sejarah UI.

Seorang aktivis yang banyak meminati beragam bidang mulai dari politik, sejarah militer dan sejarah Islam hingga gerakan Islam. Aktif di PB HMI dan Komunitas SATUPENA. Seorang pembelajar bahasa dan sedang mencoba menjadi poliglot dengan mempelajari Bahasa Arab, Belanda, Spanyol, dan Esperanto.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Boikot Produk Pro-Israel, Mungkinkah?

29 Februari 2024   19:23 Diperbarui: 29 Februari 2024   19:23 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: palestine-studies.org

Sejak Invasi Israel ke Gaza, Palestina kemudian netizen dihebohkan dengan beredarnya daftar produk-produk yang disinyalir mendukung Israel dan ajakan boikot serta disinvestasi terhadap produk-produk pro-Israel di medsos akibat invasi Israel ke Gaza, Palestina. 

Beredar video di medsos tentang waralaba (franchise) makanan cepat saji yang membagikan makan siang gratis terhadap militer Israel, memicu kemarahan dunia terutama dunia Islam. 

Di negara-negara Timur Tengah muncul seruan boikot terhadap waralaba tersebut, walhasil cabang-cabang waralaba tersebut di Kuwait, Jordan, dan Qatar sepi. 

Walhasil pemilik franchise tersebut di Kuwait, Jordan, dan Qatar kemudian mengirimkan sumbangan untuk Palestina, langkah ini pun ditiru juga di sejumlah negara Arab lainnya termasuk juga di Indonesia. 

Di Indonesia saya menyaksikan sendiri sejumlah gerai waralaba yang dituding pro-Israel, sepi. Hingga beredar video di Tiktok, sejumlah outletnya kemudian mendekorasi interiornya dengan dekorasi Palestina dan mereka menegaskan dirinya tidak terafiliasi dengan waralaba tersebut di Israel, sebab cabang mereka di Indonesia bukan dimiliki langsung oleh brand tersebut melainkan hanya franchise, juga mereka mempekerjakan ribuan karyawan orang Indonesia dan menggunakan suplai produk Indonesia. 

Meski netizen sendiri tidak banyak yang percaya argument tersebut, sebab sebagaimana umumnya waralaba mereka membayar royalti ke pusat. Bahkan saham perusahaan yang memegang lisensi atas banyak waralaba, harga sahamnya jatuh di Bursa Efek Indonesia pada November 2023. 

Aksi yang jauh lebih berani lagi dilakukan oleh Najla Bisyir pada tahun 2023, pemilik toko kue & dessert box Bittersweet by Najla, mengeluarkan surat terbuka bahwa toko kuenya akan berhenti menggunakan bahan baku dari produk-produk pro-Israel. 

Lebih jauh lagi ia membuat video klarifikasi bahwa surat terbuka itu benar, ia bahkan sampai menunjukan produk-produk yang selama ini menjadi bahan bakunya di meja kemudian ia singkirkan dengan tangannya sendiri. 

Suatu langkah yang teramat sangat berani, bahkan saya sendiri tidak berani melakukannya. Najla Bisyir menegaskan dirinya tidak ingin mendukung tindakan Israel terhadap Palestina. Meski akhirnya ia menjelaskan tindakannya berakibat ia sendiri harus mengubah resep produknya. 

Namun banyak netizen yang mengapresiasi tindakan Najla Bisyir tersebut, juga ada yang mengkritiknya. Di kolom komentar akunnya saya lihat sendiri lebih banyak yang mengapresiasi. Paling tidak kita bisa simpulkan, seruan boikot terhadap produk pro-Israel kali ini cukup serius.  

Beredarnya daftar produk yang disinyalir pro-Israel bukanlah hal yang baru sebenarnya. Daftar tersebut sudah beredar sekitar tahun 2007 -- 2008, namun pada saat itu era medsos belum seperti sekarang. 

Medsos yang ada saat itu cuma Friendster, Yahoo Messenger, juga saat itu orang masih aktif mengutarakan isi pikirannya di Wordpress maupun Blogspot. Saya sendiri tahu daftar produk-produk tersebut dari almarhum paman saya, yang menunjukkan adanya daftar produk-produk itu. Ia mencetak daftar produk itu dan membagikannya. 

Saya coba saja searching di Google, rupanya daftar itu ada namun hanya sebatas di Blogspot ataupun Wordpress, juga di Youtube. Di Indonesia saat itu penggunaan internet belum semasif sekarang, cuma kebetulan saat itu di rumah kita sudah menggunakan internet. Provider internet di rumah-rumah masih sedikit, hanya tersedia Speedy (sekarang Indihome).

Pada tahun 2008 pasukan Israel menyerang Gaza untuk berperang dengan Hamas. Kala itu pemberitaan soal Palestina meningkat, dunia banyak yang bersimpati kepada Hamas karena dianggap pasukan perlawanan terhadap Israel. 

Saat itu saya pun teringat daftar pro-Israel langsung saya tidak tega mengkonsumsi produk-produk tersebut, saya memberitahukan ke ayah saya untuk tidak membeli produk-produk tersebut dan menghindari sebisanya. Itu cukup lama paling tidak saya tidak ketika menemani ayah saya belanja, saya tidak mengambil produk-produk tersebut. Lambat laun semangat itu pun mulai memudar, akhirnya kita beli produk-produk tersebut. Terlebih lagi gencatan senjata antara Hamas dengan Israel telah dilakukan.

Ketika sudah mulai SMA hingga kuliah saya mendalami lagi semua sejarah soal Palestina & Israel, etnis Yahudi, agama Yahudi hingga asal usul gerakan zionisme mengapa gerakan tersebut ada dan mengapa Israel bisa berdiri? 

Semua hal-hal itu saya pelajari. Kuliah pun saya mempelajari hal tersebut, bahkan hingga lulus kuliah terkadang masih suka membaca mengenai tema-tema ini. Termasuk juga situasi terbaru di Timur Tengah. 

Selama kuliah saya sudah pada kesimpulan bahwa memboikot produk-produk yang disinyalir pro-Israel nyaris mustahil. Mengapa? Sebab medsos hingga mesin pencarian (search engine) hampir semuanya dibuat oleh orang Yahudi. Bahkan dengan jujur harus kita akui, bahwa teknologi-teknologi tersebut memudahkan kehidupan kita. 

Memang banyak medsos-medsos tersebut hingga mesin pencarian, memungkinkan kita untuk membuat konten Pro-Palestina dan mengecam Israel, bahkan dalam tindakan lebih ekstrem mengecam orang Yahudi; tindakan yang tidak bisa saya terima sepenuhnya. Sebab yang perlu dilawan bukan orang Yahudi, tapi kekejaman militer Israel dan tidak semua orang Yahudi mendukung tindakan militer Israel. 

Ketika medsos penggunaannya meluas dan juga mesin pencarian, publik saat itu belum sadar tentang ekses daripada medsos dan bagaimana cara kerja medsos serta mesin pencarian yang melakukan pelacakan (tracking) terhadap perilaku pengguna yang menggunakan jasa mereka, melalui cookies yang kemudian algoritmanya membaca keseharian kita. Sehingga seringkali ketika chat dengan teman kita di medsos tentang suatu produk, tiba-tiba di medsos lain sudah ada iklan produk yang kita bicarakan. 

Lambat laun hal ini pun mulai disadari dan sudah menjadi rahasia umum juga bahwa website-website juga melakukan tracking, termasuk medsos dan search engine. Sehingga di negara-negara Uni Eropa sudah diberlakukan peraturan yang menyatakan bahwa website yang beroperasi di wilayah Uni Eropa itu memiliki cookies dan harus meminta izin pengguna yang mengakses website itu apakah ia menerima adanya cookies? 

Hal ini lazim bila kita mengklik website perusahaan dari negara Uni Eropa ataupun media dari negeri Uni Eropa. Paling tidak satu fakta pahit yang harus kita terima, bahwa sebenarnya data pribadi kita selama ini dimonetisasi di semua layanan tersebut. 

Kita tidak bisa menyalahkan, sebab layanan-layanan medsos tersebut pada dasarnya gratis dan mereka menggunakan data kita sebagai bayarannya. Data ini diberikan kepada pihak pengiklan agar iklan mereka tepat sasaran.

Selama sudah ada medsos hingga mesin pencarian yang bisa menjadi pengganti dari medsos dan mesin pencarian yang ada. Untuk medsos video sudah ada penggantinya, medsos berbasis aplikasi pengirim pesan sudah ada penggantinya, bahkan mesin pencarian sudah ada. 

Namun hingga kini medsos-medsos tersebut tidak pakai, seandainya dipakai frekuensinya tidak sesering medsos yang dituding pro-Israel. Sekarang perlu kita pikirkan, satu ironi terbesar dari semua seruan boikot dan disinvestasi terhadap Israel menggunakan medsos ataupun mesin pencarian buatan Yahudi juga. 

Saya pernah mengajukan pertanyaan itu pada teman saya, lantas ia mengatakan tidak ada salahnya menggunakan senjata buatan musuh. Oke kalau begitu bagaimana dengan datamu yang selama ini dipergunakan untuk dimonetisasi? Ia kemudian terdiam. Bahkan satu fakta pahit, belakangan ini iklan di medsos saya didominasi oleh kaos Palestina dan juga kaos-kaos anti-Israel, padahal saya cuma searching dan diskusi soal Palestina serta mengecam Israel di medsos. 

Bahkan ketika saya menggunakan emoticon semangka, untuk menghindari censorship di medsos kemudian saya lihat iklan kaos semangka. Itulah kuasa kapitalisme, mereka tidak peduli soal ideologi. Bila menjual kaos anti-kapitalisme dan untung besar, para kapitalis ini siap melakukannya. Platform medsos dan mesin pencarian ini, melakukan apa saja asalkan keuntungan mereka meningkat.

Yang harus kita pikirkan bersama seandainya produk-produk yang diboikot itu lenyap, lantas bagaimanakah nasib karyawan Indonesia yang kebanyakan Muslim menggantungkan hidupnya di sana, sedangkan angka pengangguran tinggi dan mencari pekerjaan sulit? 

Bagaimana juga nasib supplier dan vendor yang bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan itu? Bagaimana pendapatan negara ini ke depannya? Mengingat perusahaan-perusahaan tersebut bayar pajak yang tidak sedikit untuk negara ini. 

Bila kemudian perusahaan-perusahaan ini lenyap di Indonesia paling tidak, Indonesia masih melakukan ekspor-impor dengan negara-negara pro-Israel, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.

Negara-negara tersebut hingga hari ini menggunakan uangnya untuk mempersenjatai Israel hingga hari ini, terutama Amerika Serikat yang selalu memberi veto setiap kali ada sanksi PBB soal Israel. Bukan tidak mungkin, uang yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya kepada Israel, ada bagian dari uang itu bersumber dari uang kegiatan ekspor-impor dengan negara-negara Muslim. 

Bisa juga uang pembayaran hutang dari negara-negara Muslim yang selama ini membayar hutangnya ke Amerika Serikat dan sekutunya. Itulah masalah yang harus kita pikirkan bersama setelah aksi boikot ini dilakukan, kita jangan meniru kesalahan Jenderal Idi Amin, Presiden Uganda (1971 -- 1979) yang mengusir seluruh orang India dari negaranya dan menasionalisasi usaha mereka kemudian berakibat kepada kebangkrutan Uganda.

Semua ini tentunya sebuah dilema, terlebih bagi saya sendiri yang mengikuti Aksi Solidaritas Pro-Palestina di Monas, 5 November 2023. Saya pun tidak tahu, berapa kuat seruan boikot ini akan diserukan netizen. Juga berapa lamakah rakyat di negara mayoritas Muslim, khususnya Indonesia siap bertahan dengan aksi boikot ini? 

Namun bila kita maknai secara positif aksi boikot ini, maka bisa dipergunakan sebagai momentum kebangkitan industri dalam negeri. Kita bisa membangkitkan waralaba lokal agar kemudian mendunia sehingga bisa menjadi tandingan bagi waralaba-waralaba yang dituding pro-Israel, toh selama ini waralaba asing selalu punya saingan waralaba lokal yang punya cabang tidak kalah banyak di Indonesia. Umat pun bisa membangkitkan UMKM yang ada agar menjadi industri kelas dunia. Kita pun bisa mendirikan industri yang memproduksi produk pengganti dari produk yang selama ini dituding pro-Israel.

Bila aksi boikot hanya dikerjakan serampangan, tanpa dipikirkan membentuk industri substitusi atas barang-barang yang dituding pro-Israel ataupun tanpa upaya kita sendiri mendukung waralaba dan produk lokal, maka kisah sedih Uganda akan terulang di Indonesia. 

Kita bisa melihat Korea Selatan & Jepang, mereka memiliki banyak sekali waralaba makanan cepat saji yang mampu bersaing dengan waralaba cepat saji dan juga produk-produk yang mampu bersaing dengan produk yang dikatakan pro-Israel, bahkan cabang waralaba Jepang & Korea Selatan itu ada di Indonesia, termasuk produk-produk Jepang & Korea Selatan di Indonesia. 

Rakyat di kedua negara tersebut membeli produk buatan negaranya dengan semangat nasionalisme, tanpa adanya seruan boikot terhadap produk asing. Inilah yang harus kita pikirkan, langkah strategis apa yang perlu diperbuat oleh umat Islam atas fakta ini? Bila kita kembali pada pertanyaan awal, apakah memboikot itu mungkin? 

Tentu saja mungkin tinggal kita lihat seberapa kuat memboikotnya, karena langkah semacam ini seringkali musiman. Ketika isu Palestina sedang naik, maka keperdulian publik terhadap Palestina tiba-tiba meningkat kemudian orang-orang yang peduli pada isu memboikot produk-produk yang dianggap Pro-Israel; namun ketika isu ini kemudian meredup mereka kemudian lupa dan kemudian membeli kembali produk-produk yang sempat mereka boikot. 

Jika memang harus memboikot, harus dipikirkan juga langkah strategis apa yang harus diambil setelahnya. Jangan sampai kemudian terjadi pemboikot, perusahaan yang diboikot tutup dan terjadi pengangguran besar-besaran dan tidak adanya industri pengganti produk-produk tersebut. 

Memang pertanyaan-pertanyaan semacam ini bukanlah hal yang mudah untuk dijawab, semua yang dibahas penulis ini hanya pemantik agar kita berpikir lebih kritis dalam menghadapi problematika ini. 

Penulis pun dalam hal ini belum punya kuasa untuk memberi langkah kongkrit atas masalah ini dan hanya bisa berdoa. Semoga Allah SWT selalu melindungi orang-orang Palestina dan suatu saat Palestina bisa merdeka di bawah solusi 2 negara, serta terjadi perdamaian di Timur Tengah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun