Mohon tunggu...
Jaka Tarub
Jaka Tarub Mohon Tunggu... wiraswasta -

mahasiswa tingkat ahir STAIN Salatiga, masih belajar menulis, mencari jati diri. memulai menulis saat kuliah, beberapa tulisan di muat dalam beberapa antologi spt. bicaralah perempuan(leutika:2011) antologi CSB, antologi lagu opick inspirasiku, dan lukisan cinta nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiket Surga Untuknya

13 Juni 2012   15:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:01 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13396211242022396280

Awalnya, memang menjadi pertanyaan besar dalam hatiku, apa benar Allah menyediakan tiket surga bagi umat manusia? Lalu bagaimana bentuk tiket itu? Bagaimanapula cara mendapatkannya?

Namun semua itu benar-benar terjawab, ketika aku menjalani kuliah kerja nyata di wilayah Magelang, Jawa Tengah. Tepatnya di lereng gunung Merbabu.

Pagi itu, usai menjalani apel pagi dan rapat untuk memulai program KKN, aku dan sejumlah kawanku mengunjungi warga kampung untuk sekedar bertegur sapa dan mengenalkan diri, bahwa kami adalah mahasiswa yang menjalankan kuliah kerja nyata di kampung mereka. Lumayan jauh juga kami berjalan, maklum rumah Pak Kadus yang menjadi tempat tinggal kami sementara berada di ujung pedesaan. Jalan setapak penuh batu kami lewati untuk menjangkau perumahan warga yang terpisah dari perkampungan.

Tak terasa hampir 3 jam aku dan kawan-kawanku satu tim berkeliling kerumah warga. Ada yang menarik dari pengamatan kami selama perjalanaan, yaitu sikap warga yang ramah dan bersahabat, mereka benar-benar menghormati kedatangan kami sebagai guru sementara mereka. Sebab, program kami KKN adalah pemberantasan buta aksara.

Ketika kami hendak pulang, aku melihat sebuah rumah di pojok kampung dan berada di tengah sawah. Hanya ada jalan pematang sawah yang mengakses jalan ke rumah itu. Awalnya aku kira itu adalah gubuk tempat menyimpan peralatan untuk menggarap sawah, namun ketika aku melihat ada kepulan asap seperti orang memasak di dalam gubuk itu. Aku jadi yakin bahwa itu adalah rumah seorang warga. Tapi karena hari sudah mulai sore aku dan teman-teman terpaksa pulang takut kemalaman, karena sebagian penduduk belum menggunakan listrik sebagai penerang.

Esoknya aku mengusulkan untuk membagi tim kami menjadi dua kelompok. Satu kelompok menemui perangkat dusun, sebagian lagi mendata ke rumah warga yang aku lihat kemarin. Ketua timku menyetujuinya. Aku dan keempat temanku kemudian mendatangi rumah tersebut. Ketika kami melewati sawah-sawah warga, seorang petani memanggiku.

”Mas.. mas, mau kemana?”

”kami mau mendata warga yang tinggal disana, Pak” kataku seraya menunjuk rumah di tengah sawah itu

”Wah kalau bisa jangan, Mas...,” katanya dengan nada mengeluh.

”Kenapa, Pak?” tanyaku penasaran.

”Bagaimana, ya Mas, saya sungkan untuk menceritakannya.”

”Sungkan gimana, Pak?”

”Begini saja, kita bicarakan disana saja.” Petani itu mengajak kami untuk duduk di bawah pohon kapuk di pinggir sawah.

Petani yang bernama Pak Nafsi itu menjelaskan banyak hal kepada kami. Panjang lebar dan menggebu-gebu memperingatkan kami untuk tidak masuk ke rumah itu, dan dengan kesepakatan teman-teman, kami pun mengurungkan niat dan membahas lebih lanjut rencana kami mengunjungi rumah tersebut..

Saat rapat evaluasi harian yang kami lakukan bersama tim, aku sampaikan kejadian tadi siang.

”Benar, Mis, apa yang kamu katakan itu?” tanya ketua timku.

”Benar, Bos, teman-teman yang lain juga ikut mendengarkan” kataku.

”Lalu bagaimana? Apakah kita tetap mendatangi warga ini, atau kita anggap tidak ada?” tanya Lina sekretaris tim.

”Bagaimana kalau kita bicarakan ini dengan Pak Kadus?” Usul Dirman.

”Itu juga lebih baik, siapa tau ada solusi yang tepat.”

Paginya setelah sarapan kami membicarakan permasalahan yang kami hadapi,

”Saya sudah menduga akan muncul permasalahan ini. Begini saja, saya akan menceritakannya lebih detil biarlah nanti kalian nilai sendiri..”

Kami mendengarkan dengan serius apa yang Pak Kadus sampaikan. Beliau menceritakan dari awal apa yang sebenarnya terjadi.

”Namanya Maimunah, seorang janda dengan tiga anak yang ketiganya lahir prematurdengan jarak yang berdekatan. Dalam jarak lima tahun sudah memiliki lima anak, ini dikarenakan sang suami yang memang seorang preman di kampung ini, suka gonta-ganti pasangan dan menyia-nyiakan istrinya, mau menghamili tapi tidak mau menafkahi. Ketika hamil, Maimunah selalu disiksa oleh sang suami ketika tidak ada makanan atau uang di rumah.Alhasil, dalam keadaan hamil, Maimunah bekerja serabutan, mulai dari mengumpulkan daun untuk dijual di pasar atau menjadi buruh cangkul. Banyak orang yang mengasihani, namun mereka hanya diam karena takut kepada sang suami, Karjo namanya. Hal itu tidak dilakukannya hanya pada kehamilan yang pertama, namun pada ketiga-tiganya. Maimunah bukan seorang yang lemah, dalam keadaan seperti itu Maimunah tetap rajin beribadah dan berdoa tanpa kenal lelah, dengan harapan agar sang suami diberi kesadaran. Bukannya malah senang didoakan, Karjo malah semakin sering menyiksa Maimunah, hingga ketika anak yang ketiga akan lahir, ada kabar dari desa sebelah, bahwa Karjo ditembak mati oleh polisi karena melarikan diri saat ketahuan memperkosa warga desa sebelah. Syok dan sedih itu yang dialami oleh Maimunah.” Pak Dusun menghentikan ceritanya meminum kopi sejenak.

”Lalu kenapa ketiga anaknya mengalami kegilaan dan kenapa pula dia diasingkan dari warga, Pak?” tanyaku.

”Begini, Mas, awalnya tak ada yang menyanka bahwa ketiga anak Maimunah menderita kegilaan yang seperti itu. Saat itu ketika anak-anak Maimunah menginjak besar dan akan disekolahkan di Madrasah Ibtidaiyah, ketiga anaknya sering melakukan hal-hal yang diluar kendali, seperti bernyanyi sendiri, berbicara sendiri, bahkan suka memukul teman-temannya, ya.....ketiga anaknya, sampai warga berinisiatif untuk mengundang seorang dokter dari kota agar memeriksa kesehatan ketiga anaknya. Dan hasil pemeriksaan mengatakan bahwa ketiga anaknya mengalami gangguan kejiwaan yang akan semakin parah. Nah, dari situ warga mulai menjauhi mereka, karena kalau tidak dijauhi sering terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti anak yang paling dewasa, suka memakan tanah dan melempari rumah warga dengan batu, bahkan anak seorang warga pernah dicekik lehernya, untung ada warga yang mengetahui dan mengamankan si korban. Kalau saya katakan Maimunah memang seorang ibu yang bertanggungung jawab dan taat agama, seberat itu dia menjalani hidup, Maimunah tetap Maimunah yang dulu, shalat di mushala dan shalat malam tak pernah dia tinggalkan, walaupun warga membenci ketiga anaknya, namun kasih sayang yang diberikan Maimunah tetap sama, seperti ibu yang menyayangi anak-anak normal lainya bahkan lebih sayang, sampai-sampai seluruh waktunya digunakan unuk merawat ketiga anaknya tanpa kenal mengeluh.”

”Kenapa tidak dibawa ke RSJ, Pak?” potongku.

”Kebanyakan warga disini adalah warga yang kurang mampu apalagi maimnah, tak punya harta apapun untuk membiayai perawatan di rumah sakit jiwa. Maimunah pun lebih senang merawat ketiga anaknya sendiri.Dia mengatakan, bahwa apapun yang terjadi, dia akan merawat anaknya, karena itu adalah kunci surganya,” Pak Dusun menyulut sebatang rokok sebelum melanjukan ceritanya. Sementara masih ada banyak pertanyaan yang kami simpan dalam benak kami.

”Sampai suatu malam, sebagian warga berbondong-bondong tanpa sepengetahuan kadus,mendatangi rumah Maimunah dan hendak membakarnya, ini dikarenakan pagi harinya seekor sapi warga dilepaskan oleh salah satu dari ketiga anak Maimunah, ketika dia sedang bekerja di sawah, dan anak-anaknya bermain di kebun. Kejadian itu terjadi begitu cepat, ketiga anak Maimunah diamuk oleh warga. Mereka dipukuli dengan pentungan dan mencambuknya, rumah Maimunah habis terbakar, walaupun Maimunah dan keluarganya selamat, karena Maimunah masih terjaga dan menjalankan shalat malam, namun ketiga anak Maimunah menderita kelumpuhan permanen. Keesokan harinya atas inisiatif sebagian warga yang tidak tega melihat kondisi Maimunah, dibuatkanlah rumah diatas tanah bengkok kadus di tengah tengah sawah, seperti yang kalian lihat. Untuk mencukupi segala kebutuhannya, Maimunah menjual dedaunan yang dia dapatkan dihutan ke pasar kecamatan. Untuk pertanyaan kenapa Pak Nafsi melarang kalian untuk mengunjungi rumah tersebut, bukan karena pak Nafsi membenci Maimunah dan keluarganya, ini didasarkan dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Ketika dinas kesehatan mendatangi Maimunah untuk memeriksa kesehatan anak-anaknya. Tiba-tiba ketiga anaknya mengamuk dan melukai petugas dinas kesehatan itu. Nah, sekarang kalian bisa menilai sendiri, apa yang harus kalian laukan. Bapak tidak melarang kalian untuk berkunjung kesana, namun Bapak pesan hati-hati dan jaga diri kalian baik baik,.”

Argumen demi agumen kami siapkan diskusikan untuk mencari solusi, apakah kami mengunjungi rumah Bu Maimunah atau tidak, dan akhirnya keputusan diambil, kami berinisiatif tidak mengunjunginya, ini dikarenakan demi keselamatan kami yang hanya beberapa minggu berada didesa itu, lagipula program yang kami emban begitu banyak..

Hari demi hari kami lalui dengan segala aktifitas yang begitu padatnya, sehingga kami tak sempat untuk memikirkan hal tentang ibu Maimunah dan keluarganya. Sampai suatu malam, aku dan beberapa temanku tidak bisa tidur, kami sepakat untuk jalan-jalan mengelililngi desa, sekedar untuk menikmati malam hari di desa yang asri tempat kami KKN. Dengan sebuah senter berukuran besar aku, Rio, Lina dan Fahru berjalan-jalan. Suasana yang sepi, hanya ada beberapa orang warga duduk-duduk di pos kamling, mengobrol dan menimati musik campur sari.

Kami berjalan sambil bersenda gurau. Tak terasa kami ternyata sudah jauh berjalan, dan sampailah kami di jalan setapak menuju persawahan tempat bu Maimunah tinggal.

”Mis, kayaknya kita sudah jauh berjalan deh..” kata Rio memperingatkan kami.

”Iya juga ya, pulang yuk,” Lina ketakutan.

Belum sempat aku dan teman-temanku beralih arah, aku sempat mendengar suara perempuan. Suaranya sayup-sayup seperti tangisan. Namun setelah aku dan yang lain mendengarkan dengan seksama, suara itu adalah suara seorang perempuan membaca al-qur’an. Dibalik rasa ketakutan yang menghinggapi diri kami, ada perasaan penasaran begitu besar. Suara itu tidak lain adalah dari gubuk milik Bu Maimunah, apakah benar itu suara bu Maimunah yang sedang melantunan ayat-ayat al-Qur’an?

”Misbah, bagaimana?” tanya Fahru, memberi isyarat untuk memeriksanya. Aku mengangguk.

”Rio, kamu ajak Lina pulang, aku dan Misbah akan ke rumah Bu Maimunah” perintah Fahru pada Rio. Kami khawatir apabila nanti terjadi apa-apa pada Lina, pasalnya dia adalah perempuan seorang diri.

”Tidak, aku ikut kalian,” bantah Lina yang juga memilki rasa penasaran yang sama.

”Baiklah, kalau begitu.. kita periksa bersama-sama.”

Akhirnya kami berempat sepakat untuk melihatnya. Tangan kami bergandengan melewati pematang sawah, suasana gelap tanpa ada cahaya dari manapun, hanya ada cahaya lampu teplok dari dalam gubuk Bu Maimunah yang tak seberapa terang.

Suara Bu Maimunah begitu jelas melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an, suaranya parau seperti menahan tangis dan sesak dari dalam dada. Aku dan ketiga temanku kini dekat sekali dengan dinding rumah bu Maimunah, dengan tanda komando aku mendekatkan telinga di dinding rumah terbuat dari anyaman bambu itu. Surat Luqman dibacanya dengan jelas, aku intip dari sela-sela anyaman bambu itu. Betapa terkejutnya aku, saat melihat suasana dalam rumah Ibu Maimunah. Dengan sebuah cahaya lampu teplok, Bu Maimunah menerangi al-Qur’an yang dibacanya, ketiga anaknya tidur di sekitar beliau. Tangannya mengelus ketiga anaknya bergantian, seperti memberikan ketenangan dan kenyamanan dalam tidur mereka. Seorang tidur berbantalkan paha sebelah kanan, seorang lagi berbantalkan paha sebelah kiri, dan seorang lagi dibelakang sang ibu. Namun tangannya erat menggenggam mukena sang ibu.

Dari setiap nada baca yang Bu Maimunah suarakan, aku bisa menilainya, ada ketegaran dibalik cobaan hidup yang beliau hadapi dengan kesabaran dan keikhlasan. Selama satu jam aku dan ketiga kawanku terdiam di sebelah gubuk Bu Maimunah, sebelum akhirnya kami meninggalkan gubuk itu dengan tafsiran kami masing-masing.

Beberapa langkah kami menjauh dari rumah itu terdengar doa yang begitu jelas ditelingaku, doa dari bu Maimunah.

”Ya Allah, jadikanlah kesabaran dan keikhlasan ini sebagai kunciku untuk meraih surgaMu, dan jadikanlah ketiga anakku ini, anak yang sholih di akhiratMu kelak.”

Merinding aku mendengar doa yang Bu Maimunah ucapkan. Aku tak pernah mendengar doa seperti itu sebelumnya, doa yang begitu tajam, doa yang kuat dari seorang hamba yang sabar dan ikhlas dalam menjalani ujian hidup.

Masa KKN telah usai. Aku dan timku berpamitan kepada seluruh warga kampung. Disela-sela acara penutupan yang sengaja kami adakan dibalai dusun (karena dusun kami adalah dusun yang jauh dari desa lain), kami menyampaikan ucapan maaf dan ucapan terima kasih kepada seluruh warga dengan diwakili Pak Kadus. Sesaat sebelum kami meninggalkan dusun itu, aku menitipkan bingkisan secara pribadi kepada Pak Kadus untuk Bu Maimuah.

”Maaf, Pak, saya tidak tahu harus melakukan apa, sehingga hati saya lega meninggalkan dusun ini, karena masih ada satu keluarga yang belum kami sentuh. Jujur saya dan kawan-kawan benar-benar gagal dalam menjalankan program ini, tapi dengan bingkisan yang kami titipkan untuk Bu Maimunah ini, kami berharap akan bisa mengurangi perasaan bersalah kami terhadap Bu Maimunah dan keluarga.” Pak Kadus memahami apa yang aku rasakan, dan beliau berjanji akan segera memberikan bingkisan itu.

Dalam kepulanganku, aku selalu bertanya dalam benakku, ”Dimana letak keadilan Allah, seorang hamba yang sudah berusaha dan berdoa tapi tidak segera diberikan jalan keluar malah semakin ditambah beban hidupnya.” Ya, Bu Maimunah, seorang janda memiliki tiga anak yang kesemuanya menderita penyakit kejiwaan dan kelumpuhan, bahkan diasingkan dari warga kampungnya.

Dengan segera pertanyaan itu aku singkirkan dengan pertanyaanku sebelum datang ketempat ini, tentang tiket surga yang dijanjikan oleh Allah.. mungkin ini jawaban yang Allah berikan kepadaku. Jawaban yang jelas tersirat dari pengalamanku KKN di kampung ini.

Hidup di dunia hanya ujian, siapa yang tabah dan kuat dalam menjalani hidup yang hanya sementara, dialah yang akan benar-benar mendapatkan tiket surga itu. Di dunia mungkin tak satupun kebahagiaan yang Bu Maimunah dapatkan, namun Allah sudah menyiapkan surga yang begitu nikmat dan luas untuk beliau.. Wallahu a’lam.......

Allah berfirman:

“Artinya : Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.

(Al-Baqarah : 177).

~~**~~

ilustration from http://pelukissenja.wordpress.com/2012/01/13/tangan-ibu-yang-gemetar/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun