Mohon tunggu...
irsan asari
irsan asari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cobalah untuk memulai kebaikan dan cobalah untuk mengakhiri keburukan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Khotbah Id yang Menyihir

7 Oktober 2014   00:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08 1869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_364439" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi (Sumber: Kompas.com)"][/caption]

Seumur hidup mengikuti khotbah Idul Adha baru kali ini melihat dan merasakan sendiri para mustami' menangis dengan isi ceramah yang sangat menyentuh. Disampaikan oleh KH. Fahmi Idris dengan tema Idul Adha dan Ibadah Haji, di masjid Al-Mahgfirah, Kemandoran, Slipi.

Salah satu tema yang disampaikan adalah mengenai teladan ketaatan Ibrahim dan Ismail. Kemudian tentang renungan kehidupan umat muslim masa kini, serta birrul walidain berbakti kepada kedua orangtua.

Suara tangisan jemaah mulai terdengar saat khotib membahas pentingnya bercita-cita dan melakukan ikhtiar untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Sang khotib mengisahkan sahabatnya sendiri sepasang suami-istri yang berprofesi sebagai pedagang bubur, di mana keduanya mampu menunaikan ibadah haji dengan tabungan yang ia kumpulkan bertahun-tahun. Kemduian sosok seorang pemulung yang sukses menyisihkan sebagian hasil kerja kerasnya untuk menunaikan ibadah haji.

Kisah yang mengharukan juga datang tatkala  khotib mengisahkan seorang tukang becak yang juga mampu menunaikan ibadah haji dengan usahanya mengayuh becak berpuluh-puluh tahun. Menurutnya, tukang becak itu selalu menyimpan sebagian hasil kerjanya di tempat rahasia di bawah sadel becaknya, dan berlangsung selama berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa pernah menghitung jumlahnya.

Suatu saat dia menadaptkan firasat jika tabungannya telah mencapai jumlah ongkos naik haji. Maka dicopotlah sadel becaknya itu dan berangkatlah ia ke bank untuk mulai mendaftarkan diri menjadi calon haji. Saat masuk ke bank, satpam yang biasa membukakan pintu para nasabah, merasa heran, dan bertanya kepadanya kenapa membawa sadel beca ke bank ini. Ia juga mengatakan kepadanya gimana nanti mengayuh becaknya lagi?

Kemudian, bapak itu menjelaskan maksudnya bahwa ia ingin menabung dengan uang yang ada di celengan sadel becaknya itu untuk mendaftarkan diri untuk naik haji. Setelah itu, sang satpam langsung meminta maaf, kemudian mengantarnya ke teller dan menjelaskan ke petugasnya bahwa bapak ini mau menabung untuk daftar naik haji. Seketika itulah para petugas di bank itu antusias membantu membuka celengan di sadel beca dan mereka membantu menghitung jumlah uangnya yang terdiri dari uang lembaran bahkan receh seratusan dengan rasa haru.

Khotib juga "menyihir" para jemaah dengan renunganya bahwa betapa banyak orang-orang yang sudah terbilang mapan, atau mereka yang rela kredit rumah dan kendaraan hingga gajih habis trpotong untuk itu semua. Tetapi mereka justru enggan bahkan tidak ada keinginan untuk menyisihkan sdikit pun sebagian hasil kerjanya untuk ibadah haji atau umrah.

Ia mengatakan katakan, dari dua kisah yang bertolak belakang itu nyatalah bahwa ibadah haji bukan perkara miskin atau kaya, tetapi mutlak perkara keterpanggilan hati. Ia juga menyampaikan sebuah hadis yang menyatakan bahwa barangsiapa yang memiliki kelapangan/kesempatan untuk menunaikan ibadah haji namun enggan melaksanakannya, maka ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani. Beliau juga mengatakan, rindulah untuk berziarah kepada Nabi dan mengunjungi Kakbah. Niscaya akan tumbuh cita-cita dan ikhtiar untuk mewujudkannya.

Renungan-renungan itu beliau sampaikan dengan bahasa yang sederhana. Dengan suara yang cukup lantang, dan matanya yg berkaca-kaca, mampu memancing sanubari para jemaah untuk menitikkan air mata mereka.

Di setiap pojok masjid yang tidak terlalu besar itu terdengar tangisan, aku dan mereka saat itu larut dalam merenungi setiap kehidupan yang mungkin ganjil, dan telah jauh dari nilai-nilai ketuhanan karena terlalu sibuk memikirkan dunia, sehingga lupa akan tujuan Allah menitipkan harta duniawi itu untuk apa?

Di akhir khotbahnya, ia mengingatkan para jemaah agar bersikap dewasa dalam euforia Idul Adha, jangan sampai kejadian-kejadian tahun lalu terulang kembali, ketika sejumlah masa meninggal ketika mengantri mendapatkan sekerat daging kurban.

Menurutnya dengan kejadian yang memilukan dan memalukan itu menunjukkan bahwa betapa mirisnya keadaan umat islam saat ini. Jeratan kemiskinan membuat kita hidup dalam keterbatasan. Padahal Allah Swt., menganjurkan umatnya untuk kaya hati dan harta. Untuk itulah Allah mewajibkan zakat, mensunahkan berkurban, mensyariatkan ibadah haji, karena jika kita renungi betapa Allah sedang menyuruh kita untuk menjadi seorang mukmin yang kaya, karena zakat dan ibadah lainnya, hanya diwajibkan kapada orang yang telah mencapai nishab, mencapai batas kemampuan.

Allahu Akbar walillahi al-hamd. Allah Mahabesar segala puji bagi-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun