Mohon tunggu...
Irsyad Feisal Ahmad
Irsyad Feisal Ahmad Mohon Tunggu... -

Menjadi salah berpikir hingga menghancurkan semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amat Rhang Manyang (Cerita Rakyat Dari Aceh)

8 September 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

menjelang saat bertolak saat berpuluh-puluh mendayung pada kedua sisi kapal. Dayung-dayung inilah yang digerakkan dari dalam sisi kapal oleh awak-awak kapal sebagai daya penggerak kapal untuk melaju meluncur membelah gelombang mengharungi samudera luas menuju pelabuhan negeri tujuan. lambaian tangan antar yang pergi dan yang tinggal sering mengharukan.  Entah kapan bertemu kembali, atau terkubur didasar laut diamuk topan dan badai.

Lambaian tangan bersambut pula saat berlabuh. entah paman, bapak atau saudara sendiri yang datang. Atau pula kekasih yang dirindukan. Gelak tawa dan cumbu saat jumpa seakan-akan mengatasi semua hiruk-pikuk di pelabuhan itu. nahkoda dengan pakaian yang besarnya di sertai pangkat di bahu kiri dan kanan kelihatan tampan dan megah. Kelasi-kelasi pakaiannya tampak tegap dan kuat. Berganti-ganti kapal ang datang dan pergi, berganti-ganti pula nahkoda dan kelasi-kelasi lalu lalang dan naik turun melalui dermaga pelabuhan. Semua mereka tapan dan gagah, tetap dan kuat.

hampir setia hari amat dan kawan-kawannya datang kedekat pelabuhan ini. Umumnya mereka sekedar melihat dan ingin mengetahui keadaan. Sesuatu yang mereka rasa aneh, mereka berbicara dan menceritakan kepada kawan-kawan yang lain dikampungnya, bahkan ada diantara mereka menceritakan kepada orang tua. Bebeda dari yang lain, amat ikut-ikutan juga bercerita, tetapi kiranya dengan diam-diam ia benar-benar menghayati semua yang dilihatnya dipelabuhan itu sejak dari kecil. dalam pikiran amat, nahkoda-nahkoda dan kelasi itu selain tampan dan gagah, tegap dan kuat, tentu juga mereka orang yang kaya. Setidak-tidaknya kehidupan mereka jauh lebih baik daripada kehidupan amat beserta ibunya.

Lalu lambat laun menyusup ke hati sanubarinya keinginan untuk menjadi nahkoda atau kelasi. jika keinginannya tercapai tentu kehidupan bersama ibunya akan berubah menjadi lebih baik. Keinginannya ini tidak pernah diceritakannya kepada siapapun. Kepada ibunya juga tidak.

Pada malam hari sering amat tidak dapat segera tertidur lelap. Bayangan dan keinginannya menjadi nahkoda atau kelasi selalu menggodanya. Ia akan mengharungi lautan luas. menjelajahi berbagai negeri. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-buan diperjalanan tentu ia akan pulang juda ke kampungnya. ia akan membawa oleh-oleh kesenangan ibunya, bahkan lebih dari itu. Ibunya akan menyambutnya dengan kasih mesra di ambang pintu. rumahnya tentu bukan lagi gubuk tiris, tetapi rumah batu besar yang kokoh. Angan-angannya demikian akhirnya kembali kepada alam sadar dan kenyataannya. bagaimana ia dapa mencapai iu semua ? sampai pikiran amat menjadi buntu, ibarat pemburu kehilangan jejak binatang buruan dan menyebabkan ia tak bisa tidur. bertahun-tahun ia diombang-ambingkan antara kenyataan dan cita-cita. lebih-lebih kalau siangnya amat bersama kawan-kawannya sebagaimana biasanya berkunjung ke dekat pelabuhan. Malamnya pasti cita-cita dan kenyataan itu menghambat tidurnya.

Menjelang suatu senja hujan turun samapi larut malam, amat tidak dapat pergi ke meunasah mengaji atau tidur disana sebagaimana seperti biasanya. Tidur di meunasah bagi anak-anak remaja dan pemuda-pemuda sekampung adalah sudah menjadi adat istiadat di Aceh sejak zaman sebelumnya.

Malam itu amat tidur di rumah. Matanya belum juga terpicing, kendatipun malam telah larut dan badannya terbaring. Pikirannya di amuk lagi oleh cita-citanya dan kenyataan entah berapa kali sudah kejadian demikian, ia tidak dapat menghitungnya lagi. Tanpa disadari amat sedang memperhatikan wajah ibunya yang sedang tertidur pulas. Nafasnya berat satu-satu, menandakan kerja keras siang harinya. Keningnya sudah mulai berkerut, pipinya sudah mulai cekung mendahului umur yang sebelumnya.

Teringatlah Amat, dahulu semasa kanak-kanak dialah yang lebih dahulu tidur diantar oleh dongeng dari ibunya. Malam ini sebaliknya. Amat menyusuri kembali jejak-jejak masa silam, bapaknya yang sudah meninggal kehidupan keluarganya yang melarat serta bermacam-macam dongeng yang didengarnya. Tiba-tiba Amat tersenyum sendiri. Senyum manis dan gairah. Apakah yang mendorongnya berbuat demikian ? Entahlah. Sementara hanya Amat sendiri yang tahu. Tiada berapa lama kemudian ia pun tertidur lelap setelah berhenti hujan di luar. Pada suatu hari di pelabuhan lebih ramai dari biasa. Berapa kapal
sekaligus membuang sauh. Awak-awak kapal turun ke darat menambah hiruk-pikuknya suasana di pelabuhan saat itu. Amat sudah sejak pagi berada di luar pelabuhan. Dari agak jauh ia memperhatikan keadaan. Memang akhir-akhir ini Amat sering sendirian datang. Kawan-kawannya kadang-kadang lebih suka adu layang-layang (Geulayang temang) di sawah atau belajar bermain geude-geude (gulat Aceh) di pasir pantai atau bermain sepak bola di halaman kampung. Kadang-kadang mereka berbondong-bondong ke suatu petak sawah kering dan luas menyaksikan peupak leume (adu sapi) antara sapi dari satu kampung dengan sapi kampung lain. Semua ini tidak lagi menarik perhatian Amat. Hatinya sudah lebih banyak bertaut dengan pelabuhan.

Hari itu juga Amat berusaha dan memberanikan diri menemui seorang pegawai pelabuhan, orang kampungnya sendiri yang ia kenal baik hati. Nama orang itu Kamil, tetapi sehari-hari orang lebih kenal dengan panggilan Pak Agam. Kebetulan Pak Agam keluar daerah pelabuhan hendak sembahyang dhuhur di mesjid tidak jauh dari pelabuhan. Keadaan di pelabuhan agak sepi. Pekerja-pekerjanya sebahagian besar sedang istirahat dan makan siang. Diantaranya ada yang sedang melaksanakan shalat dhuhur juga.

Amat menghampiri Pak Agam dengan hati berdebar dan ragu-ragu. Dengan sikap hormat disapanya : ,j°ak , Pak Agam !" Langkah Pak Agam tertegun, sambil menoleh ke arah datangnya panggilan itu. "Kau Amat, ada apa nak ?" Amat lebih mendekat. Hampir seperti berbisik seakan-akan gagap Amat menyampaikan maksudnya. „A. . . . Anu Pak ! Sa. . . . Saya ingin ikut salah satu kapal itu", sambil menunjuk ke pelabuhan dan menandakan kapal. ,,Ha, H a . . . . Ha! Pak Agam tertawa terbahak-bahak, „mana mungkin nak, tentu kamu tidak mampu membayar ongkos". Karena mendapat layanan dalam percakapan itu, Amat menjadi lebih berani dan lancar mengeluarkan suaranya. "Maksud saya Pak, saya ingin bekerja pada kapal itu". ,,Wah, umurmu masih terlalu muda nak. Menurut pikiran bapak, kamu belum mampu bekerja berat di kapal." Amat terdiam, rasa kecewa merasak hatinya. "Bapak mau sembahyang dulu", kata Pak Agam, lalu iapun meninggalkan Amat yang masih tegak terpaku.

Sejak saat itu Amat menjadi pemurung. Sudah jarang ia bersama kawan-kawannya. Dengan ibunya di rumah tidak lagi sebijak biasa. Sikapnya menjadi lamban. Dalam mengaji sering salah. Di hadapan kawan-kawannya ia berusaha berbuat seperti biasa, tetapi seperti dipaksakannya.
Teuku Meunasah gurunya mengaji, kawan-kawannya yang menaruh perhatian serta ibunya di rumah bertanya-tanya, mengapa Amat akhirakhir ini banyak berubah. Pertanyaan mereka kepada Amat selalu dijawabnya „tidak apa-apa, dengan senyum dipaksakan. Tidak seorangpun tahu sebab musabab kemurungan Amat, kecuali Pak Agam barangkali dan dirinya sendiri. Pada pikiran Amat, jika Pak Agam yang diyakininya baik hati itu tidak mau membantunya, apalagi orang lain. Kekecewaannya semakin mehdalam. Waktu tidur ia selalu gelisah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun