Mohon tunggu...
Iron Fajrul
Iron Fajrul Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara dan dosen

Pembaca dan pelintas semesta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meta Teori Max Weber: Otoritas Netizen terhadap Hukum

21 Oktober 2023   11:46 Diperbarui: 21 Oktober 2023   12:40 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat dalam sistem Demokrasi - Dok. pribadi

Within the character of the citizen, lies the welfare of the NationMarcus Tullius Cicero

PENDAHULUAN

Istilah "masyarakat digital" atau "netizen" adalah istilah yang telah muncul dalam konteks perkembangan teknologi dan internet, dan tidak memiliki etimologi khusus yang terkait dengan bahasa tertentu. Istilah-istilah ini telah muncul sebagai deskripsi dari orang-orang yang aktif terlibat dalam komunikasi, interaksi, dan aktivitas daring. "Masyarakat digital" mencerminkan perkembangan teknologi digital, internet, dan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini digunakan oleh ahli sosiologi dan ilmu sosial untuk merujuk pada masyarakat yang semakin terlibat dalam dunia digital. "Masyarakat" berasal dari bahasa Latin "societas" yang berarti "komunitas" atau "persatuan," sementara "digital" mengacu pada teknologi digital.

Istilah "netizen" adalah gabungan dari kata "internet" dan "warga negara" (citizen). Ini merujuk pada orang-orang yang berperan aktif dalam komunitas internet dan memiliki hak, tanggung jawab, dan identitas dalam dunia maya. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Michael Hauben dalam bukunya "Netizens: On the History and Impact of Usenet and the Internet" yang diterbitkan pada tahun 1997.

Netizen, atau warga internet, memiliki pengaruh yang signifikan pada sistem demokrasi dalam berbagai cara. Pengaruh netizen telah berkembang seiring dengan pertumbuhan internet dan media sosial. Berbagai cara di mana netizen mempengaruhi kekuasaan dalam sistem demokrasi, antara lain dalam partisipasi politik yang aktif, kampanye kemanusiaan dan advokasi hak asasi manusia dan dapat berperan sebagai jurnalis warga dengan melaporkan berita dan peristiwa yang terjadi secara langsung. Media sosial memungkinkan berbagai pihak dari netizen untuk berbagi gambar, video, dan laporan tentang berita penting sehingga secara signifikan memengaruhi opini publik melalui media sosial dan komunikasi daring dengan mempengaruhi pendapat dan keyakinan orang lain dengan berbagi informasi, argumen, dan bukti. Bahwa peran netizen dalam demokrasi juga dapat memiliki tantangan, termasuk penyebaran informasi palsu, polarisasi, dan perilaku online yang tidak etis.

TEORI MAX WEBER TENTANG MASYARAKAT

Max Weber adalah seorang sosiolog, ekonom, dan filsuf Jerman yang hidup dari tahun 1864 hingga 1920. Ia merupakan salah satu pemikir sosial terkemuka dalam sejarah dan dikenal karena kontribusinya dalam bidang sosiologi, teori sosial, dan ekonomi. Beberapa konsep terkenal yang dikembangkan oleh Max Weber antara lain:

  • "Rasionalisasi" dalam sosiologi, membahas bagaimana masyarakat modern menjadi semakin rasional dan terstruktur.
  • Konsep "tindakan sosial" sebagai dasar pemahaman tentang perilaku manusia dalam konteks sosial.
  • Teori "etika Protestan" dan hubungannya dengan perkembangan kapitalisme, yang dijelaskan dalam bukunya "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism" (1905).
  • Konsep "birokrasi" dan "otoritas rasional-legal" yang membahas bagaimana birokrasi dan sistem administrasi modern beroperasi.
  • Pemahaman tentang tiga jenis otoritas: tradisional, rasional-legal, dan karismatik.

Max Weber adalah salah satu tokoh utama dalam sejarah pemikiran sosial dan politik. Karyanya masih banyak diperbincangkan dan menjadi landasan bagi banyak penelitian di berbagai bidang ilmu sosial. Weber mengembangkan konsep otoritas rasional-legal dalam teorinya tentang tipe-tipe otoritas dalam masyarakat yang mengacu pada bentuk otoritas yang didefinisikan oleh aturan, hukum, dan peraturan yang rasional. Beberapa poin dalam pandangan otoritas rasional-legal oleh Max Weber adalah:

  • Rasionalitas: Otoritas rasional-legal berdasarkan pertimbangan yang rasional. Keputusan yang diambil didasarkan pada hukum, peraturan, atau aturan yang sudah ada, dan keputusan tersebut harus sesuai dengan kriteria rasionalitas yang telah ditetapkan.
  • Legalitas: Otoritas rasional-legal juga berhubungan dengan legalitas. Ini berarti tindakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah atau lembaga yang memiliki otoritas rasional-legal harus sesuai dengan hukum yang ada.
  • Birokrasi: Max Weber mengaitkan otoritas rasional-legal dengan sistem birokrasi. Menurutnya, birokrasi adalah bentuk organisasi yang paling cocok untuk menerapkan otoritas rasional-legal. Dalam birokrasi, tindakan dan keputusan didasarkan pada aturan, prosedur, dan hukum yang sudah ditetapkan.
  • Standarisasi: Otoritas rasional-legal seringkali melibatkan standarisasi dan formalisasi. Ini berarti bahwa tindakan dan keputusan diambil dengan mematuhi prosedur dan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, tanpa memperhitungkan faktor-faktor pribadi atau emosional.
  • Kontrol dan Akuntabilitas: Otoritas rasional-legal dapat dikenal dengan baik dan akuntabel. Keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan dapat dilacak kembali ke peraturan dan hukum yang berlaku, sehingga ada kontrol yang kuat terhadap otoritas ini.

Pandangan otoritas rasional-legal oleh Max Weber sangat penting dalam pemahaman struktur pemerintahan dan organisasi modern, serta dalam memahami bagaimana otoritas dan kekuasaan dijalankan dalam masyarakat yang didasarkan pada hukum dan aturan. Max Weber memahami hubungan antara otoritas dan kekuasaan dalam masyarakat sebagai konsep yang terkait erat, tetapi tidak identik. Pandangan Weber tentang hubungan ini mencakup beberapa konsep kunci:

  • Otoritas (Authority): Weber memandang otoritas sebagai kemampuan seseorang atau sebuah entitas untuk mempengaruhi tindakan individu atau kelompok lainnya. Otoritas terkait dengan hak atau legitimasi yang diberikan kepada individu atau lembaga untuk mengambil keputusan dan mengarahkan perilaku orang lain. Otoritas dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti otoritas tradisional, rasional-legal, atau karismatik.
  • Kekuasaan (Power): Kekuasaan, dalam pandangan Weber, adalah kemampuan untuk memengaruhi atau mengubah tindakan orang lain, terlepas dari apakah ada legitimasi yang sah (otoritas) atau tidak. Kekuasaan tidak selalu bersumber dari legitimasi, dan bisa mencakup berbagai cara, termasuk ancaman, pengaruh ekonomi, kekuatan fisik, atau manipulasi.
  • Hubungan antara Otoritas dan Kekuasaan: Weber mengakui bahwa otoritas dan kekuasaan dapat bersinggungan dalam praktiknya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang atau lembaga dengan otoritas seringkali memiliki kekuasaan untuk mendukung atau menegakkan otoritas mereka. Namun, Weber juga menyadari bahwa ada situasi di mana kekuasaan mungkin digunakan tanpa otoritas yang sah. Misalnya, seseorang yang tidak memiliki legitimasi formal dapat mencoba memengaruhi orang lain melalui kekuasaan pribadi atau ekonomi.
  • Tipe-tipe Otoritas: Weber mengidentifikasi tiga tipe otoritas: tradisional, rasional-legal, dan karismatik. Masing-masing tipe otoritas memiliki karakteristik yang berbeda, dan ini memengaruhi cara otoritas dan kekuasaan berhubungan dalam masyarakat. Otoritas rasional-legal, yang didasarkan pada hukum dan peraturan, seringkali memiliki struktur yang lebih terstruktur dan bisa lebih mudah dipisahkan dari kekuasaan pribadi.

Dalam pandangan Weber, otoritas adalah legitimasi formal yang memberikan hak untuk memerintah atau mengarahkan, sementara kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi tindakan orang lain, terlepas dari legitimasi formal. Hubungan antara keduanya sangat penting dalam masyarakat, dan pemahaman tentang bagaimana mereka berinteraksi membantu kita memahami bagaimana kekuasaan dan kontrol dijalankan dalam berbagai konteks sosial dan politik.

Masyarakat dalam sistem Demokrasi - Dok. pribadi
Masyarakat dalam sistem Demokrasi - Dok. pribadi

Indonesia, sebagai negara majemuk dengan beragam etnis, budaya, dan agama, mungkin memiliki kombinasi dari tiga tipe otoritas ini, tipe tradisional, rasional-legal, dan karismatik. Misalnya, pemerintah pusat Indonesia beroperasi berdasarkan otoritas rasional-legal, sementara tingkat lokal mungkin melibatkan elemen-elemen otoritas tradisional dan karismatik, terutama dalam konteks kepemimpinan suku atau komunitas tertentu.

MASYARAKAT MODERN MENJADI MASYARAKAT DIGITAL

Pada masyarakat modern memiliki pandangan yang kompleks terhadap hukum dan kekuasaan. Pandangan ini dapat bervariasi tergantung pada konteks, budaya, dan pengalaman individu. Masyarakat modern sering melihat hukum sebagai dasar yang penting untuk menjaga ketertiban sosial. Hukum memberikan kerangka kerja yang jelas untuk perilaku dan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Ini mencakup hukum pidana yang menetapkan norma-norma dasar tentang apa yang dilarang dan hukum perdata yang mengatur hubungan antarindividu, seperti kontrak dan hak milik. Masyarakat modern mendambakan sistem hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Mereka ingin melihat bahwa hukum diterapkan dengan konsisten dan tanpa pandang bulu terhadap status sosial, ekonomi, atau budaya seseorang. Kepercayaan pada keadilan sistem hukum adalah kunci bagi kepercayaan masyarakat terhadap otoritas dan pemerintah. Di beberapa masyarakat modern, terutama yang menganut prinsip-prinsip demokrasi, individu diharapkan untuk berpartisipasi dalam pembuatan hukum. Masyarakat modern sering memiliki hak untuk memilih perwakilan mereka dan memberikan masukan dalam pembentukan undang-undang. Ini mencerminkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan partisipatif.

Masyarakat modern sering menekankan pentingnya kontrol terhadap kekuasaan, dengan memastikan bahwa kekuasaan, terutama yang ada dalam pemerintahan, tidak disalahgunakan. Oleh karena itu, terdapat sistem pemisahan kekuasaan, transparansi, dan akuntabilitas yang dirancang untuk memastikan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan hukum dan kepentingan masyarakat.

Transformasi digital telah memberikan dampak yang signifikan pada hampir setiap aspek kehidupan kita. Digital telah mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, bekerja, berbelanja, belajar, dan bersosialisasi. Ini telah menjadi ciri kunci masyarakat modern dan terus membentuk dunia kita dalam banyak cara. Masyarakat modern memiliki identitas digital, yang mencakup akun media sosial, blog, dan jejak online mereka. Ini mencerminkan bagaimana digital telah menyatu dengan identitas dan kehidupan sosial dan sangat terhubung secara daring dan menciptakan jaringan sosial yang luas dan memungkinkan kolaborasi global. Para ahli sosiologi mengidentifikasi berbagai bentuk masyarakat digital sebagai berikut:

  • Masyarakat Jaringan (Networked Society): Ini adalah konsep yang digagas oleh sosiolog Manuel Castells, Masyarakat digital sering digambarkan sebagai masyarakat jaringan, di mana komunikasi dan interaksi terjadi melalui jaringan komputer dan internet. Masyarakat ini didasarkan pada konektivitas yang tinggi dan seringkali bersifat terfragmentasi.
  • Masyarakat Informasi (Information Society): Konsep ini menggambarkan peralihan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Ahli sosiologi seperti Daniel Bell, mengatakan bahwa teknologi informasi dan pengetahuan menjadi inti produksi dan ekonomi dalam masyarakat digital.
  • Masyarakat Virtual (Virtual Society): Masyarakat virtual mengacu pada cara orang berinteraksi dan terlibat dalam dunia maya, terutama di media sosial, forum daring, dan dunia virtual lainnya. Ahli sosiologi telah mempelajari bagaimana interaksi dalam masyarakat virtual dapat mempengaruhi identitas individu dan struktur sosial.
  • Masyarakat Partisipatif (Participatory Society): Masyarakat digital cenderung lebih partisipatif daripada sebelumnya. Ini mencakup partisipasi aktif dalam pembuatan konten, politik daring, kampanye advokasi, dan lainnya. Masyarakat memiliki lebih banyak kesempatan untuk memberikan suara dan berpartisipasi dalam pembentukan arah sosial.
  • Masyarakat Konsumen Digital (Digital Consumer Society): Dalam masyarakat digital, konsumen sering berbelanja, berinteraksi dengan merek, dan mengakses konten secara online. Konsumen digital dapat memiliki pengaruh besar dalam menentukan tren dan preferensi.
  • Masyarakat Transnasional (Transnational Society): Teknologi digital telah menghubungkan orang di seluruh dunia. Masyarakat digital juga sering dianggap sebagai masyarakat yang transnasional, di mana komunikasi dan pertukaran informasi melintasi batas nasional dan budaya.
  • Masyarakat Terfragmentasi (Fragmented Society): Kehadiran teknologi digital juga telah menyebabkan masyarakat menjadi terfragmentasi dalam hal preferensi, informasi, dan pandangan. Ini menciptakan kamar echo dan gelembung informasi di mana orang cenderung terpapar pada pandangan yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri.
  • Masyarakat Terpolarisasi (Polarized Society): Masyarakat digital juga dapat menjadi tempat konflik dan polarisasi, terutama dalam hal politik dan isu-isu kontroversial. Komunikasi di media sosial seringkali memperkuat opini-opini yang sudah ada dan menciptakan kelompok yang saling terisolasi.

Bentuk-bentuk masyarakat digital ini tidak selalu bersifat eksklusif satu sama lain, dan seringkali ada percampuran dan tumpang tindih antara berbagai bentuk ini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam analisis sosiologi, dapat digambarkan bagaimana teknologi digital memengaruhi dinamika sosial, kekuasaan, struktur sosial, dan interaksi manusia dalam masyarakat modern.

PENAL POPULISM SEBAGAI RESPON MASYARAKAT DIGITAL

Masyarakat digital dalam aktifitasnya juga merespon terhadap hukum dan kekuasaan dari berbagai faktor, termasuk budaya, nilai, konteks, dan pengalaman individu. Menggunakan platform media sosial dan alat komunikasi daring untuk mengadvokasi isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan, atau keadilan sosial. Aktivis daring sering menggunakan kampanye online, petisi, dan gerakan sosial untuk memengaruhi kebijakan pemerintah, dengan memantau tindakan pemerintah dan individu yang memegang kekuasaan. Mereka dapat mengungkapkan ketidaksetujuan atau keprihatinan mereka terhadap tindakan yang mereka anggap tidak sesuai dengan hukum atau etika. Ini menciptakan tekanan untuk akuntabilitas. Di beberapa negara, pemerintah atau entitas pribadi dapat mencoba membatasi akses ke internet atau sensor konten daring. Masyarakat digital sering merespon dengan upaya untuk mengatasi sensor atau menghindari pembatasan, seperti menggunakan jaringan virtual pribadi (VPN) atau mengganti DNS.

Masyarakat digital terbuka dalam diskusi dan perdebatan mengenai masalah hukum dan kekuasaan. Ini dapat mencakup berbagai pandangan dan pendapat, dan platform seperti forum daring, blog, dan media sosial digunakan untuk pertukaran gagasan untuk memengaruhi opini publik. Respons masyarakat digital terhadap hukum dan kekuasaan mencerminkan pengaruh teknologi digital pada partisipasi politik, aktivisme, dan tuntutan akan keadilan dan akuntabilitas dalam bentuk Penal Populism.

Penal populism adalah istilah yang juga memiliki relevansi dalam ilmu sosiologi, terutama ketika membahas perubahan dalam sistem peradilan pidana dan tindakan sosial. Dalam konteks sosiologi, penal populism adalah fenomena di mana kebijakan kriminal dan peradilan pidana cenderung dipengaruhi oleh tekanan opini publik dan popularitas politik. Beberapa ahli sosiologi mendefinisikan penal populism sebagai berikut:

  • David Garland: menjelaskan penal populism sebagai perubahan dalam praktik penegakan hukum dan hukuman yang muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran publik terhadap kejahatan. Hal ini sering disertai dengan peningkatan hukuman yang lebih berat, penggunaan hukuman mati, dan pendekatan yang lebih punitif terhadap kejahatan.
  • John Pratt: Menurut Pratt, fenomena ini mencakup peningkatan hukuman yang keras, peningkatan penahanan, serta perubahan dalam retorika dan politik keamanan yang lebih ketat. Pratt menyoroti bagaimana populisme politik dapat memengaruhi kebijakan kriminal dan peradilan pidana.
  • Dario Melossi dan Massimo Pavarini: Melossi dan Pavarini memandang penal populism sebagai bentuk pergeseran dalam budaya kriminalitas, dengan penekanan pada kekhawatiran terhadap keamanan dan keadilan yang lebih keras dengan menekankan bagaimana popularitas politik dan permintaan publik dapat memengaruhi kebijakan hukuman.

Dalam konteks sosiologi, penal populism sering dilihat sebagai bentuk reaksi terhadap perubahan sosial yang lebih luas, seperti perubahan ekonomi, demografi, dan budaya. Penegakan hukum yang keras dan hukuman yang lebih berat seringkali digunakan sebagai respons politik terhadap perasaan ketidakamanan dan perubahan dalam masyarakat.

Masyarakat digital memiliki pengaruh signifikan terhadap hukum melalui Penal populism. Beberapa cara di mana masyarakat digital mempengaruhi hukum, antara lain dengan menggalang dukungan untuk isu-isu tertentu melalui media sosial dan kampanye daring, mengumpulkan tanda tangan dalam petisi online, mengorganisir protes melalui jejaring sosial, dan menyuarakan pandangan secara kolektif. Aktivisme daring ini dapat memengaruhi perubahan dalam hukum atau kebijakan. Menggunakan media sosial dan situs web kampanye untuk mendukung atau menentang perubahan hukum atau kebijakan tertentu, dengan menyuarakan keprihatinan kepada para pembuat kebijakan, membuat opini publik, dan memengaruhi agenda politik. Teknologi digital telah meningkatkan transparansi dalam kebijakan pemerintah dan sektor publik. Warga masyarakat digital dapat memantau tindakan pemerintah dengan lebih mudah melalui penyediaan data terbuka, pelaporan warga, dan investigasi jurnalisme warga. Ini dapat mendesak lembaga-lembaga pemerintah untuk bertindak dengan lebih akuntabel.

PERUBAHAN CARA PANDANG MASYARAKAT DIGITAL TERHADAP HUKUM

Masyarakat digital telah mengubah cara hukum dan kebijakan dibentuk dan diterapkan dengan memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan meningkatkan transparansi. Namun, juga penting untuk diingat bahwa pengaruh masyarakat digital juga memiliki tantangan, seperti masalah desinformasi, polarisasi, dan perlindungan privasi yang kompleks.

Masa depan penegakan hukum akan terus dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat digital. Bagaimana penegakan hukum akan berkembang dengan pengaruh masyarakat digital, dimana Penegak hukum akan lebih mengandalkan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan analitik data untuk mengidentifikasi dan mengandalkan informasi dari sumber terbuka online. Penegakan hukum akan terus berkembang untuk mengakomodasi perkembangan teknologi digital. Hal ini termasuk hukum tentang privasi data, keamanan siber, dan regulasi teknologi yang semakin penting.

Masa depan penegakan hukum dengan pengaruh masyarakat digital akan mencakup integrasi teknologi yang lebih kuat, kemitraan yang lebih dalam dengan sektor swasta, dan evolusi dalam hukum dan regulasi. Semua ini akan diarahkan untuk menjaga keamanan masyarakat sambil tetap menghormati hak-hak individu dan privasi dalam era digital.

Max Weber, hidup pada era akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang tidak mengalami era digital. Namun, teori-teorinya dalam sosiologi masih memiliki relevansi dalam pemahaman perubahan masyarakat yang disebabkan oleh teknologi digital dan dampaknya terhadap hukum. Aspek teori Weber yang bisa diterapkan dalam konteks ini Konsep Rasionalisasi, yang mengacu pada proses di mana masyarakat berubah dari bentuk tradisional menuju bentuk yang lebih rasional dan terorganisasi. Teknologi digital telah mempercepat proses rasionalisasi dalam hukum dan administrasi. Birokrasi digital, seperti penggunaan sistem manajemen kasus elektronik dan database online, telah meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam penegakan hukum.

transformasi digital - Dok. pribadi
transformasi digital - Dok. pribadi

 Weber membagi kekuasaan menjadi tiga bentuk, yaitu otoritas tradisional, otoritas rasional-legal, dan otoritas karismatik. Dalam masyarakat modern yang dipengaruhi oleh teknologi digital, otoritas rasional-legal sering menjadi lebih kuat. Hukum dan peraturan cenderung menjadi dasar kekuasaan dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan teknologi, seperti privasi online, keamanan siber, dan hukum internet. Weber juga menyoroti pentingnya hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat modern. Dalam era digital, hukum dan regulasi memainkan peran sentral dalam mengatasi masalah seperti kejahatan siber, perlindungan privasi, dan hak cipta digital. Perubahan dalam teknologi memerlukan perubahan dalam hukum untuk mencerminkan perubahan tersebut. Rasionalisasi dalam hukum digital dapat membawa pada depersonalisasi dalam penegakan hukum. Banyak proses hukum yang sekarang diotomatisasi melalui perangkat lunak dan algoritma, yang dapat mengurangi peran individu yang masih dianggap rentan dan masih belum ideal dalam pengambilan keputusan hukum. Konsep-konsep Weber tentang rasionalisasi, birokrasi, dan peran hukum dalam masyarakat modern masih relevan dalam memahami bagaimana masyarakat modern menanggapi dan beradaptasi dengan teknologi digital serta dampaknya terhadap hukum dan kebijakan.

Terakhir penulis menutup dengan pengingat, sebagaimana masyarakat digital terbentuk sebagai efek dari demokrasi, dengan mengutip kalimat, “..Democracy... is a charming form of government, full of variety and disorder; and dispensing a sort of equality to equals and unequals alike..” - Plato.

(IFA) - Referensi dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun