Mohon tunggu...
Irna Gayatri
Irna Gayatri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang penulis bebas yang suka bepergian dan menghirup udara segar. Saya suka memperhatikan pola perilaku masyarakat, tapi saya bukan sosiolog. Hanya pengamat yang ingin menjadi ulung.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masalah Bias Gender dalam Cerpen “Pemetik Air Mata” karya Agus Noor

2 September 2013   01:13 Diperbarui: 4 April 2017   16:19 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Persoalan mengenai peran antara laki-laki dan perempuan seringkali banyak menimbulkan masalah. Berawal dari persoalan peran tersebut, akhirnya muncullah masalah bias gender. Dalam hal ini, masalah bias gender yang tercatat lebih banyak dialami oleh perempuan. Menurut Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial (1997:7—16), seks atau jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah, seperti perempuan yang memiliki ovum, vagina, dan payudara serta laki-laki yang memiliki jakun dan sperma. Berbeda dengan seks, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya konsep yang berkembang dalam masyarakat bahwa sifat perempuan itu lemah lembut, cantik, dan emosional, sedangkan sifat laki-laki itu kuat, rasional, dan perkasa. Padahal sifat-sifat itu sendiri dapat dipertukarkan.

Perbedaan gender yang terjadi pada perempuan dan laki-laki sebenarnya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dan bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran agama maupun negara. Menurut Mansour Fakih, perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang terjadi saat ini perbedaan gender melahirkan ketidakadilan gender yang dialami oleh masyarakat, terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat terwujud dalam lima hal, yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotip, beban ganda, dan kekerasan.

Masalah bias gender atau ketidakadilan gender ini ternyata tidak hanya terjadi di dalam masyarakat, tetapi juga muncul di dalam karya sastra. Dalam cerpen “Pemetik Air Mata” karya Agus Noor, tokoh Mama dan Sandra juga mengalami masalah bias gender, yaitu beban ganda, stereotipe, dan subordinasi. Sebelum berangkat lebih jauh, cerpen “Pemetik Air Mata” ini merupakan kelanjutan bebas yang dibuat Agus Noor berdasarkan cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma. Baik dalam “Pelajaran Mengarang” maupun “Pemetik Air Mata”, yang dikisahkan adalah Sandra dan Mamanya. Hanya, dalam “Pelajaran Mengarang”, masa kecil Sandra yang dikisahkan, sedangkan, dalam “Pemetik Air Mata” yang dikisahkan adalah Sandra yang sudah dewasa.

Yang digambarkan dalam cerpen “Pemetik Air Mata” adalah sosok perempuan yang kuat dan tegar, baik itu Mama, maupun Sandra. Sandra adalah anak yang hidup tanpa seorang ayah dan ibunya pun menyuruhnya terbiasa dengan keadaan itu. Dalam hal ini, Mama dan Sandra tidak mengalami subordinasi karena justru tokoh Mama dan Sandra bertahan hidup tanpa seorang laki-laki yang merupakan ayah dari Sandra.

Ada stereotip yang mengatakan bahwa perempuan lebih sering menangis. Ini juga terdapat dalam cerpen “Pemetik Air Mata”, dapat dilihat dalam kutipan berikut,“Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul”. Selain itu, dalam “Pemetik Air Mata” juga terdapat masalah bias gender lain, yaitu beban ganda. Mama dalam cerpen ini menjadi ibu sekaligus ayah bagi anaknya, Sandra. Mama membesarkan Sandra tanpa seorang ayah sehingga Mama harus merawat Sandra sekaligus mencari nafkah supaya Sandra bisa sekolah.

Selain itu, Sandra juga mengalami beban ganda. Sandra adalah istri simpanan sehingga dia harus selalu mengatakan bahwa “Papa sibuk” ketika anaknya, Bita, menanyakan “Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”. Beban ganda yang dialami Sandra dapat terlihat dalam kutipan berikut.

Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti, laki-laki itu memang menginginkannya malam ini….

Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ‘Papamu sibuk…’ setiap kali Bita bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut?

Dalam kutipan di atas, muncul beban ganda yang dialami Sandra. Sandra bagi suaminya hanya sebagai pemuas keinginan seksual. Namun, Sandra juga harus mengurus Bita untuk mengantar sekolah, jalan-jalan, dan lainnya. Suaminya hanya datang dan pergi memberi uang., sementara, seharusnya, tugas menjaga anak juga merupakan tugas seorang ayah.

Hal menarik yang saya temukan dalam “Pemetik Air Mata” adalah bahwa stereotip dan beban ganda yang dialami tokoh Mama dan Sandra muncul karena tidak ada tokoh laki-laki di sini. Tokoh laki-laki di sini hanya muncul sebagai pelengkap kehidupan Sandra dan Mama. Bahkan, dalam masa kecil Sandra, tidak ada tokoh laki-laki yang digambarkan selain yang tidur di atas ranjang dan mendengkur keras. Tokoh laki-laki dalam cerpen ini boleh dikatakan telah dibunuh. Oleh karena itu, yang muncul adalah tokoh perempuan yang kuat, dapat hidup tanpa laki-laki, dan mengalami beban ganda, yaitu Sandra dan Mama. Akan tetapi, tetap saja tokoh perempuan dalam cerpen ini digambarkan sering menangis. Mama sering menangis diam-diam, begitu juga Sandra.

Stereotip bahwa perempuan lebih sering menangis muncul dalam cerpen inidan cukup menonjol karena banyak terjadi pengulangan kata menangis dan air mata, terutama dalam judulnya. Namun, tokoh perempuan yang lebih dominan muncul adalah tokoh perempuan yang dapat menjalani hidup tanpa seorang laki-laki. Hal ini khususnya terlihat dalam tokoh Mama yang digambarkan melalui penceritaan Sandra. Tokoh Sandra justru masih bergantung pada suaminya yang hanya datang utnuk bertemu selama beberapa jam saja dan tidak mau mengurus anaknya. Sandra hanya menjadi pemuas nafsunya dan Sandra senang akan hal itu. Dalam hal ini, ternyata Sandra dan Mama memiliki kesamaan sifat juga, yaitu Sandra dan Mama sama-sama hanya menjadi pemuas nafsu laki-laki asalkan dapat hidup lebih baik dengan uang yang didapatnya dari laki-laki itu. Karena mereka sudah dibayar utnuk itu, mereka tidak dapat menolak hal-hal yang sudah disepakati, seperti urusan mengurus anak adalah urusan mereka perempuan. Ini agaknya juga merupakan bagian dari subordinasi karena perempuan merasa dirinya rendah sehingga akan menuruti segala kemauan lelaki.

Sumber

Fakih, Mansour. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kumpulan Cerpen Kompas. “Pemetik Air Mata” oleh Agus Noor. http://www.cerpenkompas.wordpress.com/tag/agus-noor/. (11 Oktober 2009)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun