Mohon tunggu...
Irsyad Feisal Ahmad
Irsyad Feisal Ahmad Mohon Tunggu... -

Menjadi salah berpikir hingga menghancurkan semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amat Rhang Manyang (Cerita Rakyat Dari Aceh)

8 September 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiap hari tidak urung Amat datang ke dekat pelabuhan, sendirian. Kadang-kadang dari pagi sampai petang, seakan-akan ia lupa makan siang. Matanya selalu tertuju kepada kapal-kapal yang berlabuh dan
bertolak. Melihat sikap Amat sedemikian banyak kawan-kawannya dan orang sekampung menduga-duga apa yang sebenarnya yang dirindukan Amat. Tetapi akhirnya sampai juga kepada kesimpulan yang tidak pasti, karena tidak pernah terungkap dari mulut Amat sendiri. Pak Agampun tidak pernah menceritakan hal itu kepada orang lain. Diantara mereka ada merasa kasihan. Ingin membantu tetapi tidak tahu jalan. Sebahagian mengejek pula, menggelari Amat, si Pungguk merindukan bulan. Semua ejekan itu ditahankan, diterima dan ditelan oleh Amat sembari berdoa dan pasrah kepada Tuhan, semoga suatu ketika Tuhan akan memberikan jalan baginya. Amat tetap bersikap biasa terhadap mereka. Tidak ada tanda-tanda Amat memusuhi mereka yang mengejek itu. Kiranya Pak Agam selalu memperhatikan tingkah laku Amat sejak pertemuannya pertama. Pak Agam merasa kasihan jika anak semuda itu harus bekerja berat di kapal. Tetapi sebaliknya pula Pak Agam kagum sekali terhadap cita-citanya yang sudah demikian tinggi dalam usia semuda itu. Terbayang di benak Pak Agam kehidupan keluarga Amat sejak dulu. Apa lagi setelah Amat menjadi yatim serta ibunya tetap janda. Kehidupan keluarganya menjadi lebih sulit lagi. Kemudian menjalar pula pertimbangan, bahwa permintaan anak itu justru permulaan satu usaha mencoba memperbaiki kehidupan beserta ibunya. Usaha karena tanggung jawab yang luhur terhadap kebahagiaan ibunya di kemudian hari. Diam-diam Pak Agam berusaha memenuhi keinginan Amat. Kesangsiannya yang utama kalau tidak ada nakhoda yang mau menerimanya, karena umur Amat masih terlalu muda.

Suatu petang Amat dikejutkan oleh panggilan Pak Agam : "Mat, mari dulu !" Amat menghampiri Pak Agam setengah berlari. "Ikut Bapak !" ujarnya kemudian tanpa bicara lagi. Amat mengikut di belakang Pak Agam memasuki daerah pelabuhan. Jalannya Amat kaku. Maklumlah Amat jarang sekali memasuki daerah itu. Takut diusir orang yang menganggapnya pengemis, karena pakaiannya compang camping. Kali ini karena diajak dan bersama Pak Agam ia turuti juga. Amat diperkenalkan oleh Pak Agam kepada seorang nakhoda yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang temannya dalam sebuah kamar di kantor pelabuhan. Dengan langkah tertegun-tegun dan muka sedikit pucat Amat memasuki ruangan itu. Orang-orang di luar kantor memperhatikan Amat masuk dengan penuh tanda tanya.

"Inilah anak yang kumaksudkan kemarin, kata Pak Agam memulai pembicaraannya."

" Hm", sambil mendesis nakhoda memperhatikan Amat dari ujung rambut sampai ke ujung jari-jari kakinya yang telanjang.

Nakhoda menilai, dari raut muka Amat adalah anak baik, jujur dan keras hati. Perawakannya cukup tampan. Amat merasa malu, kepalanya menunduk. Sebetulnya Amat tidak takut, tetapi merasa rendah diri karena keadaannya yang demikian itu. Kemudian terjadilah tanya jawab dan percakapan antara nakhoda, Amat dan Pak Agam, yang pada pokoknya berkisar pada kehidupan keluarga Amat beserta ibunya sampai kepada keinginannya bekerja di kapal. „Kalau maksudmu benar-benar hendak membantu ibumu aku bersedia menerimamu bekerja di kapal. Dan kamu boleh turun ke darat, di daerah yang disinggahi kapalku, kata nakhoda menegaskan cita-cita Amat.

Seperti meiedak rasanya dada Amat, karena sangat gembira. Air matanya berlinang. Berkali-kali Amat mengucapkan terima kasih. Senyum Pak Agam seakan-akan tak habis-habisnya, rupanya iapun merasa sangat gembira dan bahagia usahanya membantu Amat berhasil. Sejak saat itu air muka Amat cukup cerah kembali. Sikapnya kembali seperti semula. Walaupun begitu kepada orang tua ia tetap hormat, kepada kawan-kawannya tetap ramah dan sayang kepada anak-anak yang lebih muda dari padanya. Berita tentang Amat akan merantau dari mulut ke mulut cepat tersebar dalam kampung. Barulah kawankawannya menyadari mengapa Amat selama ini murung saja. Diantaranya menyatakan Amat akan beruntung, orang tuanya tentu akan bahagia nanti.

Karena keberangkatan kapal tidak lama lagi, Amat segera menyampaikan halnya kepada ibunya. Ibunya terkejut sekali, mengapa selama ini tidak pernah diceritakannya. Ibunya membujuk agar Amat membatalkan maksudnya. " Amat, anakku, betapakah ibu dapat melepasmu. Engkaulah anakku satu-satunya, tumpuan kasih selama hayat dikandung badan. Engkaulah tempatku bergantung di hari tua. Tidak ada sanak famili yang mau mengasuh ibu yang melarat ini !"

Sambil memeluk Amat ibunya menyampaikan keluhannya dengan kata tersendat-sendat dan air mata bercucuran. Amatpun demikian pula menangis sejadi-jadinya dan membiarkan ibunya berbicara terus. "Amat, bapakmu sudah lama meninggalkan kita. Hati ibu sangat bahagia, walaupun kita hidup dalam keadaan seperti ini." Ungkapan kata hati ibunya putus sebentar. Hanya isak tangis yang terdengar. Amat berusaha menyadarkan dirinya yang sudah mulai hanyut 'dalam arus kesedihan. " Nah, jangan pergi nak, jangan nak", ujar ibunya lagi dengan nada lemah resah."

Tidak lama kemudian sebaliknya Amatpun mulai membujuk ibunya. "Bu, kanrena itulah aku pergi bu. Karena cinta kasihku kepada ibu. Aku tidak tega mengalami kehidupan begini sampai ibu tua. Aku ingin membahagiakan ibu. Bukan saja kebahagian dalam hati, tetapi kebahagian dalam kehidupan kita seluruhnya. Kembali sejenak, hanya isak tangis memenuhi ruangan gubuk tempat tinggal Amat bersama ibunya. "Bu! kata Amat kemudian. "Aku akan mencoba mengadu untung di perantauan, Aku akan berhemat dan membawanya pulang". "Bu alangkah lebih bahagianya ibu dan aku sendiri, jika aku pulang nanti dapat menguntaikan sebuah kalung berharga di leher ibu, melekatkan cincin di jari ibu, gelang dan pakaian lainnya yang indah-indah." "Bu, izinkanlah Amat pergi, hanya untuk sementara waktu. Aku pasti akan kembali jika nyawa masih di badan".

Amat terus mendesak ibunva dengan buiukan. "Berilah doa restu, bu !" Semua kata-kata Amat yang'diucapkannya keluar dengan sadar dari hati nuraninya sendiri. Hati ibunya menjadi bimbang antara merelakan anaknya pergi dengan tidak. Jika tidak diizinkan, barangkali kebahagian hanya ada pada hati ibunya, belum tentu juga pada diri anaknya. Sebaliknya jika kebahagiaan anaknya direstui, terasa kekhawatiran, apakah anaknya Amat mampu menghadapi semua tantangan di negeri orang yang belum pernah dikenalnya. Apakah ia akan kembali dengan selamat, atau akan berkubur di antah berantah. Ibunya benar-benar ragu dan resah, lalu berdiri dengan lemah pergi ke dapur. Amat hanya mengikuti dengan pandangan mata redap diliputi kecewa. Lama baru Amat tegah dari simpunya, ia berusaha menghimpun semua kekuatannya untuk berpikir, menghambat diri dari keputusan. Jika ia tetap tinggal di kampung itu sia-sialah tekadnya pergi merantau selama ini dan hancurlah semua usaha Pak Agam yang telah membantunya. Amat merasa malu pada dirinya sendiri. Karena itu tekadnya pergi merantau bulat kembali. Amat mendekati ibunya yang sedang meniup api di dapur. Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu ditanak, karena makanan sudah masah sejak tadi. Perbuatan ibunya demikian hanya sekedar berusaha melerai gelisah. ."Bu, izinkanlah bu! Berilah kepadaku doa restu", mohon Amat dengan suara lemah setengah berbisik. Ibunya seakan-akan tidak mengiraukan permohonan itu, hanya air matanya yang terus mengalir. Begitulah terjadi beberapa kali hampir seharian itu. Amat mengikuti ibunya kemana pergi dan selalu menyampaikan permohonannya yang serupa. "Tidak ada apa-apa yang kuminta dari ibu sebagai bekal, hanya izin ibu yang ikhlas serta doa restu, semoga kita tetap dalam kandungan Tuhan Yang Maha Esa." Lama kelamaan lembut juga hati ibu si Amat, Lembut bukan karena bujukan anaknya, tetapi lembut karena kasihnya juga. Ia tidak ingin mengecewakan anaknya. Demikianlah kiranya hati seorang ibu, rela berkorban apapun demi kebahagian anaknya, apalagi anaknya Amat pergi untuk menjangkau cita-cita yang tinggi dan luhur. "Anakku, baiklah permintaanmu ibu kabulkan, " Suatu pernyataan hati yang tulus, pendek dan sederhana. Tetapi bagi Amat seakan-akan jauh lebih besar dari gunung manapun, lebih tinggi dari langit ketujuh. Dipeluknya ibunya erat-erat, sebagai tanda gembira dan awal bahagia yang tak terungkapkan, disaksikan air mata keduanya yang lebih banyak dari sebelumnya. Bagi ibu Amat sendiri kiranya agak lain, air matanya sebagai pertanda awal penderitaan lebih parah, berpisah dengan anak, buah hatinya tersayang dan terkasih.

Mulailah dipersiapkan bekal untuk Amat. Beberapa potong pakaian bertambal yang menurut kadar ibu Amat masih baik dikumpulkan dan dibungkus. Beras segantang dan garam segenggam sebagaimana biasa bekal seorang pergi merantau tidak diperlukan Amat karena

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun