Mohon tunggu...
Irsyad Mohammad
Irsyad Mohammad Mohon Tunggu... Sejarawan - Pengurus PB HMI, Pengurus Pusat Komunitas Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), dan Alumni Ilmu Sejarah UI.

Seorang aktivis yang banyak meminati beragam bidang mulai dari politik, sejarah militer dan sejarah Islam hingga gerakan Islam. Aktif di PB HMI dan Komunitas SATUPENA. Seorang pembelajar bahasa dan sedang mencoba menjadi poliglot dengan mempelajari Bahasa Arab, Belanda, Spanyol, dan Esperanto.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quo Vadis Partisipasi Perempuan dalam Politik: Mereinterpretasi Kembali Keterlibatan Perempuan dalam Politik Indonesia Pasca-Reformasi

29 Januari 2024   20:06 Diperbarui: 29 Januari 2024   20:06 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak abad 20 gerakan emansipasi wanita berkembang di mana-mana, termasuk juga di Indonesia. Sejak awal berdirinya Indonesia sudah cukup progresif pada masanya dalam memberlakukan kebijakan hak asasi kaum perempuan, bila dibandingkan negara-negara berkembang lain yang merdeka setelah Indonesia atau sezaman dengan Indonesia. Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah memberi hak pilih kepada kaum perempuan dan sudah mengangkat menteri wanita pertama, Maria Ulfah sebagai Menteri Sosial. Paling tidak kita bisa melihat bahwa perempuan sudah dilibatkan aktif dalam politik, bahkan beberapa ada yang ikut angkat senjata dalam perang kemerdekaan.

Hal ini tentunya berbeda dengan banyak negara-negara demokrasi barat, banyak negara demokrasi barat pada mulanya tidak memberikan wanita hak untuk memilih dan dipilih. Seperti Amerika Serikat saja sejak kemerdekaan mereka 4 Juli 1776, memberikan hak pilih hanya kepada laki-laki kulit putih kaya dan persyaratan minimal kekayaan diatur dalam undang-undang untuk bisa memilih presiden. 

Hak pilih universal bagi seluruh pria kulit putih baru diberikan pada masa Presiden Andrew Jackson yang berkuasa sejak 1829 – 1837, hal itu saja sudah dianggap revolusioner pada zamannya dan kebijakan inilah yang melahirkan istilah “Jacksonian Democracy.” Selepas isu hak pilih universal bagi seluruh pria kulit putih, tanpa melihat batasan kekayaan kemudian muncul gerakan penghapusan perbudakan (abolisionisme) hingga akhirnya terpilih Presiden Abraham Lincoln. Keputusan Lincoln untuk menghapuskan perbudakan memicu Perang Saudara Amerika Serikat (1861 – 1865), keputusan ini membuat Lincoln harus kehilangan nyawanya. 

Abraham Lincoln dan istrinya Mary, dibunuh saat menonton teater oleh John Wikes Booth seorang pendukung perbudakan. Meski Lincoln menjadi martir, namun akhirnya kalangan kulit hitam (Afro-Amerika) yang diperbudak kemudian mulai dibebaskan dan pelan-pelan mendapatkan haknya, termasuk hak pilih namun bagi pria kulit hitam saja.

Lantas bagaimana dengan kalangan perempuan di Amerika Serikat? Perempuan sendiri baru mendapatkan hak pilihnya pada tahun 1920 setelah kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dunia I (1914 – 1920). Wanita bisa mendapatkan hak pilihnya berkat Prof. Woodrow Wilson yang saat itu menjadi Presiden Amerika Serikat. Langkah Prof. Wilson sangatlah progresif, sehingga banyak wanita di Amerika Serikat berterima kasih kepadanya atas hal ini. Jika kita lihat perbandingan antara Amerika Serikat dengan Indonesia, tentunya sangat jauh. 

Tidak perlu waktu lama bagi wanita untuk punya hak pilih, hak itu diberi sejak Indonesia Merdeka, Amerika Serikat perlu 2 abad untuk memberi hak pilih kepada wanita. Indonesia sudah pernah memiliki presiden wanita, bahkan hingga sekarang partai politik terbesar di Indonesia dipimpin oleh wanita. Sedangkan hal ini belum pernah terjadi di Amerika Serikat.

Bahkan bila kita lihat struktur dan aturan bahasa (grammar) Bahasa Indonesia relatif lebih egaliter bila dibandingkan sejumlah bahasa-bahasa besar di dunia seperti bahasa Indo-Eropa (Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, Italia, Belanda, Jerman, Rusia, dll) dan bahasa Semitik (Arab, Amhara, Ibrani). Di Bahasa Indonesia yang termasuk rumpun bahasa Austronesia kita tidak mengenal kata gender, baik itu feminin, maskulin, hingga netral gender baik dalam kata benda maupun subjek. Dalam Bahasa Inggris kita mengenal kata gender, seperti kata “he” untuk kata dia (laki-laki) dan “she” untuk kata dia (perempuan), bahkan untuk kata kepemilikan (possessive pronoun) pun dibedakan “his” (untuk laki-laki) dan "her" (untuk perempuan), untungnya di bahasa Inggris kata gender ini hanya untuk subjek dan tidak untuk benda. 

Di bahasa Indo-Eropa lain seperti Jerman, Belanda, Spanyol, Portugis, Perancis. Saya bedah misalkan di Bahasa Belanda yang memang saya pernah belajar, kata benda dibedakan menjadi dua: maskulin yang menggunakan definitive article/kata depan “de” dan feminine yang menggunakan “het.” Contoh untuk kata benda maskulin: de taffel (meja), de partij (partai), de land (negara), de vis (ikan). Sedangkan untuk kata feminin: het boek (buku), het ei (telur), het vlees (daging). Di bahasa Spanyol mereka menggunakan awalan “el” untuk kata maskulin, sedangkan untuk feminin menggunakan “la”. 

Sebagaimana juga dalam bahasa Perancis pun menggunakan “le” untuk kata maskulin dan “la” untuk kata feminine. Bahkan di Bahasa Arab sendiri ada ta marbutah (ة) di akhir kalimat untuk menunjukkan kata itu feminin atau tidak. Pertanyaan dari semua ini, atas dasar apa kata benda bisa ditentukan jenis kelaminnya? Sejak kapan telur bisa berjenis kelamin perempuan dan ikan bisa berjenis kelamin laki-laki? Tentu penentuan ini saya kira murni berdasarkan prasangka dan bias gender, penutur bahasa ini pada awalnya. Saya teringat perkataan dosen bahasa Belanda saya, di matkul Bahasa Belanda Sumber Sejarah bahwa tidak ada cara lain untuk tahu jenis kelamin dalam satu kata benda selain menghafalkannya. 

Kita patut bersyukur, bahwa bias gender yang dimiliki nenek moyang kita di Indonesia tidak begitu parah sehingga harus menentukan kata benda mana yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Paling tidak dari struktur kebahasaan yang merupakan produk budaya, yang tentu berasal dari alam bawah sadar nenek moyang bangsa Indonesia; kita bisa melihat bahwa sejak dahulu kala Bangsa Indonesia lebih egaliter dalam melihat perempuan ketimbang bangsa-bangsa lain di dunia.

Kendati demikian, sayangnya bukan berarti problematika ketimpangan gender lantas usai terutama bila kita melihat rasio keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam politik Indonesia. Bahkan bila kita melihat angka kekerasan seksual, di Indonesia juga masih cukup mengkhawatirkan salah satu penyebabnya, karena tiadanya edukasi seks (sex education). Bila di kalangan pesantren, edukasi seks itu diajarkan melalui Kitab Qurutul Uyun dan Kitab Fathul Izar. Namun dua kitab itu sendiri, masih belum bisa menjawab sepenuhnya masalah seksologi kontemporer, namun hal itu mending daripada tidak ada sama sekali. Belum lagi masih ada masalah ketimpangan sosial perempuan di bidang ekonomi, bahkan untuk karier pun demikian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun