Langkah-langkah konkret dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram untuk memimpin diri sendiri berakar pada pemahaman yang mendalam tentang ilmu rasa, sebuah pendekatan filosofis yang menekankan pentingnya mengenali dan memahami diri sejati. Proses ini dimulai dengan introspeksi batin, di mana individu diajak untuk menyelami pikiran, emosi, dan dorongan yang muncul dalam dirinya. Introspeksi ini bukan sekadar melihat apa yang tampak di permukaan, tetapi menggali hingga ke akar rasa yang mendorong tindakan atau reaksi tertentu. Dalam pandangan Ki Ageng, korupsi, keserakahan, atau perilaku destruktif lainnya berakar pada kurangnya kesadaran akan diri sejati. Oleh karena itu, langkah pertama adalah menerima diri apa adanya, termasuk kekurangan dan kelemahan, tanpa rasa malu atau takut. Penerimaan ini menciptakan landasan untuk perbaikan diri yang autentik.
Selanjutnya, melatih kesadaran atau ngudi rasa menjadi langkah yang sangat penting. Dalam konteks ini, kesadaran tidak hanya berarti mengenali perasaan yang muncul, tetapi juga menyadari pola pikir yang melatarbelakangi perasaan tersebut. Seseorang diajak untuk berhenti sejenak dan merasakan apa yang sedang terjadi di dalam dirinya, baik itu rasa marah, cemas, bahagia, atau iri. Dengan melatih kesadaran ini, individu mampu memisahkan diri dari dorongan emosional yang sementara dan melihat perasaan itu sebagai sesuatu yang netral. Proses ini bukan hanya latihan mental, tetapi juga melibatkan disiplin untuk tidak segera bereaksi terhadap situasi eksternal. Dalam kepemimpinan, kesadaran ini memungkinkan pemimpin untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana dan tidak terburu-buru.
Pengendalian nafsu dan ego menjadi langkah berikutnya dalam memimpin diri sendiri menurut ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Beliau mengajarkan bahwa nafsu yang tidak terkendali adalah sumber utama ketidakseimbangan dalam hidup. Nafsu ini tidak hanya terbatas pada aspek materi, seperti harta atau jabatan, tetapi juga pada hal-hal yang bersifat emosional, seperti keinginan untuk dihormati atau takut kehilangan reputasi. Dalam ajaran ini, pengendalian nafsu dilakukan melalui latihan hidup sederhana. Kesederhanaan bukan berarti menolak kemajuan atau kenyamanan, tetapi mampu menentukan batasan yang sehat dalam memenuhi kebutuhan. Dengan membatasi nafsu, seseorang dapat menghindari godaan untuk bertindak tidak etis, seperti melakukan korupsi atau penyalahgunaan wewenang, karena ia memahami bahwa kepuasan sejati tidak berasal dari hal-hal eksternal.
Sikap legawa (ikhlas) dan narima (penerimaan) menjadi pilar penting dalam memimpin diri sendiri. Dalam kehidupan, seseorang tidak dapat mengontrol semua yang terjadi di sekitarnya, tetapi ia dapat mengontrol respons terhadap apa yang terjadi. Sikap legawa mengajarkan individu untuk melepaskan keterikatan pada hasil atau situasi tertentu dan menerima kenyataan apa adanya. Penerimaan ini bukan sikap pasrah, melainkan pengakuan terhadap keterbatasan manusia dan kemampuan untuk tetap tenang di tengah tantangan. Dalam konteks kepemimpinan, sikap ini membantu seseorang untuk tetap rasional meskipun menghadapi tekanan besar atau kegagalan. Seorang pemimpin yang mampu menerima kenyataan dengan lapang dada cenderung lebih bijaksana dalam mencari solusi daripada larut dalam emosi atau menyalahkan orang lain.
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram juga menekankan pentingnya harmonisasi antara individu dan masyarakat, atau antara mikrokosmos dan makrokosmos. Dalam ajaran ini, setiap individu dipandang sebagai bagian integral dari komunitas yang lebih besar. Oleh karena itu, kepemimpinan diri tidak hanya berarti mengendalikan diri untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk menciptakan dampak positif bagi orang lain. Misalnya, seorang pemimpin yang berpegang pada nilai-nilai kebatinan tidak hanya memprioritaskan keberhasilan individu tetapi juga memperhatikan kesejahteraan tim atau organisasi yang dipimpinnya. Dengan mengutamakan harmoni, individu menciptakan lingkungan yang lebih etis, kolaboratif, dan produktif. Prinsip ini mengajarkan bahwa kesuksesan sejati tidak terpisah dari kontribusi positif kepada orang lain.
Sebagai langkah terakhir, pencapaian kebahagiaan batin menjadi tujuan utama dalam ajaran ini. Kebahagiaan tidak dilihat sebagai hasil dari pencapaian materi atau status sosial, tetapi dari kedamaian batin yang lahir karena selarasnya pikiran, perasaan, dan tindakan. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati muncul ketika seseorang mampu menerima dirinya apa adanya, mengendalikan nafsu, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai moral. Dalam konteks kepemimpinan, kebahagiaan batin ini memungkinkan pemimpin untuk tetap stabil secara emosional dan membuat keputusan berdasarkan prinsip, bukan sekadar tekanan eksternal. Dengan demikian, langkah-langkah konkret dalam ajaran ini tidak hanya membentuk individu yang mampu memimpin dirinya sendiri, tetapi juga menghasilkan pemimpin yang mampu memberikan dampak positif yang berkelanjutan bagi lingkungannya.
Untuk memimpin diri sendiri menurut ajaran Ki Ageng Suryomentaram, terdapat sejumlah langkah konkret yang dapat diambil untuk mencapai pengembangan diri yang lebih baik. Salah satu langkah pertama yang sangat penting adalah introspeksi diri. Introspeksi, dalam pandangan Ki Ageng, adalah proses penting yang memungkinkan seseorang untuk merenung secara mendalam mengenai kehidupan dan dirinya. Proses ini bukan hanya sebatas pengamatan atau pemikiran biasa, tetapi merupakan tindakan untuk melihat diri secara jujur dan menyeluruh. Dengan introspeksi, seseorang akan lebih mampu menyadari kualitas batin, kebiasaan, serta motif yang mendasari tindakannya, sehingga ia bisa melakukan perubahan yang lebih konstruktif untuk hidupnya. Misalnya, dengan menyadari kekuatan dan kelemahan diri, seseorang dapat menghindari perilaku impulsif dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Introspeksi yang terus-menerus dapat membantu mengurangi reaksi emosional yang tidak produktif dan meningkatkan pengendalian diri, yang merupakan kunci utama dalam memimpin diri sendiri. Tidak hanya itu, introspeksi yang dilakukan secara rutin juga berfungsi untuk mengurangi kecenderungan negatif dalam berpikir, yang sering kali mengarah pada kesalahan penilaian terhadap diri sendiri dan orang lain.
Selain introspeksi, Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan pentingnya menerima diri sendiri dengan ikhlas. Penerimaan diri adalah landasan utama dalam proses memimpin diri, karena tanpa penerimaan ini, seseorang akan terus berjuang melawan kenyataan dan tak mampu berkembang. Penerimaan diri yang dimaksudkan di sini bukan berarti menyerah pada keadaan atau kekurangan, tetapi lebih kepada sikap legawa atau ikhlas dalam menghadapi kelemahan dan kekurangan pribadi. Dengan menerima diri secara penuh, seseorang tidak akan merasa tertekan untuk selalu menjadi sempurna, dan ia dapat belajar untuk mengapresiasi setiap aspek dalam dirinya---baik yang positif maupun negatif. Hal ini penting karena, sering kali, ketidakmampuan untuk menerima diri sendiri menyebabkan ketegangan batin, kecemasan, atau bahkan rasa malu yang berlebihan. Sebagai contoh, seseorang yang gagal dalam suatu usaha dapat merasakan kekecewaan, namun jika ia mampu menerima kegagalan tersebut sebagai bagian dari proses pembelajaran, maka ia dapat melanjutkan perjalanan hidupnya dengan lebih ringan. Penerimaan diri juga berarti bahwa seseorang tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain secara terus-menerus, karena ia sudah merasa cukup dengan apa adanya dirinya. Penerimaan ini membuka jalan bagi kedamaian batin dan mendorong individu untuk terus memperbaiki diri dengan cara yang lebih bijaksana.
Langkah berikutnya yang sangat penting dalam ajaran Ki Ageng adalah mengendalikan nafsu dan keinginan. Keinginan yang tidak terkendali sering kali menjadi sumber masalah dalam hidup, terutama ketika keinginan tersebut didorong oleh ego dan ambisi yang berlebihan. Nafsu untuk mencapai kekayaan, kekuasaan, atau pengakuan sering kali mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai moral atau bahkan melanggar hukum. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa salah satu cara untuk memimpin diri sendiri adalah dengan mengendalikan nafsu. Bukan berarti menekan semua keinginan, tetapi lebih kepada kemampuan untuk membedakan mana keinginan yang bermanfaat bagi pertumbuhan pribadi dan mana yang hanya sekadar dorongan sesaat yang dapat mengarah pada kerugian jangka panjang. Keinginan yang datang dari ego semata hanya akan membawa penderitaan, karena sifatnya yang tak pernah puas. Oleh karena itu, seseorang yang memimpin diri dengan baik harus mampu mengendalikan nafsunya dan mengarahkan diri kepada tujuan yang lebih tinggi dan lebih bermakna. Mengendalikan nafsu ini tidak hanya berhubungan dengan keinginan duniawi, tetapi juga dengan pengendalian terhadap emosi yang sering kali mengganggu ketenangan batin. Misalnya, keinginan untuk membalas dendam atau mendapatkan penghargaan bisa merusak kedamaian batin dan menciptakan lebih banyak konflik dalam hidup. Pengendalian nafsu ini menjadi aspek penting dalam menciptakan kehidupan yang lebih tenang dan harmonis.
Selain itu, latihan kesadaran diri atau yang dikenal dalam ajaran Ki Ageng sebagai ngudi rasa juga merupakan langkah yang sangat bermanfaat dalam memimpin diri sendiri. Latihan ini bertujuan untuk mengembangkan kesadaran yang lebih mendalam tentang perasaan dan pikiran kita. Dalam ajaran beliau, ngudi rasa bukan hanya sekadar latihan meditasi, tetapi merupakan cara hidup yang mengajarkan untuk lebih peka terhadap kondisi batin kita. Melalui latihan kesadaran diri, seseorang dapat belajar untuk memisahkan antara perasaan yang datang dari ego dan perasaan yang berasal dari hati yang sejati. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk melatih kesadaran diri adalah melalui meditasi atau berdiam diri dalam keheningan. Ketika seseorang duduk diam, mengatur pernapasan, dan berfokus pada pikiran, ia dapat belajar untuk mengendalikan kebisingan mental yang sering kali menghalangi kemampuan untuk mendengarkan suara hati. Selain itu, dengan ngudi rasa, seseorang dapat memperdalam pemahaman terhadap perasaan dan pikiran yang muncul, sehingga lebih mudah untuk merespons situasi dengan bijaksana, alih-alih bereaksi secara impulsif. Melalui latihan ini, individu tidak hanya mampu mengatasi ketegangan batin, tetapi juga bisa mengenali apa yang sebenarnya ia butuhkan dalam hidup. Ini akan membawa kepada keputusan yang lebih tepat dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam pekerjaan.
Langkah terakhir yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah refleksi terhadap pengalaman hidup. Menurut ajaran beliau, setiap pengalaman yang dialami, baik itu kegagalan, kesuksesan, atau kesulitan, adalah sumber pembelajaran yang sangat berharga. Dengan merefleksikan pengalaman hidup, seseorang dapat lebih mudah memahami pola-pola tertentu dalam hidupnya dan bagaimana ia bereaksi terhadap situasi tersebut. Ki Ageng mengajarkan bahwa seseorang harus mampu melihat hidup dengan objektif, dan bukan hanya berdasarkan penilaian emosional semata. Misalnya, jika seseorang mengalami kegagalan, ia tidak boleh hanya merasa kecewa atau menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya, melalui refleksi, ia bisa bertanya pada diri sendiri, "Apa yang bisa saya pelajari dari kegagalan ini?" atau "Bagaimana saya bisa memperbaiki diri untuk masa depan?" Refleksi seperti ini akan membawa kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang diri, dan membantu seseorang untuk terus tumbuh dan berkembang. Pengalaman hidup yang penuh tantangan, ketika direnungkan dengan bijaksana, justru dapat menjadi sarana untuk memperkuat karakter dan menjadikan individu lebih matang dalam mengambil keputusan ke depan. Refleksi ini tidak hanya melibatkan merenung atas tindakan sendiri, tetapi juga merenungkan hubungan kita dengan orang lain, serta bagaimana kita dapat memperbaiki hubungan tersebut.