Mohon tunggu...
Iron Fajrul
Iron Fajrul Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara dan dosen

Pembaca dan pelintas semesta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cyberterritorial: Hambatan Penegakan Hukum Cybercrime

5 Juni 2023   00:54 Diperbarui: 5 Juni 2023   06:35 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Data Statistik Kerugian akibat Kejahatan Cyber

Saat ini manusia sangat terikat dengan internet. Internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, dan memiliki dampak yang besar pada cara kita berkomunikasi, bekerja, belajar, berinteraksi, dan mendapatkan informasi. Namun demikian terikatnya manusia dengan internet juga membawa tantangan dan risiko tertentu seperti keamanan online, privasi, dan ketergantungan yang berlebihan. Hukum mengatur dunia digital dimana juga memiliki implikasi yang signifikan pada dunia nyata. Dunia digital yang semakin maju dan terkoneksi erat dengan kehidupan kita sehari-hari telah memunculkan berbagai isu hukum yang perlu diatasi. Salah satunya ialah Kejahatan cyber, seperti serangan siber, pencurian identitas, dan penipuan online, merupakan ancaman serius dalam dunia digital.

Angka kerugian akibat kejahatan cyber di dunia secara keseluruhan sangat sulit untuk ditentukan secara pasti karena banyak kejahatan cyber tidak dilaporkan atau terdeteksi. Namun, beberapa laporan dan perkiraan telah mencoba untuk menggambarkan dampak ekonomi yang signifikan dari kejahatan cyber. Menurut laporan dari Cybersecurity Ventures, perkiraan kerugian akibat kejahatan cyber di seluruh dunia akan mencapai 6 triliun dolar pada tahun 2021.  Kemudian data terkini menyebutkan kerugian mencapai US$8,44 triliun atau sekitar Rp129.643 triliun (kurs Rp15.361/US$) pada 2022.  Dimana mencakup biaya pemulihan dari serangan, kerugian bisnis, hilangnya data, biaya keamanan tambahan, dan dampak lainnya.

Data Statistik Kerugian akibat Kejahatan Cyber
Data Statistik Kerugian akibat Kejahatan Cyber

Kemudian dari Data spesifik mengenai kerugian kejahatan cyber di Indonesia menurut Laporan Survei Kejahatan Siber Nasional yang diterbitkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Indonesia pada tahun 2019, kerugian akibat kejahatan siber di Indonesia mencapai sekitar 12 triliun rupiah pada tahun 2018. Ini termasuk kerugian finansial, kerugian reputasi, dan kerugian lainnya yang ditimbulkan dari serangan cyber. Penanganan cybercrime dalam sistem peradilan pidana oleh Bareskrim Polri menunjukkan kepolisian menindak 8.831 kasus kejahatan siber sejak 1 Januari hingga 22 Desember 2022.

Hingga saat ini kerugian akibat kejahatan cyber cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kompleksitas serangan dan penyebaran teknologi digital yang semakin luas. Sektor  bisnis dan pemerintah di seluruh dunia terus berupaya untuk meningkatkan keamanan cyber, meningkatkan kesadaran akan ancaman cyber, dan memperkuat kerangka kerja hukum untuk melindungi diri dari serangan dan meminimalkan kerugian.

Cybercrime, atau kejahatan cyber, merujuk pada kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer atau jaringan komunikasi elektronik. Ahli hukum memberikan berbagai definisi dan pandangan mengenai arti cybercrime, Menurut Prof. Yvonne Jewkes, seorang ahli kriminologi, cybercrime adalah "tindakan kriminal yang melibatkan penggunaan teknologi komputer sebagai alat, sasaran, atau tempat kejahatan.";  Menurut Ahli hukum pidana, Prof. Jonathan Clough, mengartikan cybercrime sebagai "tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer atau jaringan komunikasi elektronik."; kemudian menurut Prof. Susan W. Brenner, seorang ahli hukum pidana, menggambarkan cybercrime sebagai "kejahatan yang melibatkan penggunaan komputer atau jaringan komputer untuk melakukan tindakan ilegal."

Berikut ini beberapa contoh umum bentuk-bentuk cybercrime:

1. Serangan Siber (Cyber Attacks): Meliputi serangan seperti serangan DDoS (Distributed Denial of Service), serangan malware, serangan ransomware, serangan phishing, dan serangan peretasan (hacking) terhadap sistem komputer atau jaringan.

2. Pencurian Identitas (Identity Theft): Kejahatan ini melibatkan pengambilalihan identitas pribadi seseorang, termasuk informasi pribadi, data keuangan, atau data login, dengan tujuan untuk melakukan penipuan atau aktivitas ilegal lainnya.

3. Penipuan Online (Online Fraud): Ini mencakup penipuan melalui email, pesan teks, atau situs web palsu yang mengecoh orang untuk memberikan informasi pribadi, mengungkapkan data keuangan, atau mentransfer uang kepada penipu.

4. Pornografi Anak (Child Pornography): Menyebarkan, mengakses, atau memproduksi materi pornografi yang melibatkan anak-anak merupakan bentuk kejahatan serius di dunia cyber.

5. Cyberbullying: Ini melibatkan penggunaan teknologi komunikasi untuk melakukan pelecehan, ancaman, atau intimidasi secara online terhadap orang lain, seringkali melalui media sosial, pesan teks, atau platform obrolan.

6. Penipuan Kartu Kredit (Credit Card Fraud): Melibatkan penggunaan informasi kartu kredit yang dicuri atau diperoleh secara ilegal untuk melakukan pembelian atau transaksi yang tidak sah.

7. Kejahatan Keuangan Online (Online Financial Crimes): Meliputi pencurian data keuangan, pencurian rekening bank online, atau penipuan investasi melalui platform digital.

8. Pelanggaran Privasi dan Pencurian Data (Privacy Breaches and Data Theft): Ini termasuk peretasan atau pencurian data sensitif atau pribadi dari perusahaan, lembaga pemerintah, atau individu.

9. Pelanggaran Hak Cipta (Copyright Infringement): Melibatkan pelanggaran hak cipta seperti penyebaran atau pengunduhan ilegal konten terproteksi hak cipta seperti musik, film, atau perangkat lunak.

10. Penipuan Bitcoin dan Kriptokurensi (Bitcoin and Cryptocurrency Fraud): Kejahatan ini melibatkan penipuan dalam perdagangan, pertukaran, atau penggunaan mata uang kripto seperti Bitcoin dengan tujuan menipu atau mencuri aset digital.

Bentuk-bentuk cybercrime terus berkembang dengan munculnya ancaman baru seiring dengan kemajuan teknologi. Kemudian berdasarkan data statistik bahwa semakin tingginya angka kejahatan cyber yang dilakukan oleh pelaku di luar negara tempat kejadian perkara menjadi tantangan dalam penegakan hukum. Beberapa faktor yang menyebabkan fenomena ini termasuk bagaimana permasalahan Yurisdiksi yang melintasi batas Negara dimana Kejahatan cyber dapat dilakukan melalui jaringan internet yang melintasi batas negara. Hal ini menciptakan tantangan hukum dalam menentukan yurisdiksi yang berwenang menangani kasus tersebut.

Ketika berbicara tentang "cyberterritorial", istilah tersebut tidak memiliki definisi yang umum atau konsisten di kalangan ahli. Namun, istilah ini dapat diartikan sebagai gabungan antara konsep teritorial dan dunia cyber, yang mengacu pada perluasan atau penerapan prinsip teritorialitas dalam konteks kegiatan atau isu-isu yang terkait dengan dunia cyber.

Dalam konteks ini, "cyberterritorial" dapat mencerminkan upaya untuk menerapkan batasan atau kendali teritorial dalam lingkungan digital. Ini dapat melibatkan pengaturan hukum dan kebijakan untuk melindungi dan mengamankan wilayah atau infrastruktur digital negara, atau untuk mengklaim yurisdiksi atas tindakan atau entitas yang berhubungan dengan dunia cyber. Namun, penting untuk dicatat bahwa prinsip teritorialitas tradisional dalam konteks fisik tidak selalu mudah diterapkan dalam dunia cyber. Karena alam digital yang terhubung secara global, batasan fisik tidak lagi menjadi kendala yang sama seperti di dunia nyata. Oleh karena itu, pertanyaan dan tantangan muncul tentang bagaimana melacak, mengatur, dan menegakkan hukum dalam kegiatan atau tindakan yang melintasi batas territorial/yurisdiksi di dunia cyber.

Yurisdiksi adalah konsep dalam hukum yang mengacu pada kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh suatu badan atau lembaga hukum untuk membuat keputusan hukum atau mengatur perilaku individu dan entitas di dalam suatu wilayah tertentu. Ahli hukum memberikan berbagai pandangan mengenai arti yurisdiksi, di antaranya, menurut Ahli hukum Inggris, John Austin, mendefinisikan yurisdiksi sebagai "kekuasaan atau kapasitas yang dimiliki oleh seorang penguasa atau badan politik untuk mengatur perilaku masyarakat yang tergabung di dalam wilayahnya, serta kekuatan untuk memaksa kepatuhan terhadap peraturan yang telah ditetapkan"; menurut Albert Venn Dicey, menjelaskan bahwa yurisdiksi adalah "kekuasaan hukum untuk memberlakukan, mengatur, atau menegakkan hukum dalam wilayah tertentu"; kemudian menurut Ahli hukum internasional, Georg Schwarzenberger, mengartikan yurisdiksi sebagai "kemampuan suatu negara untuk membuat aturan hukum yang mengikat secara langsung atau tidak langsung pada individu, organisasi, atau negara lain di dalam atau di luar wilayahnya".

Secara umum, yurisdiksi dapat mencakup beberapa aspek, termasuk yurisdiksi hukum pidana (penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana), yurisdiksi hukum sipil (penyelesaian sengketa perdata), yurisdiksi administratif (pengaturan aktivitas administratif pemerintah), dan yurisdiksi internasional (hubungan antarnegara dalam konteks hukum internasional). 

Kelemahan penerapan yurisdiksi yaitu dapat tumpang tindih antara negara-negara dan sering kali melibatkan pertimbangan hukum internasional, prinsip ekstradisi, kerjasama hukum antarnegara, dan penyelesaian sengketa. Beberapa aspek yang terkait dengan penegakan hukum terhadap kejahatan cyber di luar negara, antara lain Yurisdiksi Ekstrateritorial, dimana Negara biasanya memiliki yurisdiksi teritorial, yang berarti hukumnya berlaku di wilayah negara tersebut. 

Namun, dalam beberapa kasus, negara dapat menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial untuk menegakkan hukum mereka terhadap kejahatan cyber di luar wilayah mereka. Ini bisa terjadi ketika kejahatan tersebut memiliki dampak signifikan terhadap kepentingan nasional atau warga negara mereka, atau jika ada perjanjian internasional atau hukum yang memungkinkan negara-negara untuk melakukannya; Kemudian adanya aspek perbedaan dalam Sistem Hukum, dimana upaya penegakan hukum terhadap kejahatan cyber di luar negara dapat rumit karena perbedaan dalam sistem hukum antar negara. Definisi kejahatan, proses penyelidikan, standar bukti, dan sanksi hukum dapat berbeda-beda. Negara-negara perlu mengatasi perbedaan ini dan mencari cara untuk menyesuaikan atau menyelaraskan hukum mereka untuk memungkinkan penegakan hukum yang efektif di tingkat internasional; dan yang tidak kalah penting adanya halangan teknis, yaitu  tantangan teknis yang melibatkan anonimitas online, penggunaan alat dan teknik yang canggih, dan server yang berlokasi di yurisdiksi yang sulit diakses. 

Daya Jangkau Dunia Cyber
Daya Jangkau Dunia Cyber

Dunia cyber memang tampak seperti wilayah yang tak tersentuh hukum, namun ternyata  terdapat juga batasan-batasan dalam dunia cyber:

1. Batasan Hukum: Hukum cyber mencakup kerangka hukum yang mengatur aktivitas dan perilaku di ruang digital. Batasan hukum dalam dunia cyber melibatkan undang-undang yang mengatur kejahatan komputer, privasi dan perlindungan data, kekayaan intelektual, hak cipta, siberkeamanan, dan isu-isu lain yang terkait dengan aktivitas digital. Batasan hukum ini ditetapkan oleh pemerintah dan otoritas yang berwenang dalam yurisdiksi tertentu.

2. Batasan Teknis: Batasan teknis mencakup pembatasan dan kontrol yang diterapkan pada tingkat infrastruktur teknologi. Ini bisa berupa kebijakan dan aturan yang membatasi akses ke situs web tertentu, filter konten, firewall, enkripsi, serta mekanisme keamanan lainnya. Batasan teknis juga dapat mencakup pembatasan kecepatan internet atau aksesibilitas geografis yang diberlakukan oleh penyedia layanan internet atau pemerintah.

3. Batasan Etika: Batasan etika mencakup norma-norma dan prinsip-prinsip yang mengatur perilaku manusia di dunia cyber. Ini termasuk etika penggunaan internet, seperti penggunaan yang bertanggung jawab, menghormati privasi orang lain, tidak menyebarluaskan informasi palsu atau merugikan, dan menjaga integritas dan keamanan sistem digital. Batasan etika juga dapat mencakup isu-isu seperti perundungan online, pelecehan, dan perilaku yang melanggar hak-hak individu dalam lingkungan digital.

Pemecahan masalah kejahatan cyber melalui pendekatan cyberterritorial di masa depan dengan menyadari adanya batasan-batasan aktifitas dunia cyber seperti hal di atas, memunculkan beberapa solusinya antara lain, adanya Kerja sama internasional yang lebih kuat, yaitu Negara-negara perlu meningkatkan kerja sama internasional dalam penegakan hukum cybercrime. Ini melibatkan pertukaran informasi yang efektif, pelatihan bersama, dan pembentukan kerangka kerja hukum yang saling mengakui untuk menangani pelaku kejahatan cyber yang melintasi batas negara. Penandatanganan dan implementasi perjanjian internasional yang relevan juga penting untuk memfasilitasi kerja sama yang efektif. Penting bagi negara-negara untuk bekerja sama, memperkuat kapasitas penegakan hukum mereka untuk mengatasi tantangan kejahatan cyber lintas batas. Organisasi internasional, seperti PBB dan organisasi regional seperti ASEAN, juga memiliki peran penting dalam mendorong kerja sama dan koordinasi dalam penegakan hukum.

Kemudian solusi yang tak kalah signifikan yaitu pengembangan hukum dan regulasi yang responsif, dimana Negara-negara perlu mengembangkan dan memperbarui hukum dan regulasi yang relevan untuk mengatasi ancaman kejahatan cyber. Hal ini meliputi pengenalan undang-undang yang jelas dan komprehensif mengenai cybercrime, pelaksanaan kebijakan perlindungan data, keamanan siber, dan privasi pengguna. Pengembangan hukum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi cyber juga penting untuk menghadapi tantangan baru yang muncul.

Selanjutnya adanya kesadaran pada Pemerintah suatu Negara untuk penyediaan sumber daya dan kapasitas yang memadai, yaitu Negara perlu mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk memperkuat kapasitas dalam penegakan hukum cybercrime. Ini melibatkan pelatihan dan pendidikan yang tepat bagi petugas penegak hukum, pengembangan laboratorium forensik digital yang canggih, dan investasi dalam teknologi dan infrastruktur keamanan cyber yang efektif. Peningkatan kapasitas ini akan memungkinkan negara untuk merespons dan menyelidiki kejahatan cyber dengan lebih efisien.

Selain itu, dimana Dunia Bisnis global berkaitan erat dan bergantung pada dengan jaringan digital, maka diperlukan kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta sangat penting dalam menghadapi kejahatan cyber. Kerja sama yang erat dengan penyedia layanan internet, perusahaan teknologi, dan industri terkait lainnya dapat membantu mendeteksi, melaporkan, dan merespons kejahatan cyber dengan lebih cepat. Pendekatan ini juga dapat mencakup pertukaran informasi ancaman, pelatihan bersama, dan upaya kolaboratif dalam melindungi infrastruktur dan jaringan yang krusial.

Dunia Cyber dan Budaya
Dunia Cyber dan Budaya

Solusi secara kultural juga diperlukan dengan cara peningkatan kesadaran dan tentang ancaman kejahatan cyber dan langkah-langkah perlindungan yang dapat diambil merupakan langkah penting dalam pencegahan. Kampanye kesadaran publik, pelatihan cybersecurity bagi pengguna akhir, dan pendidikan mengenai praktik keamanan digital dapat membantu mengurangi risiko kejahatan cyber dengan melibatkan dan memberdayakan masyarakat. Solusi tersebut diatas harus diterapkan bersamaan dengan pengembangan teknologi keamanan yang terus-menerus dan adaptasi terhadap perubahan dalam dunia cyber. 

Prediksi dan Sejarah runtuhnya peradaban dunia
Prediksi dan Sejarah runtuhnya peradaban dunia

Masa depan tanpa internet sepenuhnya sangat sulit untuk dibayangkan karena internet telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita saat ini. Internet telah mengubah cara kita berkomunikasi, bekerja, belajar, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Bahwa internet telah menjadi sarana penting untuk pertukaran informasi, kolaborasi global, pertumbuhan ekonomi, dan konektivitas sosial. Kehadirannya telah memberikan manfaat sekaligus kerugian secara negatif yang signifikan dan mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan kita. Meskipun ada situasi yang mungkin mengakibatkan ketiadaan sementara atau pengurangan akses internet, sulit untuk memprediksi masa depan tanpa internet secara menyeluruh dan berkelanjutan. 

Perkembangan dunia digital dan kompleksitas isu-isu yang terkait, terutama permasalahan hambatan penegakan hukum terhadap tindak kejahatan dengan kategori cybercrime, diperlukan suatu kolaborasi sistem hukum yang dibangun dari komitmen dan kesadaran bersama antar negara untuk menjadi suatu wujud pagar pembatas tindakan manusia di dunia cyber yang bernama cyberterritorial dengan tujuan perlindungan atas kerugian dari Warga Negaranya, tentunya hal tersebut membutuhkan upaya terus-menerus tiap negara dan pemerintahannya untuk memperbarui dan mengadaptasi hukum terhadap aktifitas dunia digital dengan membuat batasannya melalui aturan yang relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan terus menerus dimana bentuk kejahatan cyber yang terus berubah semakin canggih.

(IFA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun