orang diperkirakan memadati Kawasan Monas untuk mendukung kemerdekaan Palestina dan mengecam kekejaman Israel. Banyak orang dari berbagai daerah hingga beragam etnis dan agama di Indonesia menyerukan dukungannya untuk pembebasan Palestina di Monas. Hal ini di luar dugaan saya ketika mengikuti aksi ini, saya tersentuh dan tidak menyangka bahwa rakyat Indonesia begitu solid dan begitu peduli atas penderitaan rakyat Palestina. Banyak orang yang rasa keadilannya terketuk ketika melihat anak kecil tidak berdosa mati akibat pengeboman pesawat Israel, anak-anak yang kehilangan orang tuanya, orang tua yang kehilangan anaknya, suami yang kehilangan istrinya, istri yang kehilangan suaminya, serta seorang adik yang kehilangan kakaknya, dan kakak yang kehilangan adiknya. Banyak orang di dunia, termasuk saya sendiri terketuk melihat kekejaman yang dilakukan tentara Israel atas orang-orang tidak berdosa.
Syahdan pada hari Minggu 5 November 2023, diperkirakan terdapat ratusan ribu hingga jutaanMulanya saya mengetahui akan adanya aksi ini, karena saya melihat jarkoman dari teman saya tentang Aksi Solidaritas untuk Palestina, yang membuat saya berdecak kagum karena aksi solidaritas ini mengundang pemuka lintas agama, jadi bukan saja pemuka agama Islam, namun juga pemuka agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu -- pemrakarasa aksi ini tentunya hendak menunjukkan bahwa membela Palestina, bukanlah tugas umat Islam semata melainkan tugas kemanusiaan, tidak perlu menjadi Islam ataupun Kristen ataupun Atheis ataupun Agnostik ataupun Yahudi untuk membela Palestina, cukuplah anda menjadi manusia dan peduli atas penindasan yang menimpa sesama manusia. Konsep yang keren pikir saya, okelah saya memutuskan untuk berangkat, demi kemanusiaan dan solidaritas mendukung orang Palestina. Saya berangkat dari Stasiun LRT Cibubur untuk turun ke Stasiun Dukuh Atas, saya melihat pagi-pagi hari Minggu sudah banyak orang membawa syal Palestina dan atribut bendera Palestina, serta berpakaian sesuai dress code baju putih. Saya memakai baju koko berwarna putih, saya masih menyimpan syal saya di tas. Ada keluarga lengkap seorang kakek-kakek beserta anak, menantu dan cucunya ikut aksi ini. Saya kagum melihat anak kecil membawa bendera Palestina, pikir saya keren sekali keluarga ini -- anaknya sedari kecil sudah dididik anti-penindasan. Mereka yang melihat saya bertanya: "Syalnya ada gak? Kalau ada dipakai dong. Jangan malu jadi umat Islam." Saya langsung pakai syal Palestina saya, yang merupakan pemberian orang Anas Al-Masri, orang Palestina dari Gaza dan pemilik restoran Palestina di Condet waktu saya makan di sana. Selama perjalanan saya tidak merasa sendiri, di gerbong kereta banyak massa aksi yang tiba-tiba jadi saudara seperjuangan saya dan menemani perjalanan saya, saya bercakap-cakap dengan mereka selama di perjalanan.
Memang invasi Israel atas Gaza yang kesekian kalinya ini biadab dan melampaui nalar kemanusiaan. Gaza yang mengalami blokade selama 16 tahun, sejak tahun 2007 oleh Israel dan Mesir telah membuat Jalur Gaza menjadi penjara terbuka terbesar (open air prison) di dunia dengan sekitar 2,3 juta pada tahun 2022. Blokade ini terjadi sejak Hamas berkuasa atas Jalur Gaza, akibat dari Perang Saudara Fatah -- Hamas. Memang saya menyesalkan adanya Perang Saudara ini, Palestina membutuhkan solidaritas untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Tapi mereka malahan pecah di dalam dan harapan akan perdamaian malahan pupus hingga sekarang, sejak dualisme pemerintahan ini lantas perjanjian damai antara Israel dan Palestina mandeg. Diperparah lagi kubu yang berkuasa di Israel, di bawah kepemimpinan Netanyahu tidak mengindahkan Kesepakatan Oslo II dan tetap membangun pemukan illegal di Tepi Barat. Akibatnya banyak rakyat Gaza mendapatkan senjatanya, serta pakaian, obat-obatan, dan bahan pangan lewat terowongan yang dibangun oleh Hamas. Mesir sendiri menutup perbatasannya, karena menghormati hubungan diplomatik mereka dengan Israel. Harapan Israel dan Amerika Serikat atas blokade tersebut, agar rakyat Gaza memberontak dan menggulingkan Hamas lalu berpihak pada perdamaian. Yang tidak pernah dipelajari oleh Amerika Serikat dan Israel, embargo ataupun blokade terhadap rakyat tidak pernah berhasil malahan mereka membenci negara yang memblokade mereka dan jadinya mendukung Hamas yang menyediakan bahan pokok untuk mereka serta perlawanan bersenjata. Ini saya bukan bias di sini saya melihat embargo Amerika Serikat terhadap Kuba, Iran, Rusia, Korea Utara, Irak gagal. Embargo bukannya membuat pemerintahan yang mereka embargo menyerah -- apalagi rakyat mereka bergerak menggulingkan pemerintahan mereka dengan harapan pemerintahan yang lunak berdiri kemudian berkompromi untuk mengakhiri embargo, malahan rakyat negara sasaran embargo jadi sasaran empuk propaganda pemerintah mereka untuk membenci Amerika Serikat dan negara yang diembargo tiba-tiba jadi mandiri serta membuat produk sendiri untuk menjadi pengganti produk Amerika Serikat. Â Mengapa demikian? Negara yang menjatuhkan embargo bukan hanya memerangi pemerintah yang mereka lawan, tapi rakyatnya sekalian walhasil rakyat yang diembargo jadi benci kepada Amerika Serikat.
Ada banyak propaganda di internet berseliweran bahwa yang Israel lakukan bukan invasi tapi hak mereka melindungi kedaulatannya sendiri. Okelah kalau propaganda Israel mengatakan kalau mereka melindungi diri dari Hamas dan Hamas itu adalah teroris dan sebagainya, serta Hamas menggunakan tameng sipil. Mengapa kemudian tentara Israel harus membunuhi orang-orang tidak berdosa? Mengapa mereka harus bom rumah sakit, mengapa mereka harus bom sekolah, rumah-rumah, masjid, gereja, panti asuhan? Itulah mengapa dunia mulai tergerak mengecam kebiadaban pasukan Israel, terutama Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu yang memutuskan invasi ini. Sehingga aksi-aksi mengecam Israel dan mendukung Palestina muncul di berbagai negara, termasuk negara-negara yang selama ini mendukung Israel seperti di Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, dan sebagainya. Rakyat di negeri-negeri tersebut tidak rela uang pajak mereka dipakai untuk membiayai kebiadaban tentara Israel, serta mengecam dukungan pemerintahan mereka terhadap Israel. Bahkan seruan untuk boikot produk yang dianggap mendukung Israel dan seruan disinvestasi (menarik investasi) di Israel, mulai kencang.
Saya sendiri sejak kecil memang peduli terhadap nasib orang-orang Palestina dan penindasan yang mereka alami selama ratusan tahun sejak Deklarasi Balfour 1917 yang mengizinkan orang-orang Yahudi Eropa membentuk koloni mereka di Palestina. Ada 3 raison d'etre yang membuat saya sangat peduli terhadap isu ini:
1. Pertama, keyakinan pribadi saya sendiri sebagai penganut agama Islam dan status Yerusalem, khususnya Masjid Al-Aqsa sebagai Tanah Suci Umat Islam dan juga Masjid Al-Aqsa sebagai kiblat pertama. Juga adanya Masjid Kubah As-Sakhrah (Dome of the Rock), 2 Masjid Suci yang terletak di Kawasan Temple Mount (Yerusalem Timur). Masjid Al-Aqsa hingga sekarang dikuasai oleh Israel dan juga militer Israel memberikan perlakuan buruk untuk Muslim Palestina yang hendak sholat di situ, sebab saya selalu melihat video-video orang yang sholat di Al-Aqsa, mereka tidak pernah bisa sholat di situ melainkan hanya di kawasan luar dekat Al-Aqsa. Turis boleh masuk ke situ, termasuk juga dari Indonesia namun hanya bisa berkunjung layaknya ke museum tidak bisa sholat di situ. Sedangkan orang Palestina asli, hanya yang berumur di bawah 18 tahun dan di atas 40 tahun yang diizinkan masuk. Kawasan Al-Aqsa dijaga ketat dengan penjagaan militer Israel.Â
Perlakuan buruk militer Israel ini diberlakukan sejak Intifada Kedua (2000 -- 2005) atau Second Uprising, jadi perlawanan rakyat Palestina ke-II akibat gagalnya Perundingan Camp David 2000 yang tidak menghasilkan kesepakatan apa-apa. Muslim Palestina yang masuk ke area Al-Aqsa seringkali menggunakan momen sholat, terutama sholat Jumat untuk berorasi mengecam penjajahan Israel ataupun mengecam orang-orang Yahudi, seringkali kecaman tersebut dianggap bernada anti-semitisme. Orasi tersebut seringkali berakhir bentrok dengan militer Israel. Walhasil militer Israel akhirnya memberlakukan peraturan tersebut. Pengecualian hanya diberikan pada turis asing. Saya melihat konten orang Indonesia di tiktok yang main ke Masjid Al-Aqsa Yerusalem. Kendati demikian Muslim Palestina tetap tidak menyerah, mereka banyak yang hingga hari ini mengadakan sholat di kawasan luar Al-Aqsa, tentu dengan penjagaan ketat militer Israel.
Bukan kali pertama Al-Quds atau Yerusalem diduduki oleh bangsa non-Arab, dulu Bangsa Eropa ketika Perang Salib menguasai wilayah ini selama 88 tahun (1099 -- 1187) sampai wilayah Palestina dibebaskan oleh Salahudin Al-Ayyubi atau dikenal di barat sebagai Salladin. Ketika Salahuddin Al-Ayyubi berkuasa dan mengalahkan pasukan salib, ia tidak melakukan pembantaian terhadap umat Kristen di sana dan mengizinkan pasukan salib pergi bersama keluarganya sambil membawa harta benda mereka. Wilayah Palestina kemudian dikuasai oleh Ottoman pasca Dinasti Mamluk, yang menggantikan Dinasti Ayyubi berkuasa. Sejak dulu zaman Khalifah Umar bin Khattab (RA) berkuasa atas Yerusalem pada 637 M dan memberi kebebasan beragama terhadap umat Yahudi dan Kristen di Yerusalem. Semua pemerintahan Islam yang berkuasa di Yerusalem pun berbuat hal yang sama, bahkan Ottoman yang terakhir menguasai Yerusalem mengizinkan orang Islam, Kristen, dan Yahudi untuk ziarah serta beribadah di tempat sucinya masing-masing.
Tentu ini menjadi hal yang miris, bila Israel mempersulit akses ke Al-Aqsa, meski Israel berargumen mereka memberi kebebasan untuk umat Islam beribadah di Israel dan saya melihat video-video masjid berdiri di Israel dan mereka bisa sholat di Israel, saya lihat itu di akun youtube Kemenlu Israel. Namun dunia tidak melihat ke situ. Mereka melihat ke Tanah Suci umat Islam yang hingga kini masih dikuasai oleh Israel. Yang harus dipahami, umat Islam di Israel ataupun di Palestina mereka ingin sholat di Tanah Suci mereka, itu yang harus dipahami. Seperti juga umat Kristen dan Yahudi yang ingin beribadah di tempat suci mereka. Mungkin lain ceritanya kalau Israel memberikan kebebasan beribadah di Al-Aqsa, maka citra Israel akan berbeda; tentu kesimpulan ini saya dapatkan pasca lulus kuliah setelah sekian lama menggeluti isu Palestina. Saya ingin seluruh umat beragama, terutama Agama Samawi atau Abrahamaic Religion seperti Islam, Kristen, Samaria (Samaritan), dan Yahudi (Yudaisme) bisa beribadah dengan bebas dan damai di Yerusalem.
2. Kedua, latar belakang saya sendiri sebagai keturunan Arab. Saya terlahir dari keluarga keturunan Arab, di mana kedua orang tua saya kedua-duanya adalah keturunan Arab dan masih memiliki marga Arab. Keluarga kami adalah keturunan dari pendatang Arab dari Hadhramaut atau di Alkitab disebut Hazarmaveth, Yaman. 97% etnis Arab-Indonesia berasal dari daerah Hadhramaut. Kami etnis Arab-Indonesia lahir di Indonesia dan bertanah air Indonesia, bahkan mayoritas dari kami tidak bisa berbahasa Arab, meski ada beberapa pengecualian seperti saya karena saya belajar bahasa Arab di Duolingo. Juga banyak ulama dan habaib keturunan Arab yang belajar bahasa Arab dan lebih fasih daripada saya, namun mayoritas yang saya temui tidak bisa berbahasa Arab. Bahkan banyak orang Indonesia non-Arab yang lebih fasih berbahasa Arab daripada kami. Namun tetap saja kesamaan etnis ini tentu mengetuk hati saya akan penderitaan Muslim Palestina.
3. Ketiga, alasan kemanusiaan. Penjajahan adalah hal serius dan pelanggaran hak asasi manusia terbesar. Sudah banyak genosida, persekusi serta eksploitasi manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l'homme) dan eksploitasi bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation) terjadi karena penjajahan, kolonialisme dan bentuk tertingginya kolonialisme, yakni imperialisme. Saya mendukung penyelesaian damai konflik Israel -- Palestina dengan Solusi 2 Negara (Two State Solution), namun solusi 2 negara bagaikan jauh panggang dari api. Perjanjian damai semakin mandeg, kedua belah pihak tidak dapat mengikuti kewajiban Perjanjian Oslo. Wilayah Tepi Barat makin mengecil karena banyak pemukiman ilegal Israel, bahkan banyak tembok pembatas dan pos jaga militer Israel yang mempersulit langkah gerak penduduk Palestina. Dulu tahun 1944, Mufti Amin Al-Husseini pemimpin komunitas Muslim Palestina mendukung kemerdekaan Indonesia dalam siaran radio berbahasa Arab di Jerman. Itulah sebabnya banyak rakyat Indonesia mendukung Palestina sebagai rasa terima kasih kepada Palestina, amat disayangkan sudah ratusan negara merdeka dari penjajahan namun Palestina hingga kini belum merdeka.