"Peace cannot exist without justice, justice cannot exist without fairness, fairness cannot exist without development, development cannot exist without democracy, democracy cannot exist without respect for the identity and worth of cultures and peoples."
Rigoberta Mench Tum
A. PENDAHULUAN
Di Indonesia, praktik Amicus Curiae mulai dikenal dan digunakan dalam beberapa kasus yang menarik perhatian publik dimana konsep ini mulai mendapatkan pengakuan di dalam sistem peradilan Indonesia. Banyak pihak atau kelompok masyarakat sipil yang peduli akan hak asasi manusia terlibat dalam memberikan pandangan atau argumen kepada pengadilan sebagai amicus curiae. Penggunaannya untuk memperkuat argumen yang disampaikan oleh pihak yang terlibat dalam kasus tersebut atau menyampaikan perspektif yang mungkin terabaikan. Dalam konteks ini, amicus curiae dapat berasal dari kelompok advokasi hak asasi manusia atau organisasi masyarakat sipil lainnya yang memiliki kepentingan dalam memastikan bahwa keputusan pengadilan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial sebagai salah satu wujud dari upaya memperkuat sistem peradilan Indonesia yang lebih transparan, inklusif, dan berkeadilan.
Amicus curiae adalah istilah Latin yang berarti "teman pengadilan." Dalam konteks hukum, amicus curiae merujuk pada pihak yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus, namun memiliki kepentingan atau pandangan yang relevan terhadap kasus tersebut. Pihak amicus curiae ini bisa berupa individu, kelompok, organisasi, atau entitas lainnya.
B. SEJARAH DAN ETIMOLOGI
Sejarah amicus curiae bisa ditelusuri kembali ke zaman Romawi kuno, di mana ahli hukum atau pihak yang memiliki keahlian khusus sering kali diizinkan untuk memberikan pandangan atau nasihat kepada pengadilan yang posisinya tidak menjadi pihak dalam kasus tersebut, tetapi memberikan pandangan yang relevan. Kemudian pada periode Abad Pertengahan di Eropa, meskipun mungkin tidak terdokumentasi secara teratur. Para ahli hukum dan kelompok keagamaan sering kali memberikan pandangan mereka kepada pengadilan dalam kasus-kasus penting.
Secara etimologi dari istilah "amicus curiae" berasal dari bahasa Latin, dimana kata "amicus" dalam bahasa Latin berarti "teman" atau "pendukung." Ini berasal dari kata dasar "amic-" yang memiliki arti "bercinta" atau "persahabatan." Kata "curiae" merupakan bentuk jamak dari kata "curia" dalam bahasa Latin, yang merujuk kepada "pengadilan" atau "rumah pengadilan." Pada masa Romawi kuno, "curia" adalah bangunan tempat pertemuan Dewan Kekaisaran Romawi, namun dalam konteks amicus curiae, "curiae" digunakan untuk merujuk kepada pengadilan atau ruang pengadilan.
Jadi, secara harfiah, "amicus curiae" dapat diterjemahkan sebagai "teman pengadilan" atau "pendukung pengadilan." Istilah ini menggambarkan peran pihak yang memberikan pendapat atau pandangan kepada pengadilan dalam suatu kasus, meskipun mereka bukan merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam kasus tersebut. Peran amicus curiae adalah memberikan informasi yang relevan dan membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang tepat.
Peran amicus curiae dalam sistem hukum Civil Law seringkali mirip dengan yang ada dalam sistem hukum common law. Meskipun ada perbedaan dalam struktur dan prosedur antara kedua sistem hukum tersebut, Dalam sistem hukum Civil Law, amicus curiae sering kali dikenal dengan istilah yang berbeda, tergantung pada negara dan yurisdiksinya. Misalnya, di beberapa negara Eropa, mereka dapat disebut sebagai "intervenants" atau "peserta lain" atau di frasakan menjadi "partisipasi sosial" yang merupakan pihak yang tidak langsung terlibat dalam kasus tetapi memiliki kepentingan atau pengetahuan khusus yang relevan dengan masalah yang sedang dipertimbangkan.
Penerimaan dan peran amicus curiae dalam sistem hukum Civil Law dapat bervariasi tergantung pada aturan dan praktik hukum yang berlaku di masing-masing negara. Namun, seperti dalam sistem hukum Common Law, partisipasi amicus curiae sering kali diterima dan dihargai oleh pengadilan karena dapat membantu dalam mencapai keputusan yang lebih baik dan adil, seperti pada sistem hukum Amerika Serikat, beberapa contoh kasus terkenal di Amerika Serikat yang melibatkan amicus curiae antara lain:
- Kasus Brown v. Board of Education (1954): Kasus ini merupakan salah satu yang paling bersejarah dalam sejarah hukum Amerika Serikat, di mana Mahkamah Agung memutuskan bahwa segregasi rasial di sekolah-sekolah umum adalah tidak konstitusional. Dalam kasus ini, pengaju amicus curiae ialah organisasi American Civil Liberties Union (ACLU), NAACP Legal Defense and Educational Fund, dan American Jewish Congress, memberikan argumen dan informasi kepada Mahkamah Agung untuk mendukung integrasi rasial di sekolah di Amerika pada masa itu.
- Kasus Roe v. Wade (1973): Kasus ini menghasilkan keputusan yang fundamental tentang hak aborsi di Amerika Serikat. Banyak amicus curiae, seperti National Organization for Women (NOW) dan American Civil Liberties Union (ACLU), memberikan pandangan hukum dan argumen yang mendukung hak perempuan untuk mengakses aborsi, sementara pihak lain seperti pro-life organizations juga memberikan pandangan yang berlawanan.
- Kasus Pemerintah Amerika v. Microsoft Corp. (2001): Dalam kasus ini, Departemen Kehakiman AS menuduh Microsoft melakukan pelanggaran antitrust. pengaju amicus curiae pada kasus ini adalah perusahaan teknologi pesaing dan kelompok konsumen, memberikan pandangan dan informasi kepada pengadilan untuk mendukung kasus tersebut.
- Kasus Obergefell v. Hodges (2015): Kasus ini adalah titik balik dalam sejarah hak-hak LGBT di Amerika Serikat, di mana Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa hak untuk menikah adalah hak yang dilindungi oleh Konstitusi Amerika Serikat, termasuk bagi pasangan sesama jenis.
- Kasus Citizens United v. Federal Election Commission (2010): Kasus ini melibatkan keputusan Mahkamah Agung yang kontroversial tentang kebebasan berbicara dan pengaturan kampanye politik oleh korporasi dan serikat buruh.
C. BATASAN DAN BENTUK
Pengajuan amicus curiae, meskipun memberikan kontribusi yang berharga dalam proses hukum, juga memiliki batasan tertentu. Berikut beberapa batasan umum yang biasanya ditemui dalam pengajuan amicus curiae:
- Keterbatasan waktu dimana Pengadilan akan menetapkan batas waktu untuk pengajuan amicus curiae, yang memungkinkan waktu yang cukup bagi pihak-pihak yang terlibat untuk mempertimbangkan pendapat yang disampaikan.
- Kaitan dengan kasus, pengajuan Amicus curiae harus memastikan bahwa argumen atau pandangan yang mereka ajukan memiliki kaitan langsung dengan masalah yang sedang dipertimbangkan dalam kasus tersebut. Pengadilan biasanya tidak akan menerima pengajuan amicus curiae yang tidak relevan atau tidak berhubungan dengan kasus.
- Kepentingan atau kualifikasi, pihak yang mengajukan amicus curiae biasanya bukan merupakan pihak yang terlibat langsung dalam kasus, mereka harus dapat menunjukkan kepentingan atau kualifikasi yang memadai untuk memberikan pandangan hukum yang relevan. Misalnya, organisasi masyarakat sipil atau lembaga penelitian hukum mungkin memiliki kualifikasi yang relevan dalam kasus tertentu.
- Izin pengadilan, dimana Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis Pemeriksa perkara biasanya memutuskan apakah akan menerima atau menolak pengajuan amicus curiae. Pihak yang tertarik untuk menjadi amicus curiae harus mengajukan permohonan kepada pengadilan dan mendapatkan izin khusus sebelum mereka dapat mengajukan argumen atau pandangan mereka.
- Keterbatasan jumlah, dimana Pengadilan mungkin membatasi jumlah amicus curiae yang diperbolehkan untuk mengajukan pendapat dalam kasus tertentu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terlalu banyaknya pengajuan yang dapat memperlambat proses hukum atau membingungkan pengadilan.
Batasan-batasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengajuan amicus curiae dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam proses hukum tanpa mengganggu atau mengaburkan fokus kasus yang sedang dipertimbangkan oleh pengadilan.
D. AMICUS CURIAE VS. ACTORI IN CUMBIT PROBATIO?
Amicus curiae dan pembuktian dalam pemeriksaan di pengadilan adalah dua konsep yang berbeda dalam konteks sistem hukum. Â Pembuktian dalam Pemeriksaan di Pengadilan adalah proses dimana pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus menampilkan bukti-bukti bukti-bukti yang relevan dan sah, memanggil saksi, dan melakukan penyelidikan untuk memperkuat argumentasi hukum untuk mendukung klaim atau pembelaan pihak yang berperkara. Perbedaan utama antara amicus curiae dan pembuktian dalam pemeriksaan di pengadilan adalah bahwa amicus curiae memberikan pandangan atau argumen hukum kepada pengadilan tanpa terlibat dalam proses pembuktian, sementara pembuktian melibatkan presentasi bukti-bukti yang relevan oleh pihak yang terlibat dalam kasus.
Asas Actori In Cumbit Probatio, yang dapat diterjemahkan sebagai "pihak dalam membuktikan," adalah prinsip dalam hukum yang menempatkan beban pembuktian pada pihak yang mengajukan klaim atau tuntutan dalam suatu kasus. Dalam sistem hukum yang menganut prinsip ini, pihak yang mengajukan klaim atau tuntutan bertanggung jawab untuk menyajikan bukti-bukti yang mendukung klaim atau tuntutan mereka. Ini berarti bahwa pihak yang terlibat dalam kasus memiliki tanggung jawab untuk membuktikan klaim atau pembelaan mereka, dan pengadilan akan membuat keputusan berdasarkan bukti-bukti yang disajikan.
Dalam konteks praktis, amicus curiae dan pembuktian dalam pemeriksaan di pengadilan memiliki peran yang berbeda tetapi penting dalam sistem hukum. Amicus curiae membantu memastikan bahwa berbagai perspektif dan argumen hukum dipertimbangkan oleh pengadilan, sementara pembuktian membantu pengadilan dalam menentukan fakta-fakta yang relevan dan mendasari keputusan mereka dalam kasus tersebut. Dengan demikian, keduanya merupakan elemen integral dari proses pengadilan yang adil dan transparan.
E. AMICUS CURIAE DAN TUJUAN SISTEM DEMOKRASI
Peran amicus curiae dalam sistem demokrasi sebagai bagian dari partisipasi warga negara adalah sebuah topik yang menarik, terutama dalam konteks sistem hukum yang mengedepankan prinsip pemerintahan yang baik dan keadilan. Dalam demokrasi modern, partisipasi warga negara dalam proses hukum sangat penting untuk menjaga keadilan dan akuntabilitas. Salah satu cara di mana warga negara dapat berpartisipasi adalah melalui peran amicus curiae.Â
Partisipasi amicus curiae dalam sistem hukum sebagai wujud partisipasi warga negara memiliki beberapa keuntungan yang signifikan. Peran amicus curiae dapat memperluas cakupan pandangan yang dipertimbangkan oleh pengadilan. Dalam proses hukum yang kompleks, beragam pandangan dan penafsiran hukum dapat membantu pengadilan memahami implikasi yang lebih luas dari keputusan mereka. Ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang menekankan pada inklusivitas dan pluralitas.
Kemudian peran amicus curiae adalah untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum. Dengan melibatkan pihak-pihak yang mungkin tidak terlibat secara langsung dalam kasus, amicus curiae membantu memastikan bahwa keputusan pengadilan didasarkan pada pertimbangan yang komprehensif dan tidak memihak. Ini adalah aspek penting dari prinsip-prinsip demokrasi yang menuntut bahwa proses pengambilan keputusan harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.Â
Selain itu, partisipasi amicus curiae memperkuat legitimasi keputusan hukum. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan memberikan ruang bagi pandangan yang beragam, proses hukum menjadi lebih representatif dari kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ini menegaskan prinsip-prinsip demokrasi yang menekankan pada kedaulatan rakyat dan partisipasi yang aktif dalam pembentukan kebijakan. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa peran amicus curiae juga harus diatur dengan cermat untuk mencegah penyalahgunaan atau manipulasi. Aturan yang jelas dan transparan tentang kriteria penerimaan dan partisipasi amicus curiae diperlukan untuk memastikan bahwa proses hukum tetap objektif dan adil.
Dengan memberikan ruang bagi berbagai pandangan dan memperkuat transparansi serta akuntabilitas dalam proses hukum, amicus curiae memainkan peran penting dalam menjaga integritas dan legitimasi sistem hukum dalam masyarakat demokratis. Terakhir penulis mengutip suatu pengingat yang menyatakan "......Man's capacity for justice makes democracy possible, but man's inclination to injustice makes democracy necessary."Â - Karl Paul Reinhold Niebuhr
Iron Fajrul Aslami-Pembelajar Hukum dan Kriminologi
(Dirangkum dan disajikan dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H