Melangkahkan niat demi sebuah pekerjaan, telah menghantarkan saya ke kota Buntok, Kalimantan Tengah. Meskipun menyandang sebagai ibu kota kabupaten, kota yang memiliki moto "Dahani Dahanai" (Tercapai dan Tuntas) dan daerah sekitarnya masih sangat kental dengan iklim pedesaan. Penduduknya sangat ramah, penuh senyum ketulusan lebih-lebih bertemu dengan orang asing yang datang dari luar daerah. Seorang mekanik di sebuah bengkel yang sedang sibuk memperbaiki sepeda motor, rela melepaskan pekerjaannya sejenak demi melayani pertanyaan saya yang tengah mencari pentunjuk jalan.
[caption id="attachment_350598" align="alignleft" width="541" caption="Rumah-rumah lanting (doc. pribadi)"][/caption]
Dari ibu kota provinsi, Palangkaraya, ke kota Buntok hanya ditempuh sekitar empat jam melalui perjalanan darat,
[caption id="attachment_350596" align="alignright" width="350" caption="Rumah tempat tinggal tetap (doc. pribadi)"]
tidaklah terlalu jauh untuk ukuran warga Kalteng pada umumnya. Namun untuk menembus desa demi desa, sebagian besar hanya bisa diakses melalui jalur sungai, yakni dengan menumpang long-boat. Itu pun hanya ada satu kali perjalanan. Jika anda terlambat, maka terpaksa harus mencari tempat penginapan, menunggu jadwal besok harinya, atau jika memiliki banyak duit bisa disewa.
[caption id="attachment_350595" align="alignleft" width="351" caption="Pondok nelayan (doc. pribadi)"]
[caption id="attachment_350588" align="alignright" width="338" caption="Rumah tempat tinggal tetap (doc. pribadi)"]
Namun demikian, di sinilah letak uniknya kota yang serba murah ini. Dari pesisir ibu kota hingga ke hulu atau ke hilir, banyak sekali ditemukan rumah-rumah lanting. Sepintas terdengar tidak masuk akal, bagaimana mungkin hamparan tanah kosong yang begitu luas yang secara adat boleh mereka miliki tapi masyarakatnya lebih memilih rumah yang berkolong air, seperti kekurangan lahan saja.
Andy sang motorist long-boat yang sejak lahir hingga usianya 21 tahun hidup di rumah lanting, dari almarhum kakek-neneknya hingga turunan ke-3, mengaku merasa nyaman dan tenang hidup di lanting. Bahkan dia sudah mempersiapkan diri jika bekeluarga kelak akan membuat rumah lanting baru untuk anak dan istrinya. Dari Andy pula, saya bisa menyimpulkan ada tiga jenis rumah hunian beserta ciri-cirinya yang banyak ditemukan di bantaran sungai Barito.
[caption id="attachment_350592" align="alignleft" width="314" caption="Andy, lahir dan besar di rumah lanting (doc. prinadi)"]
- Rumah tetap. Rumah jenis ini memang benar-benar menjadi rumah tempat tinggal sebagaimana rumah pada umumnya. Biasanya diwarisi turun temurun, dengan ciri-ciri memiliki dapur, jamban di depan atau di belakang rumah, memiliki ukuran lebih besar, terdapat jemuran pakaian, dan dihiasi cat warna-warni.
[caption id="attachment_350589" align="alignright" width="321" caption="Rumah tempat tinggal tetap (doc. pribadi)"]
1414549068268307729 - Ruko, alias rumah sekaligus toko. Cirinya selain memiliki toko atau warung, biasanya sang pemilik toko menjadikan ruko terapungnya sebagai pusat bisnis, selain menjual keperluan sehari-hari, dijadikan juga untuk menampung hasil barter dengan kapal-kapal penarik tongkang berisi batubara atau kayu yang banyak lalu lalang di sungai itu.
- Rumah nelayan. Rumah ini ciri-cirinya gampang dikenal, apabila terlihat ada jaring pukat atau keramba yang dijemur maka bisa dipastikan rumah nelayan. Ukurannya lebih kecil dan terkesan dibangun seadanya. Rumah ini bukan menjadi tempat tinggal, hanya ditempati satu dua hari manakala para nelayannya sedang mencari ikan di sungai saja.
[caption id="attachment_350591" align="alignright" width="366" caption="Rumah nelayan (doc. pribadi)"]
1414549411194860617 - Namun demikian yang paling dominan, rumah lanting dijadikan multi fungsi, sebagai tempat tinggal, tempat usaha/dagang dan wadah menampung dan menangkar ikan.
Tidak jelas apakah mereka memilki tanah di daratan, karena sangat disayangkan, dengan semakin berkembang jumlah penduduk lahan-lahan kosong semakin menyempit. Dikhawatirkan mereka akan semakin tersingkir dan menjadi semakin miskin serta menjadi penyewa di tengah luasnya bentangan tanah mereka sendiri.
[caption id="attachment_350593" align="alignleft" width="339" caption="Bengkel las (doc. pribadi)"]
Inilah sisi kecil kehidupan masyarakat Buntok, jika anda suka jalan-jalan menikmati keasrian dan kealamian sebuah pedesaan, sangat sayang kalau dilewatkan. Terdapat empat hotel melati dengan kisaran harga 100 - 250 ribu per hari, sudah ber AC, bahkan di Hotel Anna tempat saya menginap, waktu check out bisa dinego
[caption id="attachment_350594" align="alignright" width="340" caption="Terminal (doc. pribadi)"]
hingga pukul empat sore. Harga makanan murah, ikan bakar atau goreng plus lalapan hanya 15 ribuan.
Terlalu sedikit untuk menjelaskan banyak hal, namun setidaknya cukup menjadi referensi khazanah keindahan alam Indonesia.
http://www.indonesia.travel/wonderfulindonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H