Pertanyaan yang terakhir ini, selain menguras daya pikirku ternyata juga menguras isi perutku. Aku pun pergi ke kantin dan membeli gorengan. Kulihat-lihat segala bentuk gorengan yang ada di sana.Â
Lagi-lagi bukannya langsung mengambil dan menyantap gorengan kesukaanku, apalagi kalau bukan tempe goreng. Aku malah bengong mematung layaknya orang gila yang sedang kelaparan.Â
Mungkin memang seperti inilah kondisi para filosof zaman dahulu. Mereka akan terlihat seperti orang gila, bagaimana tidak? Kalau dia duduk-duduk sendirian seorang diri lalu berpikir tentang mengapa alam ini dicipta? Kenapa aku terlahir ke dunia ini? Katanya, Tuhan menciptakan surga. Lalu mengapa Dia tak menempatkan aku di dalamnya saja tanpa harus merasakan lika-liku dunia yang serba terlihat seperti bayangan ini? Ia mungkin akan terlihat sedang tertawa sendiri, kemudian tampak bersedih dan semacamnya. Bukankah hal sedemikan ini adalah hal ihwal yang berlaku pada orang gila?
Sekarang aku jadi curiga. Kalau memang benar seorang filosof adalah orang gila yang berpendidikan (dalam bahasa kerennya-mungkin-). Maka apakah abangku bermaksud untuk menjadikanku sebagai orang gila juga?
Dalam kebingunganku tadi, aku dikejutkan dengan suara Ibu kantin yang menerkam tiba-tiba tanpa permisi dengan satu kata "heeiii..." layaknya terbangun dari tidur nyenyak yang diusik oleh mimpi buruk, aku terperanjat. "apa yang sedang terjadi padaku?"
Tanpa menggubris sapaan Ibu kantin. Langsung saja aku ambil 4 potong tempe goreng dan memberikan uang sejumlah 2000 rupiah kepadanya.Â
Di tengah perjalanan pulang ke asramaku, seorang teman menyapaku dan bertanya, "Di kantin masih ada gorengannya nggak?"
Bukannya jawaban yang aku berikan padanya. Melainkan sebuah pertanyaan balik yang mungkin dia berpikir bahwa aku telah kerasukan jin bernama Plato atau Aristoteles.
"Menurut kamu, gorengan itu ada atau nggak?"
Aku tak peduli seberapa kesalnya dia dengan pertanyaanku itu. Tapi setidaknya mulai malam ini aku benar-benar dibuat gila oleh abangku.Â
Apakah abangku jahat? Atau jangan-jangan ia sedang berusaha mengeluarkan aku dari tempurung pemikiran yang sempit tentang alam dan dunia sekitarku? Haruskah aku berterima kasih padanya?