Mohon tunggu...
Irsyad Mohammad
Irsyad Mohammad Mohon Tunggu... Sejarawan - Pengurus PB HMI, Pengurus Pusat Komunitas Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), dan Alumni Ilmu Sejarah UI.

Seorang aktivis yang banyak meminati beragam bidang mulai dari politik, sejarah militer dan sejarah Islam hingga gerakan Islam. Aktif di PB HMI dan Komunitas SATUPENA. Seorang pembelajar bahasa dan sedang mencoba menjadi poliglot dengan mempelajari Bahasa Arab, Belanda, Spanyol, dan Esperanto.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Suara Muhammadiyah Menurun? Suatu Analisa Komperehensif

10 Oktober 2023   16:16 Diperbarui: 10 Oktober 2023   18:10 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hasil temuan survei LSI Denny JA terdapat satu hasil temuan survei yang menarik, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir mereka yang mengafiliasi dirinya dengan Muhammadiyah menurun dan mereka yang mengafiliasi dirinya dengan NU malahan naik. Dalam video youtube dari akun Orasi Denny JA, dapat kita saksikan Denny JA memaparkan data survei dari lembaganya tentang penurunan massa Muhammadiyah dan naiknya massa NU. 

Dipaparkan dalam video berjudul Denny JA: NU menaik, Muhammadiyah menurun, Mengapa?, bahwa dalam temuan survei LSI Denny JA jumlah public yang mengafiliasi dirinya dengan Muhammadiyah pada Agustus 2005 ada 9,4% dan pada Agustus 2023 menurun menjadi tinggal 5,70%. Hal berbeda terjadi pada NU yang mengalami kenaikan signifikan dari sebelumnya pada Agustus 2005 ada 27,5% yang mengafiliasi dirinya dengan NU, maka pada Agustus 2023 naik menjadi 56,9% orang yang mengafiliasi dirinya dengan NU.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal Muhammadiyah dan NU sama-sama berdiri di zaman kolonial Belanda, Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 dan Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 31 Januari 1926. Namun mengapa Muhammadiyah yang berdiri lebih dahulu bisa kalah dari segi massa dengan NU? Malahan Muhammadiyah yang menghasilkan banyak tokoh bangsa, belakangan secara pengaruh mulai disalip oleh NU. Padahal pada awal kemerdekaan beberapa tokoh bangsa ini malahan menjadi kader Muhammadiyah, seperti: Bung Karno, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Siti Walidah, Jenderal Sudirman, Ir. Djuanda, Fatmawati. 

Jejak Bung Karno sendiri di Muhammadiyah sangat jelas, Bung Karno menjadi pengurus Muhammadiyah di Bengkulu ketika ia dibuang ke sana oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Selama di sana Bung Karno aktif di Muhammadiyah, bahkan sampai dapat istri dari Muhammadiyah, Ibu Fatmawati yang merupakan anak tokoh Muhammadiyah Bengkulu. Bung Karno menganggap Muhammadiyah membawakan ajaran Islam yang progresif pada masanya.

Kiprah Muhammadiyah di negeri ini sangat besar bahkan hingga awal Reformasi, gerakan Reformasi digerakkan oleh Prof. Dr. Amien Rais yang saat itu adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah. Hingga kemudian gerakan ini didukung oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat itu menjabat sebagai Ketum NU, juga oleh bergai tokoh intelektual, aktivis, dan banyak politisi pada masa itu. Selain di bidang politik peran Muhammadiyah dalam bidang sosial dan kemasyarakatan sangat terasa, Muhammadiyah memiliki banyak sekali universitas, rumah sakit, tk hingga SMA, juga pesantren.

Namun pasca Pemilu 2004, sebagaimana dikutip dari data survei LSI Denny JA -- suara Muhammadiyah menurun. Survei tersebut tidak menjelaskan mengapa penurunan ini bisa terjadi? Ada beberapa penyebab mengapa suara Muhammadiyah bisa menurun, namun penyebab yang paling utama adalah Muhammadiyah kehilangan tema, sebab tema perjuangannya kemudian diambil alih oleh gerakan Islam transnasional (Salafi/Wahhabi, Tarbiyah/Ikhwanul Muslimin, dll) yang kebetulan memiliki kemiripan ajaran dengan Muhammadiyah dan mereka lebih militan mendakwahkan ajarannya. Selain itu juga ada beberapa faktor lain yang akan kita bahas lebih lanjut.

Quo Vadis Muhammadiyah: Dilema dan Tantangan. 

Kita akan mendeskripsikan beberapa faktor menurunnya suara Muhammadiyah dari 2004 -- 2023, beberapa faktor tersebut ialah:

1. Muhammadiyah kehilangan tema dan basis massanya diambil oleh kelompok Islam transnasional. Sejak berdirinya pada tahun 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah memiliki raison d'etre memurnikan ajaran Islam dari pengaruh Takhayul, Bid'ah, dan Churofat (TBC) dan juga memodernisasi serta memajukan kehidupan umat Islam yang tertinggal oleh peradaban barat melalui modernisasi pendidikan, kebudayaan, dan ibadah sosial yang diwujudkan melalui tafsir Surah Al-Ma'un tentang menyantuni anak yatim. 

Jadi ibadah bukan saja melulu soal sholat, namun juga ditekankan bagi orang yang sholat hendaknya mewujudkan ibadah ritualnya dalam kehidupan sosial dan mengangkat kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Muhammadiyah menjadi pelopor pendidikan Islam modern dengan mendirikan sekolah dengan kurikulum agama namun juga memasukan pendidikan non-agama seperti matematika, bahasa Inggris, sejarah, sains, dll. Pada masa berdirinya Muhammadiyah pendidikan agama masih didominasi oleh pesantren tradisional, serta materi pembelajaran masih sebatas pelajaran agama.

Muhammadiyah meyakini penyebab ketertinggalan umat Islam di Indonesia karena banyak praktek keberislaman yang terpengaruh oleh TBC. Praktek TBC yang dimaksud ialah pengkeramatan kuburan, taqlid buta kepada kyai, talqin, tahlilan, tawasul, maulidan, dll. Soal praktek yang dituding TBC ini, saya sendiri menyerahkan kepada masing-masing keyakinan pembaca. 

Argumen yang menentang praktek-praktek TBC terdapat rasionalisasinya dan yang mendukung pun juga punya rasionalisasinya. Yang jelas pada sebelum berdirinya Muhammadiyah, banyak orang yang mengamalkan tahlilan tanpa tahu dalilnya, sehingga banyak orang yang berasal dari keluarga miskin memaksakan diri melakukan tahlilan padahal warisan yang diberikan hanya pas-pasan. Mereka tahunya ini kewajiban agama, padahal bukan. K.H. Ahmad Dahlan punya niat memberangus praktek tahlilan karena melihat banyak orang miskin yang habis hartanya lantaran mereka melakukan tahlilan. Soal tahlilan sendiri pada akhirnya situasional juga, kalau dilakukan gak apa dan kalau enggak juga tidak apa-apa asalkan yang meninggal kita doakan.

Pemikiran semacam Muhammadiyah ini di kemudian hari kita kenal sebagai gerakan modernis Islam atau gerakan pembaharuan Islam, pembahasan lebih lanjut soal ini ada pada Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 -- 1942 (1982) yang ditulis oleh Deliar Noer. Selain Muhammadiyah muncul juga Persatuan Islam (Persis) yang berdiri pada 1923, Persatuan Umat Islam (PUI) di Sukabumi pada 1917, Al-Irsyad pada 1914 di Jakarta. 

Gerakan-gerakan modernis Islam selain Muhammadiyah ini, pada umumnya memiliki misi yang hampir serupa dan juga memurnikan Islam dari pengaruh TBC menjadi tema utama gerakannya. Bermunculannya banyak organisasi modernis Islam yang membid'ahkan dan menyesatkan banyak praktek peribadatan yang dilakukan oleh kalangan pesantren membuat jengah para kyai-kyai pesantren, akhirnya mereka merespon kencangnya dakwah gerakan modernis Islam ini dengan mendirikan Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya.

Munculnya berbagai gerakan pembaharuan Islam ini memicu resistensi dari kalangan ulama dan pesantren yang mewaspadai munculnya gejala wahhabisme dari kaum Islam modernis ini. Terlebih banyak kelompok-kelompok modernis ini menyerukan untuk tidak bermazhab dan taqlid buta pada satu mazhab, sedangkan banyak kalangan pesantren yang menganut ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Sunni) dengan mazhab fiqih Syafi'i, mazhab kalam (teologi) Asy'ari, dan tasawuf Al-Ghazali. Reaksi awal kelompok-kelompok yang menentang ide modernisasi Islam ini mulanya sangat reaktif, wajar saja karena saat Kota Mekkah dan Madinah ditaklukkan pada tahun 1924 oleh pasukan Ibn Saud yang beraliran wahhabi, banyak ulama beraliran non-wahhabi yang dibunuh termasuk ulama dari Indonesia. 

Oleh karenanya Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai respon atas penaklukan Kota Mekkah dan Madinah oleh kaum wahhabi. Pengaruh ajaran wahhabi memang ada dalam gerakan modernis Islam, sebab mereka membahas hal yang kurang lebih sama dengan wahhabi dalam hal pemurnian Islam dari unsur-unsur tidak Islami. Juga banyak literatur wahhabi turut diterjemahkan juga ke Bahasa Indonesia, serta buku-buku tokoh modernis Islam dari Timur Tengah seperti Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, dan Sayyid Rasyid Ridha. Sehingga ada kekhawatiran modernisme Islam di Indonesia membawa ajaran wahhabisme. Di kemudian hari kelompok-kelompok yang menentang ide modernisme Islam ini, seperti NU, Nahdlatul Wathan (NW), Jami'at Kheir, seringkali dianggap sebagai kelompok Islam tradisionalis.

Dalam perjalanannya kelompok modernis Islam dengan kelompok Islam tradisionalis pada mulanya memang beberapa kali bergesekan, namun pada akhirnya mereka mulai bersatu dan memperjuangkan kemerdekaan Islam sebagai cita-cita bersama. Hal ini juga terjadi karena pada tahun 1943, ketika Jepang menjajah Indonesia kemudian Jepang mempersatukan semua ormas Islam dalam wadah federasi ormas Islam, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang diketuai oleh K.H. Hasyim Asy'arie (pendiri NU) yang di kemudian hari pasca kemerdekaan berubah menjadi partai. 

Tujuan pendirian Masyumi untuk menghimpun kekuatan umat Islam demi kemenangan Perang Asia Timur Raya (1937 -- 1945), hal ini dibahas dengan baik oleh Harry J. Benda dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (1980). Penyatuan secara paksa ini oleh Jepang ini turut membuat kelompok Islam tradisionalis dan Islam modernis ada wadah untuk saling mengenal dan pada akhirnya mereka memiliki satu tujuan bersama Indonesia merdeka.

Pasca kemerdekaan hubungan antara gerakan modernis dengan tradisionalis Islam mengalami pasang surut, awal muncul konflik karena NU tidak diberi jabatan Menteri Agama pada Kabinet Wilopo (1952 -- 1953). Masyumi tidak menghendaki memberikan Kementerian Agama kepada NU, sedangkan NU merasa harus mempertahankan Kementerian Agama untuk melindungi praktek tradisionalis Islam dari derasnya arus modernis Islam di Masyumi. Oleh karena NU tidak diberi kemudian NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, partai NU menang urutan no.3 setelah Masyumi yang menempati urutan no.2 di Pemilu 1955. 

Setelahnya hubungan antara kelompok Islam tradisionalis dan modernis mengalami pasang surut hingga sekarang. Namun relatif antara kelompok tradisionalis dan modernis sudah ada saling tenggang rasa, kelompok modernis sendiri sudah mengalami moderasi dan bisa menerima praktek-praktek yang sebelumnya dianggap TBC. Kurang lebih sikap kelompok modernis sekarang: "Kami meyakini tidak melakukan tahlilan, talqin, qunut, dll. Cuma kalau mau ada yang melaksanakan, monggo silahkan. Itu semua keyakinan masing-masing, selama masih Islam jangan saling menyesatkan dan mengkafirkan." 

Sikap moderat pun dilakukan oleh kelompok tradisionalis, Banser NU turut menjaga keamanan pelaksanaan sholat Idul Fitri yang dilakukan Muhammadiyah di sejumlah kota, hal ini terjadi ketika NU dan Muhammadiyah melakukan sholat ied di tanggal berbeda. Jadi bisa kita simpulkan gerakan modernis Islam telah mengalami moderasi serta sudah jauh meninggalkan semangat memurnikan ajaran Islam dari pengaruh TBC.

Pasca Reformasi kelompok Islam transnasional seperti salafi/wahhabi, Ikhwanul Muslimin (IM) atau mewujud di Indonesia sebagai Gerakan Tarbiyah yang menjadi cikal bakal PKS, Hizbut Tahrir (kini sudah dibubarkan), Salafi Jihadi (Taliban, ISIS, Al-Qaeda). Mereka mengusung tema-tema yang sebelumnya diusung oleh kelompok modernis Islam, seperti memurnikan Islam dari TBC dan juga semangat Pan-Islamisme.

Kelompok Islam transnasional ini gencar mendakwahkan ajarannya dan mereka lebih militan daripada kelompok modernis yang sudah ada dalam memurnikan ajaran Islam dari pengaruh TBC. Justru ketika kelompok modernis sudah mulai moderat, serta meninggalkan isu TBC. Kelompok-kelompok transnasional malahan ekspansinya secara terstruktur, sistematis, dan masif. Banyak masjid-masjid di komplek perumahan yang baru didirikan pascas 2004, malahan diisi oleh pendakwah dari gerakan Islam transnasional ini. 

Belakangan dalam diskursus kajian akademis Islam Indonesia, kita mengenal adanya gejala "Islam perkotaan" yakni kelompok Islam kelas menengah di perkotaan yang kebanyakan tidak dididik dalam tradisi pesantren dan juga tidak terlalu aktif dalam perayaan tradisi Islam seperti maulidan, barzanji, dll tidak seperti jemaat Musim di daerah perkampungan. Kelompok kelas menengah Muslim perkotaan selama ini menjadi basis bagi Muhammadiyah, belakangan basis tersebut mulai digarap kelompok Islam transnasional ini. Oleh karena isu yang dibawa sama, terutama soal pemurnian Islam dan juga dalam dakwahnya kelompok Islam transnasional dakwahnya lebih memikat, sehingga banyak masjid-masjid yang semula terafiliasi dengan Muhammadiyah kemudian beralih menjadi salafi ataupun tarbiyah.

Kecendrungan ini rupanya disadari oleh beberapa elite Muhammadiyah atau juga oleh elite Partai Amanat Nasional (PAN). Kekhawatiran tentang masjid-masjid Muhammadiyah direbut oleh salafi/wahhabi ataupun oleh IM/PKS, ini disuarakan oleh Zulkfli Hassan: "Kenapa magrib sama subuh di masjid? Kalau kamu magrib sama subuh nggak di masjid, orang-orang di masjid nanti suaranya diambil PKS semua" ujarnya ketika berpidato depan kader-kader PAN. Setidaknya di level politik, PAN sebagai partai yang mengklaim dirinya representasi Muhammadiyah mulai mengakui bahwa suara akar rumput Muhammadiyah beralih  ke PKS dan partai lain. 

2. Perkaderan Muhammadiyah yang perlu dibenahi. Belakangan ini perkaderan Muhammadiyah hanya berfokus kepada sekolah-sekolah, universitas, maupun rumah sakit Muhammadiyah. Sedangkan basis massa di akar rumput tidak tersentuh, sehingga akhirnya banyak masjid-masjid yang secara kultural terafiliasi Muhammadiyah kemudian terpikat pada gerakan Islam transnasional seperti Salafi/Muhammadiyah. Di kampus-kampus non-Muhammadiyah, misalkan di kampus-kampus bukan berbasis agama; kita bisa melihat eksistensi Muhammadiyah melalui Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tidak begitu terlihat.

3. Para pengurus Muhammadiyah sibuk mengurusi Anak Usaha Muhammadiyah (AUM). Muhammadiyah memiliki banyak sekali aset di bidang pendidikan dan kesehatan, sekolah serta universitasnya sendiri memang banyak yang bagus karena selama ini diperhatikan dan dirawat oleh DPP Muhammadiyah. Bahkan golongan non-Muhammadiyah seperti orang yang berasal dari keluarga NU ataupun non-Muslim sekalipun (terutama di Indonesia Timur), banyak yang bersekolah ataupun kuliah di institusi pendidikan milik Muhammadiyah. Ada kesan bahwa elite Muhammadiyah sibuk berpolitik untuk mempertahankan aset, sehingga akar rumput kemudian digarap oleh kelompok lain.

4. NU yang menemukan relevansinya. Pada masa abad 20 dakwah-dakwah Muhammadiyah dan kelompok modernis Islam lainnya membawa semangat yang sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist) sehingga Muhammadiyah pada mulanya lebih unggul secara kualitas intelektual bila dibandingkan NU. Bahkan NU saja didirikan untuk merespon gencarnya dakwah Muhammadiyah dan ormas Islam modernis lainnya. NU sejak 1984 tepatnya di masa kepemimpinan Gus Dur mulai merubah orientasi organisasinya dari yang semula bersikap reaktif terhadap wacana Muhammadiyah, NU mulai memodernisasi organisasinya dan mengirimkan banyak kadernya untuk kuliah di luar negeri, terutama ke negara-negara barat. Walhasil NU yang semula gagap dengan modernitas, kemudian mulai bergerak lebih jauh lagi ke arah posmodernisme. 

Di era Revolusi Industri 4.0 ini wacana modernitas telah digantikan oleh posmodernitas. Modernitas yang berasal dari landasan epistemologi barat yang bersifat positivistik, seperti adanya oposisi biner (hitam-putih), menolak sumber pengetahuan yang tidak bisa ditangkap panca indera, dsbnya. Justru dalam posmodernisme hal-hal yang semula ditolak oleh modernitas kemudian diterima, di situlah kemudian banyak khazanah keilmuan Islam tradisional, kemudian mulai menerima rasionalisasinya di bawah posmodernisme.

5. Beberapa kali Muhammadiyah berbeda sikap dengan pemerintah soal tanggal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Generasi millennial hingga generasi Z, banyak yang tidak terlalu berminat untuk debat atau pembahasan detail soal isu agama. Memang ada yang meminati seperti saya, namun itu jumlahnya tidak terlalu banyak. Bahkan lantaran saya memiliki minat besar dengan isu teologis dan perbandingan agama, seringkali diriku terasing di tengah kaumku sendiri. Seringkali yang saya temukan generasi millennial hingga Z lebih tertarik dengan hal-hal kongkrit dan praktis seperti teknologi, sosmed, AI, bahkan peluang lapangan pekerjaan dan juga bagaimana menghasilkan uang dari hal-hal yang tidak konvensional (jadi youtuber, influencer, dsb).

Generasi sekarang tidak banyak yang tahu NU berdiri kenapa dan Muhammadiyah berdiri karena apa, tahunya mereka kalau pemerintah menetapkan tanggal sekian Idul Fitri maka mereka ikut saja. Jadi kalau ada tanggal hari raya umat Islamnya berbeda dengan pemerintah, seringkali mereka anggap hal itu aneh saja atau mereka memilih tidak peduli serta tidak mau tau terlalu banyak. Saya pernah coba buka topik obrolan waktu lagi nongkrong dengan anak-anak muda membahas metode NU ataupun Muhammadiyah menentukan tangga Idul Fitri, mereka tidak menunjukkan ketertarikan dan berharap saya ganti tema pembicaraan. 

Sayang sekali apabila Muhammadiyah yang memiliki sejarah ratusan tahun di negeri ini, malahan tidak banyak diketahui oleh anak-anak muda. Mereka lebih tau para pendakwah dari gerakan Islam transnasional, sedangkan anak muda yang punya gaya kehidupan sekuler-liberal malahan tidak tertarik dengan semua itu. Sikap Muhammadiyah yang seringkali berbeda tanggal hari raya dengan pemerintah, membuatnya di kalangan anak-anak muda, terkesan jadi sekte sendiri yang berbeda dengan ormas Islam lain di Indonesia, sungguh disayangkan apabila ada anggapan seperti ini padahal Muhammadiyah sudah ada sebelum negara ini ada dan telah menghasilkan banyak tokoh.

Masjid di komplek saya terpengaruh oleh ajaran Salafi, tata peribadatannya seperti yang saya jelaskan mirip dengan Muhammadiyah. Namun ketika hari raya besar umat Islam mereka ikut pemerintah, karena doktrin Salafi sendiri yang mengajarkan untuk ikut pemerintah. Bila di Masjid yang terpengaruh ajaran Tarbiyah, patron gerakan ini yakni PKS ialah salah satu partai Islam terbesar di Indonesia. 

Tidak mungkin mereka cari masalah dengan berbeda tanggal Idul Fitri dengan pemerintah. Banyak warga dari kalangan akar rumput, misalkan di Jabodetabek saja lebih memilih ikut dengan pemerintah. Beberapa kali saya tanya soal ini, jawaban mereka relatif sama: "Kita bukan ulama, jadi kita ikut saja ke ulama dan pemerintah yang lebih berkompeten. Soalnya kita gak mau tanggung dosanya juga." Jadi di pikiran banyak orang kalau misalkan pemerintah salah, dosanya di pemerintah. Setidaknya kalau pemerintah salah menetapkan tanggal Idul Fitri, mereka bisa tidur nyenyak dan salahkan pemerintah. Lain ceritanya kalau misalkan mereka ikut Muhammadiyah takutnya kalau salah dosanya mereka yang tanggung.  

Sikap Muhammadiyah yang mempertahankan keyakinannya tentang metode hisab (menghitung kalender hijriah) untuk menetapkan hari raya besar umat Islam, bisa kita nilai sebagai bentuk konsistensi Muhammadiyah mempertahankan doktrinnya. Sayangnya organisasi Islam modernis lainnya yang lahir sezaman dengan Muhammadiyah seperti Persis, PUI, Al-Irsyad, dll malahan selalu ikut pemerintah. Jadinya ketika Muhammadiyah berbeda tanggal Idul Fitri, maka ia bukan saja berbeda dengan pemerintah serta kelompok Islam tradisionalis (NU, NW, Al-Washliyah, dsb) ia juga berbeda dengan kelompok Islam transnasional dan Islam modernis lainnya. Praktis Muhammadiyah berdiri sendirian di antara semua ormas Islam lainnya di Indonesia setiap kali hal ini terjadi.

6. NU lebih seksi secara politik. Bagian ini bukan untuk memandang remeh kekuatan politik Muhammadiyah, mengingat Muhammadiyah selama ini punya pengaruh kuat di Kemendikbud. Juga Muhammadiyah merupakan ormas Islam terkaya dan punya aset banyak, secara keuangan lebih independen. Sehingga dalam banyak kontestasi suara Muhammadiyah relatif lebih solid dan basis massanya tidak gampang dibeli serta disetir, karena banyak berasal dari kalangan kelas menengah Muslim. Jadi agak sulit bagi petualang politik untuk tiba-tiba klaim dirinya Muhammadiyah.

Sedangkan NU secara organisasi tidak memiliki aset sebanyak Muhammadiyah, namun ia punya massa yang sangat banyak. Banyak orang yang saya tahu tidak berasal dari keluarga pesantren atau tidak secara kultural terafiliasi sama NU, namun bergabung dengan NU hanya untuk dapat label NU dan dipergunakan untuk kepentingan politiknya. Bahkan ada teman-teman saya sendiri di HMI yang berbuat seperti ini, padahal orang itu qunut subuh saja tidak hafal. Ya wajar saja apabila kita ingin berpolitik tentu saja yang akan kita cari jumlah massa. 

Mungkin saja banyak orang-orang yang mengafiliasi dirinya sebagai NU, mungkin bisa saja ia bukanlah orang yang tulus lahir batinnya NU; melainkan ia ingin dianggap saja dirinya NU biar lebih diterima di kalangan Nahdliyin. Bukankah manusia ada kecendrungan untuk ikut dengan mayoritas? Tidak heran bila suara NU cukup diincar oleh banyak capres dalam pemilu, terlebih lagi suara NU tidak pernah semuanya solid total ke satu suara, dan selalu menyebar ke berbagai capres. Bagi orang yang bercita-cita menjadi politisi, memiliki jaringan ke NU bisa menjadi sarana menguntungkan untuk menjaring massa.

Demikian kiranya analisa ini dibuat sebagai tafsir atas survei LSI Denny JA yang menyatakan tentang menurunnya suara Muhammadiyah. Harapannya bagi simpatisan, kader ataupun pengurus Muhammadiyah yang membacanya bisa menjadi sarana evaluasi untuk membenahi organisasinya untuk kedepannya. Sedangkan untuk kader organisasi Islam lain yang membacanya dapat menambah wawasan pembacanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun