Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Urgensi Ilmu Distribusi Obat dalam Pendidikan Profesi Apoteker Indonesia

22 April 2024   07:00 Diperbarui: 23 April 2024   05:32 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : dokumentasi pribadi

Belakangan ini saya memiliki tambahan pekerjaan di kantor, yakni memberikan pendampingan kepada mahasiswa/i calon apoteker yang sedang menjalani Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di masa-masa akhir pendidikan profesi apoteker mereka. Tujuan PKPA ini adalah supaya calon-calon apoteker tersebut memperoleh pengalaman langsung di lapangan mengenai praktik kefarmasian di dunia kerja. 

PKPA umumnya diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu di beberapa tempat/sarana. Misalnya sarana/fasilitas produksi (Industri Farmasi), fasilitas distribusi (Pedagang Besar Farmasi/PBF), fasilitas pelayanan kefarmasian (Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Apotek, Toko Obat, Klinik), dan lembaga pemerintahan (Kementerian Kesehatan, Badan POM, dan Balai POM).

Kebetulan tempat saya bekerja termasuk dalam fasilitas distribusi, jadi saya punya tanggung jawab untuk memberikan pengalaman riil mengenai operasional distribusi di PBF kepada para calon apoteker tersebut. Namun sungguh disayangkan, ketika saya tanya mengenai apa yang mereka ketahui tentang distribusi obat? Tidak ada satupun yang bisa menjawab dengan lugas.

Ternyata oh ternyata, mereka tidak memperoleh sesi atau mata kuliah terkait distribusi obat di kampus. Padahal nyatanya, pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik telah diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) pertama kali sejak tahun 2003, dan telah diperbaharui pada tahun 2012, dan terakhir tahun 2020.

Kurikulum Program Studi Apoteker

Saya lulus dan disumpah sebagai apoteker sekitar 11 tahun yang lalu (duh sudah lama juga ya ternyata) dan saat itu saya juga tidak mendapat kuliah khusus terkait distribusi obat. Memang di masa saat saya kuliah, prinsip CDOB belum diterapkan secara mandatory (wajib) oleh sarana distribusi obat, sehingga bisa jadi ilmu distribusi obat belum masuk dalam kurikulum pendidikan apoteker karena dianggap standar dan implementasinya belum baku.

Sumber : Dokumentasi pribadi
Sumber : Dokumentasi pribadi

Namun pada awal 2020, Badan POM telah mewajibkan sertifikasi CDOB kepada sarana distribusi obat (Pedagang Besar Farmasi/PBF) sebagai persyaratan dasar operasional PBF. Saya berasumsi bahwa pada saat inilah pedoman sistem mutu distribusi obat telah settle diatur oleh BPOM RI karena memang bidang distribusi obat tidak kalah krusialnya dibanding bidang produksi obat.

Berdasarkan hasil penelusuran saya ke laman-laman universitas yang memiliki program studi profesi apoteker (PSPA), mata kuliah wajib masih seputar farmasi industri, farmasi klinis, manajemen perapotekan, compounding & dispensing, farmakoterapi, perundang-undangan dan etika profesi. Hanya ada beberapa universitas yang memasukkan bidang distribusi farmasi ke dalam kurikulumnya. Itupun lebih banyak ke mata kuliah pilihan.

Herannya, sebagian besar universitas sudah memasukkan PBF sebagai lokasi PKPA wajib. Akibatnya ketika calon-calon apoteker tersebut praktik kerja di PBF, mereka tidak memiliki dasar teori yang memadai di bidang distribusi. Akibatnya, seringkali mereka tidak paham apa yang harus dikerjakan atau 'dicari'. Padahal tujuan PKPA adalah supaya calon apoteker dapat mengamati dan mengalami langsung seperti apa penerapan teori dalam dunia kerja yang sebenarnya.

Sumber : dokumentasi pribadi
Sumber : dokumentasi pribadi

Mengapa Ilmu Distribusi Obat Sangat Penting?

Menurut Pedoman Teknis CDOB tahun 2020, definisi CDOB adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. Esensi dari pengelolaan distribusi obat dan/atau bahan obat ada dua :

1. Bagaimana fasilitas distribusi dapat mempertahankan integritas dan mutu obat/bahan obat yang dihasilkan industri farmasi tetap stabil hingga sampai ke tangan pelanggan/pasien.

2. Bagaimana fasilitas distribusi dapat menjaga jalur distribusi atau rantai pasoknya dari masuknya obat ilegal, dengan memastikan pengadaannya berasal dari sarana yang yang terjamin dan menyalurkannya ke pelanggan yang berwenang.

Dua hal ini dapat dicapai dengan memastikan implementasi 12 aspek yang telah ditetapkan dalam standar CDOB dengan konsisten. Sarana distribusi harus memiliki sistem mutu yang mumpuni untuk mencegah penyimpangan selama proses distribusi. Mulai dari proses pengadaan, penerimaan, penyimpanan, penyaluran bahan obat/obat hingga sampai ke tangan pelanggan/pasien.

Masalahnya dalam konteks distribusi, banyak sekali titik kritisnya. Baik dalam proses internal (penerimaan dan penyimpanan), maupun proses eksternal / rantai pasoknya (pengadaan dan penyaluran) karena melibatkan tiga atau lebih entitas perusahaan (bahkan lintas negara). 

Dengan demikian, proses distribusi obat/bahan obat boleh dibilang sangat rentan terjadinya penyimpangan. Apalagi secara kuantitas, jumlah barang yang disalurkan adalah partai besar. Berbeda dengan proses produksi, dimana kontrol pada setiap titik kritisnya masih lebih mudah untuk dijamin karena sebagian besar prosesnya berada dalam satu entitas perusahaan.

Bicara tentang PBF, ada dua kategori PBF di Indonesia berdasarkan komoditas yang disalurkannya yakni PBF Obat dan Bahan Obat. Merujuk pada data Direktorat Pengawasan Distribusi Obat BPOM RI, ada sekitar 130an PBF Bahan Obat dan 2400an PBF obat. 

Obat merujuk pada produk jadi yang siap diserahkan langsung ke pasien, sementara bahan obat merujuk pada bahan baku obat (zat aktif maupun zat tambahan) yang akan digunakan untuk produksi obat. Ini berarti, pelaku usaha di bidang distribusi obat cukup besar. Keduanya sama-sama mengadopsi CDOB sebagai standar mutu, namun demikian penerapannya tentu sedikit berbeda. Misal dalam aspek kualifikasi/seleksi pemasok dan pelanggan, penanganan komplain, recall, dan lainnya.

Saya tidak akan menjabarkan hal-hal yang berbau teknis dalam artikel ini. Tapi saya ingin menekankan bahwa pengelolaan distribusi obat/bahan obat bukan hanya sekadar oper-operan barang, apalagi yang disalurkan ini adalah obat yang merupakan komoditas berisiko tinggi bagi kesehatan jika tidak ditangani dengan benar.

Sumber : dokumentasi pribadi
Sumber : dokumentasi pribadi

Apabila fasilitas distribusi tidak mengkualifikasi pemasoknya atau tidak melakukan inspeksi saat proses penerimaan, barang yang tidak memenuhi syarat mutu atau bahkan barang palsu bisa saja lolos. Jika fasilitas tidak concern dengan kondisi penyimpanan, bisa saja obat/bahan menjadi rusak. 

Jika fasilitas distribusi tidak melakukan kualifikasi pelanggan, bisa saja obat/bahan obat tersalurkan kepada sarana yang tidak berhak. Sebagai contoh, adanya temuan produk obat bahan alam (obat tradisional) atau kosmetik yang mengandung bahan kimia obat (BKO) beredar di pasaran. Dan masih banyak titik kritis lainnya.

Semuanya ini tentunya tidak lepas dari peran seorang apoteker sebagai penanggung jawab fasilitas. Jadi apa saja tugas dan tanggung jawab seorang apoteker dalam proses pengelolaan distribusi obat/bahan obat?

Peran Apoteker dalam Proses Distribusi Obat dan Bahan Obat

Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apoteker dapat menjadi penanggung jawab di fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian. Masing-masing memiliki fokus tanggung jawab yang berbeda.

Namun sayangnya saya melihat calon-calon apoteker Indonesia masih kurang dibekali ilmu mengenai CDOB serta tugas dan tanggung jawab apoteker dalam pengelolaan distribusi obat/bahan obat. Akibatnya boleh dibilang kedudukan profesi apoteker dalam perusahaan yang bergerak dalam bidang distribusi obat/bahan obat seringkali tidak kuat.

Padahal apoteker berperan pada hampir seluruh proses bisnis. Secara struktur organisasi pun, apoteker penanggung jawab harus berada di bawah langsung pimpinan perusahaan. Posisi seorang apoteker penanggung jawab juga harus independen dan tidak boleh terpengaruh oleh pihak lain jika berkaitan dengan pemenuhan mutu dan keamanan obat/bahan obat.

Ada 12 tanggung jawab apoteker sebagai penanggung jawab fasilitas distribusi, diantaranya :

1. Menyusun, memastikan, dan mempertahankan penerapan sistem manajemen mutu (Quality Management System);

2. Fokus pada pengelolaan kegiatan yang menjadi kewenangannya;

3. Melakukan kualifikasi pemasok dan pelanggan;

4. Berperan dalam perjanjian kontrak;

5. Memastikan pemenuhan persyaratan obat/bahan obat;

6. Mengawasai penanganan keluhan pelanggan;

7. Meluluskan obat/bahan obat kembalian untuk dikembalikan ke stok;

8. Turut serta dalam pengambilan keputusan karantina atau pemusnahan obat/bahan obat;

9. Mengkoordinir kegiatan penarikan obat;

10. Mengelola program pelatihan personil yang terkait dalam kegiatan distribusi;

11. Memastikan inspeksi diri dijalankan;

12. Mendelegasikan tugasnya kepada apoteker/tenaga teknis kefarmasian jika berhalangan

Sebelum disahkan sebagai apoteker, calon apoteker akan diambil sumpahnya dimana apoteker kelak akan diminta untuk membaktikan hidupnya untuk kepentingan perikemanusiaan dalam bidang kesehatan dan menjalankan tugasnya sesuai martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. 

Dan sesuai kode etik apoteker, bahwa seorang apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.

Jadi sudah seharusnya calon-calon apoteker mendapat pembekalan yang memadai mengenai standar CDOB dan peran apoteker dalam proses pengelolaan distribusi obat/bahan obat. Bisa dibayangkan betapa bingungnya para calon apoteker tersebut ketika mereka harus menjalani PKPA di fasilitas distribusi sementara mereka tidak memperoleh dasar teori yang cukup soal CDOB?

Semoga ini bisa menjadi perhatian khusus bagi Ditjen Dikti, universitas, organisasi profesi, dan stakeholder lainnya, sebagai suatu bentuk improvement dalam pendidikan profesi apoteker. Harapannya tentu supaya kompetensi apoteker-apoteker Indonesia semakin meningkat, mampu memahami dan mengamalkan sumpah serta kode etik profesi, serta memiliki daya saing baik dalam skala nasional maupun internasional.

Tanya obat, tanya apoteker! Cherio!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun