Beberapa bulan belakangan ini orang banyak disuguhi berita “perseteruan” antara dua kubu para cendikia. Saya tidak pernah membayangkan orang pintar sekelas itu berseturu.
Jujur saja sesungguhnya saya tidak paham apa yang menjadi persoalan dasar sampai berujung kepada pemecatan seorang anggotanya dan dilanjutkan dengan pembentukan organisasai baru yang kurang lebih sejenis. Saya pun tidak berkehendak membahas soal dua organisasi orang pintar tersebut. Maklumlah, saya cuma seorang “emak-emak” yang urusannya tidak jauh dari urusan domestik sehingga ilmunya tidak sampai kepada hal yang “berat-berat.”
Berdasarkan pengamatan saya yang “amatiran”, para cendikia atau orang pintar memiliki keyakinan yang mendalam dalam bidang ilmunya masing-masing dan paham yang dianutnya.
Keyakinan dan pembenaran tersebut bukan tanpa alasan karena dibangun, dipelihara dan diteliti bertahun-tahun dengan metodologi yang sangat ilmiah. Maka tanpa sengaja kepatuhan dan keyakinan atas ilmu yang diyakini berkembang menjadi “arogansi keilmuan”.
Jika sikap arogansi "keakuan"tersebut dipelihara, sengaja atau tanpa sengaja, maka bisa jadi akan menimbulkan kebuntuan dalam berpikir. Padahal ilmu dan pengetahuan tidak pernah berhenti, diam atau stagnan.
Ia dinamis dan sejatinya alam pun menyimpan lebih banyak lagi kekuatan yang belum tentu bisa dikendalikan oleh orang pintar di muka bumi ini. Artinya, tidak ada seorangpun yang pantas menyombongkan diri karena “masih ada langit di atas langit”.
Menurut berbagai sumber arogansi keilmuan adalah keadaan merasa lebih tinggi, lebih berguna, lebih bermanfaat dibandingkan dengan ilmu atau paham yang lain.
Padahal, bukankah perkembangan ilmu dan pengetahuan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia dan seluruh isi alam raya. Lagi pula tidak ada satu pun ilmu dan pengetahuan yang tidak saling berkait satu sama lain. Pasti saling beririsan karena hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya bahkan terikat pula dengan moral dan etika. Oleh karena itu tidak boleh menjadi bumerang bagi pemiliknya.
Manusia memang berbeda dengan makhluk lain di jagat raya ini, manusia dilengkapi dengan rasa “keakuan” atau ego yang sejatinya harus digunakan untuk menjalankan “tugasnya” di bumi ini.
Tanpa rasa “keakuaan” mustahil bagi manusia untuk mencapai tujuan baik. Tetapi mengedepankan keakuan bisa mengakibatkan kehancuran. Maka moral dan etika yang menjadi pengendalinya agar mampu menekan derajat keakuan sehingga tidak menimbulkan arogansi, kepongahan atau kejumawaan yang berlebihan.
Walaupun mungkin agak sulit, saya kerap membayangkan betapa tinggi dan luas jangkauan gaung kemaslahatannya jika para cerdik cendikia, kaum intelek, orang pintar, ilmuwan bersatu dalam berkarya untuk umat. Bisa jadi, langit menjadi sangat sibuk mencatat kebajikan para cerdik pandai di bumi. Maka tinggalkanlah “keakuaan” untuk mendapat kunci jalan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H