Perlu lebih dari dua kali dua puluh empat jam untuk menata perasaan marah terhadap manusia yang tampak bermartabat ternyata "memakan" uang bansos bagi masyarakat yang sedang terpuruk.
Korupsi memang sudah menjadi penyakit masyarakat kelas tertentu. Penyakit Masyarakat ini berbeda dengan penyakit masyarakat pada umumnya, seperti prostitusi, miras, narkoba, perjudian. "Penyakit Masyarakat" yang disebut sebelumnya hanya ada pada kalangan tertentu: berpendidikan, kaya secara materi, memiliki jabatan atau pengambil keputusan.
Mendengar petinggi negara mengorupsi uang yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah sosial atau musibah saja sudah membuat masyarakat tidak bahagia. Apalagi jika yang dikorupsi uang bantuan sosial dalam rangka penanggulangan bencana, dalam hal ini Covid-19. Maka tidak heran jika mereka dipandang sebagai orang yang tidak memiliki "hati"
Sungguh sebuah nestapa bagi rakyat. Di kala masyarakat "jungkir balik" mencari dan mengais hanya untuk sesuap nasi, sementara itu pejabat yang paling bertanggungjawab mencuri kesempatan dengan merampok uang bantuan tersebut untuk memenuhi hasrat ketamakannya. Ironis.
Hukuman apa yang pantas bagi penjahat kelas berat seperti ini. Hukuman matikah?
Jika diamati, para pelaku korupsi tampaknya tidak bermasalah menghabiskan waktu beberapa tahun di penjara, mereka tetap bisa hidup nyaman karena masih mampu membeli layanan dipenjara. Â Anak, istri tetap bisa hidup lebih dari cukup dengan uang yang tidak jelas sumbernya. Selesai menjalani masa hukuman, mereka langsung berkiprah kembali dan tetap hidup mewah seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Beberapa bulan lalu Ketua KPK sempat menyampaikan soal tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran penanganan pandemi Covid-19. Ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi para koruptor tampaknya tidak takut mati karena semua orang pasti  akan mati.
Penerapan hukuman mati bagi para koruptor pasti akan menimbulkan pro dan kontra walaupun sudah diatur dalam Undang-undang. Alasannya tentu saja melanggar HAM. Tapi bukankah merampok uang bantuan sosial lebih melanggar  Hak Azazi?
Koruptor lebih takut hidup miskin karena sebagian besar para koruptor sudah serba berkecukupan tetapi tetap mengorupsi uang rakyat "corruption by greed". Â Maka, gandakan saja hukumannya, hukuman mati atau seumur hidup dikombinasikan dengan pemiskinan serta sanksi sosial berat agar tidak ada lagi regenerasi koruptor.
Kepada para pelaku korupsi tidak perlu bicara soal hati nurani dan moral karena tidak akan ada gunanya. Tindakan korupsi jelas merupakan tindakan yang tidak memiliki hati, empati, dan moral serta rasa welas asih. Hati nurani merupakan suara Tuhan yang muncul dari dalam hati manusia yang mungkin saja sudah hilang dari hati para koruptor karena mereka meletakkan "dunia" di hati bukan di tangan.
Semoga saja semua peraturan dan ucapan para pejabat berwenang terhadap gerakan antikorupsi dan hukuman bagi para koruptor bukan hanya sebatas narasi indah penghibur rakyat.
Selamat Hari Antikorupsi 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H