Mohon tunggu...
Irsyaad Akbar
Irsyaad Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi Patronase di Indonesia

15 Januari 2024   23:11 Diperbarui: 15 Januari 2024   23:11 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Demokrasi adalah prinsip pemerintahan yang secara erat terkait dengan kedaulatan rakyat. Demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat merupakan salah satu pandangan masyarakat Yunani yang memiliki arti sistem politik dimana rakyat memegang dan melaksanakan seluruh kekuasaan politik (Laurens Bagus, 2002:154). Dalam konteks pemerintahan demokratis, rakyat memiliki peran sebagai pemegang kekuasaan utama dalam menjalankan administrasi suatu negara. Pada dasarnya, demokrasi adalah ide yang menyampaikan bahwa kekuasaan dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.  Maka dari itu, interpretasi  akan lebih terbuka dan bebas bahkan diidentifikasikan sebagai sebuah kekuasaan yang berasal dari, oleh, dan untuk rakyat. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan pada dasarnya berasal dari rakyat, dan karena itu rakyat yang sejatinya memiliki dan memberi arah serta yang seharusnya melaksanakan kehidupan bernegara (Jimly Asshiddiqie,2005:293).

Patronase adalah adanya hubungan antara dua unsur yaitu patron dan klien. Patron sendiri diartikan sebagai individu ataupun kelompok, dari kedua unsur tersebut terdapat sumber daya berupa materil maupun berbentuk non-material. Patronase politik mempunyai hubungan  antara patron dan klien  dengan dinamika politik dan juga hubungan elite partai politik. Dalam konteks perlindungan politik, hal tersebut mengacu pada hubungan antara pelindung dan orang yang dilindungi dalam ranah politik, dan hubungan dua arah antara elit partai politik dengan pemilihnya, aktivis kampanye, serta organisasi masyarakat. Semua hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar melengkapi kepentingan kelompok tertentu. Dalam perlindungan politik, hubungan sosial yang ada  dimanfaatkan melalui jaringan yang saling terhubung untuk meraih tujuan dan mempertahankan suatu kekuasaan. Salah satu kepentingan kelompok tersebut adalah untuk mendapatkan suara kemenangan dalam pemilihan dan dinamika di ruang lingkup politik dengan dibantu oleh broker. Broker dapat dianggap sebagai "pengait" atau "penjual" dalam praktik politik yang menjadi wadah tempat berinteraksi (Dadang Sufianto, Agus Subagyo, 2017).

Pembahasan

Praktik patronase terlihat jelas pada saat pemilu, dimana posisi partai politik tergerus oleh patronase politik. Patronase politik telah melemahkan posisi politik dan dukungan kelembagaan partai politik. Mengutip Hicken (2011), esensi politik klientelistik adalah quid pro quo; "Sesuatu untuk sesuatu," atau pertukaran kontingen. Politisi memberikan manfaat dan berharap penerimanya membalas dengan memberikan dukungan politik. Oleh karena itu, praktik patronase politik terjadi ketika pemilih, aktivis kampanye, atau aktor lain memberikan dukungan elektoral kepada politisi (partai) dengan imbalan bantuan atau keuntungan materi (WBE Aspinall, 2019, p.2). Para politisi ini menerapkan cara klientelis untuk memenangkan pemilu dengan cara membagikan bantuan, barang bahkan uang kepada pemilih, baik secara individu maupun kelompok. Ketika pelanggan datang untuk mengisi air minum isi ulang, pemilik depo akan memberikan mereka air gratis dan mendorong mereka untuk memilih calon tersebut. Pemilik depo secara teratur memungut biaya dari calon sponsor, meskipun, seperti yang diakui calon tersebut, ia tidak tahu bagaimana menjamin bahwa mereka yang mengisi air minum akan memilihnya. Selain itu, kandidat juga mengakui bahwa ada pelanggan yang tidak sekedar mengisi air minum, namun meminta Aqua yang harganya lebih mahal (MSE Aspinall, 2015, p. 126).

Lebih jauh lagi, praktik patronase politik terwujud ketika terjadi pertukaran keuntungan material pada setiap tahapan proses pemilu. Hal ini dimulai dengan sejumlah besar uang yang harus dibayarkan oleh berbagai kandidat kepada partai politik untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan bagi pencalonan mereka dalam pemilu. Saat bernegosiasi dengan calon kandidat, pimpinan partai seringkali menuntut "harga" yang ekstrim dan sebagai imbalannya menjanjikan dukungan yang akan menguntungkan kandidat dalam pemilu. Sebagai contoh, kita bisa melihat pencalonan La Naylla sebagai Gubernur Jawa Timur pada tahun 2018 oleh Partai Gerindra. Berdasarkan pengakuan La Naylla, dirinya diminta menyediakan dana sebesar Rp 40 miliar sebagai biaya penyelesaian perolehan tersebut. Sebelumnya, La Nyalla mengaku sudah memberikan dana sebesar Rp5,9 miliar kepada Ketua DPD Gerindra Jatim dan akan mencairkan cek senilai Rp70 miliar jika ada surat dari rekomendasi Partai Gerindra pun dikeluarkan (Lazuardi, 2018).

Hal ini berlanjut ketika para kandidat membentuk organisasi kampanyenya. Mereka menarik minat aktivis kampanye dengan uang serta akses khusus terhadap proyek atau rencana. Kemudian, para agen kampanye melanjutkan praktik ini kepada para tokoh masyarakat dengan memberikan sumbangan untuk pembangunan infrastruktur atau sekadar memberi mereka gaji "di bawah meja" (biaya transportasi, biaya "lelah", dll.). Terakhir, menjelang pemilu, para pekerja kampanye melakukan tugasnya di jalan-jalan dan dari rumah ke rumah dalam bentuk "serangan fajar" dimana mereka membagikan sejumlah uang kepada para pemilih. Kajian ini menunjukkan bahwa partai politik berperan dalam pertukaran klientelisme karena menjadi roda vital partai politik. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintahan rezim Orde Baru yang menganut sistem politik klientelis yang sangat sentralis dan tertutup. Pada saat itu, praktik penguasaan berdasarkan diskresi jabatan atas sumber daya negara didominasi oleh aktor politik, pejabat daerah, dan mantan birokrat yang tidak memiliki hubungan dengan partai politik. Keadaan ini tampaknya masih berlanjut hingga saat ini, sehingga distribusi patronase pemerintah telah menempatkan kendali utama di tangannya. Hal inilah yang menciptakan demokrasi klientelis di Indonesia dan tidak memberikan manfaat bagi kehidupan mesin partai di era reformasi.

 fenomena bahwa kandidat lebih mengandalkan jaringan pribadi informal dibandingkan partai atau struktur formal lainnya. Para ahli menggambarkan Indonesia sebagai "demokrasi klien" dan sistem "patronase yang terfragmentasi" di mana "yang penting adalah siapa yang Anda kenal, untuk apa, dan kepada siapa Anda membayar atau mengganti biaya atas layanan yang diberikan." Dari sudut pandang ini, demokrasi klientelis berdasarkan penelitian lain juga memperkuat faktor budaya klientelis.

Menjadi produk sosial budaya yang memperoleh keistimewaan tertentu (patron) seperti pemberian uang atau keuntungan sebagai imbalan atas kesetiaan pengikutnya (pelanggan). Pendekatan institusionalis terhadap studi klientelisme menekankan pada desain institusi politik yang menjadi penyebab penyebaran praktik klientelistik; misalnya, pemilu yang kompetitif dan sistem multi-partai menyebabkan meluasnya favoritisme politik dalam sistem pemilu, desentralisasi, dan proses pengambilan keputusan baik di legislatif maupun eksekutif (Muhtadi, 2013). Bagi kelompok ini, klien-klien semakin menarik politisi di negara- negara yang integrasi sistem politiknya masih lemah, perpecahan etnis masih kuat, dan kinerja ekonomi lemah.

Penutup

Demokrasi klientelistik yang diperkuat oleh kronisme dan sumber daya telah menciptakan pemilu yang hanya memberi tahu para politisi bagaimana cara memenangkan persaingan. Semua strategi diterapkan. Kebijakan moneter yang diterapkan oleh politisi telah berdampak pada difusi kebijakan moneter dan, seiring berjalannya waktu, lama kelamaan dianggap wajar oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik di era reformasi memang demikian masih lemah. Tujuan partai politik dalam mengambil kekuasaan tidak lagi menjalankan fungsi kontrol atau keseimbangan kekuasaan, namun untuk mencapai tujuan pragmatis; menangkan kandidat berkat politik uang. 

Di sisi lain, partai politik secara efektif telah menjadi kekuatan politis, namun di sisi lain, mereka juga mendukung praktik patronase politik. Lemahnya partai politik juga disebabkan oleh permasalahan pendanaannya. Hal ini menyebabkan partai politik "berpikir keras" untuk mendapatkan dana untuk menjalankan organisasi politiknya. Oleh karena itu, posisi pengusaha mulai memasuki karir politik. Mereka mengontrol keuangan dan karena politik membutuhkan uang, pengusaha dapat membiayai mesin politik partai politik. Berkat status sosial yang tinggi tersebut, pengusaha mempunyai posisi yang kuat dalam negosiasi. Ketika mereka aktif di partai politik, kuat dugaan mereka akan memiliki perilaku politik yang mempraktikkan seluruh kebiasaan dunia usaha, yaitu mekanisme pasar yang rasional. (Mufti, 2013, hal. 248). Segala proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik selalu dikaitkan dengan perhitungan pasar mengenai untung dan rugi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun