Sebetulnya terminologi farmakogenomik sudah ada sejak tahun 2000an. Dikutip dari Report of an International Group Experts WHO tahun 2007 yang bertajuk "The Ethical, Legal and Social Implications of Pharmacogenomics in Developing Countries", farmakogenomik adalah penerapan teknologi genomik dalam proses penemuan dan pengembangan obat. Tahun 1959, Vogel pertama kali menyebutkan istilah "farmakogenetik" (pharmacogenetics) dalam menggambarkan penggunaan analisis genetik untuk memprediksi respon obat, efficacy (khasiat) dan toksisitas.
Walaupun kedua istilah ini terkesan memiliki arti yang mirip, beberapa pihak justru berpendapat bahwa keduanya memiliki arti yang berbeda. Dimana lingkup farmakogenetik dianggap hanya mempelajari gen tunggal dan hubungannya dengan pengobatan. Sementara lingkup farmakogenomik lebih luas yang mencakup DNA, RNA, protein, dan hubungannya dengan penemuan dan pengembangan obat.
Farmakogenomik & Pengobatan Presisi (Precision Medicine)
Jika sudah melibatkan DNA, seharusnya setiap orang akan memiliki respon yang lebih spesifik terhadap obat tertentu. Dengan kata lain, respon tubuh seseorang terhadap suatu obat yang sama, belum tentu sama dengan yang lainnya. Misal, seorang pasien membutuhkan dosis Amitriptilin (antidepresan) yang lebih besar dibandingkan lainnya karena profil gen CYP2D6 dan CYP2C19 yang mempengaruhi metabolisme Amitriptilin dalam tubuh.
Semakin cepat tubuh memetabolisme Amitriptilin, maka semakin besar dosis yang dibutuhkan untuk mencapai kadar yang cukup dalam tubuh sehingga dapat memberikan efek yang diinginkan. Sebaliknya, jika semakin lambat kemampuan tubuh memetabolisme Amitriptilin, semakin kecil pula dosis yang diperlukan untuk mencegah toksisitas akibat penumpukan obat.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya :
1. Reseptor Obat
Untuk dapat bekerja, obat perlu berikatan dengan reseptor (protein yang terdapat dalam permukaan sel). DNA kita akan menentukan tipe dan jumlah reseptor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat. Jika tubuh tidak memiliki tipe reseptor yang sesuai atau jumlah reseptor yang cukup untuk dapat berikatan dengan obat tertentu, maka khasiat obat yang diinginkan akan terhambat atau bahkan tidak tercapai.
2. Ambilan Obat (Drug Uptake)
Selain berikatan dengan reseptor, obat juga perlu dibawa ke sel atau jaringan target untuk dapat bekerja. DNA akan menentukan apakah sel tubuh kita mampu mengambil (uptake) obat tertentu atau tidak. Jika ambilan berkurang, maka efek obat yang diinginkan tidak akan tercapai.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!