Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Konten Edukasi Kesehatan Melalui Video Pendek atau Infografis vs Artikel Populer

20 November 2023   18:52 Diperbarui: 21 November 2023   09:01 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konten kesehatan | shutterstock via kompas.com

Saya pernah menerima pertanyaan, "Lo kan doyan nulis ya. Kenapa nggak bikin konten lo dalam bentuk video pendek juga? Kan lebih menarik tuh daripada harus baca tulisan panjang-panjang. Jadi poinnya langsung dapet. Orang-orang sekarang kan lebih suka lihat infografis atau video di medsos."

Di lain kesempatan, saya pernah membaca komentar salah seorang netizen pada salah satu konten edukasi yang jelas-jelas pada caption-nya sudah mencantumkan referensi konten. 

"Mending dibikin video part 2 deh. Orang-orang sekarang mah males baca." Maksudnya agar isi konten tersebut diperjelas kembali melalui video lainnya.

Jujur makin lama saya merasa agak heran dengan komentar-komentar semacam itu. Apa iya orang-orang kita ini sebegitu malasnya membaca? Apakah sebegitu daruratnya budaya membaca masyarakat Indonesia? Sampai-sampai kebanyakan orang lebih tertarik menonton konten berupa video pendek/infografis daripada membaca artikel atau buku yang notabene uraiannya lebih lengkap, detail, dan komprehensif.

Memang sih kalau saya perhatikan, konten yang sifatnya informatif di media sosial kini banyak berupa infografis atau video pendek. Hal ini tidak lepas dari media-media online yang juga memiliki akun media sosial. Banyak orang yang justru meng-update insight-nya melalui media sosial, bukannya langsung dari laman resmi media online atau bahkan dari media cetak.

Selain itu ada banyak juga educator/profesional yang dengan masing-masing keahliannya, juga memberikan konten edukasi melalui akun media sosialnya berupa video pendek/infografis. Tujuannya tentu agar para netizen yang menontonnya lebih notice dan memahami poin-poin singkat yang mereka sampaikan.

Konten Edukasi Kesehatan melalui Video Pendek/Infografis vs Artikel Populer

Promosi kesehatan kini lebih menekankan prinsip preventif (pencegahan) dibanding kuratif (pengobatan). Apalagi sejak masa-masa pandemi Covid-19 lalu. Oleh sebab itu konten-konten bertema kesehatan juga cukup populer di kalangan masyarakat, karena kesadaran mereka terhadap pemeliharaan kesehatan juga meningkat.

Sebelumnya konten edukasi bertema kesehatan terkesan 'berat' karena umumnya disajikan dalam bentuk tulisan panjang dan tidak banyak profesional kesehatan yang bisa menjangkau masyarakat dengan begitu dekatnya. Tapi kini dengan adanya media sosial, para profesional kesehatan jauh lebih mudah dalam menjangkau masyarakat saat memberikan edukasi, apalagi jika berupa audiovisual yang sudah pasti lebih menarik perhatian.

Konten Video vs Artikel (Sumber ilustrasi: oneims.com)
Konten Video vs Artikel (Sumber ilustrasi: oneims.com)

Bila dibandingkan dengan artikel populer, ada beberapa hal yang menjadi sisi positif dan negatif dari konten edukasi berupa video pendek/infografis antara lain:

1. Lebih menarik perhatian namun membutuhkan effort lebih dalam pembuatannya

Konten berupa video/infografis pastinya lebih menarik secara visual dan pastimya lebih mudah untuk diingat, dibandingkan konten berupa artikel yang isinya mostly berupa tulisan. 

Kreativitas para content creator saat ini saya akui memang luar biasa dan patut diacungi jempol. Hal ini tentunya didukung dengan berbagai teknologi yang mumpuni mulai dari berbagai macam jenis gadget dan perlengkapannya yang semakin kesini semakin canggih dan praktis serta mudah diakses. Ditambah lagi dengan berbagai macam aplikasi dan software yang memudahkan para content creator dalam membuat karyanya. 

Maka tidak heran konten berupa video/infografis jauh lebih menarik perhatian dibandingkan konten berupa tulisan/artikel populer (meskipun disertai ilustrasi berupa gambar).

Namun demikian, konten berupa video/infografis jelas membutuhkan effort lebih banyak terutama saat penyusunan konsep hingga editing, dibandingkan konten berupa tulisan.

2. Ilustrasi lebih mengena namun tidak dapat memberikan angle yang lebih banyak.

Saat membaca, biasanya orang akan berimajinasi atau timbul ilustrasi dalam pikirannya untuk menerjemahkan tulisan-tulisan yang dibacanya. Dan tentunya imajinasi/ilustrasi ini belum tentu sama dengan orang lain saat membaca tulisan yang sama. 

Jika konten yang dibuat bertujuan untuk mengedukasi orang lain, tentu hasil yang diinginkan adalah agar orang lain memiliki pemahaman yang sama. 

Oleh sebab itu, content creator yang membuat konten berupa tulisan/artikel populer juga harus berhati-hati dalam menyusun kalimat-kalimatnya supaya mudah dipahami namun tidak menimbulkan mispersepsi.

Namun jika konten tersebut berupa video, sudah pasti akan memberikan ilustrasi dan pemahaman yang lebih mengena dan seragam bagi para netizen yang menontonnya, sehingga informasi yang ingin diberikan akan lebih tersampaikan dengan baik.

Meskipun ada ungkapan 'A picture is worth a thousand words', namun jika dalam konteks edukasi, satu video/ilustrasi belum tentu mampu menggambarkan informasi yang lengkap dan komprehensif. Beda halnya dengan konten berupa tulisan yang bisa mengangkat pembahasan dari berbagai sisi.

3. To the point namun informasinya tidak komprehensif

Namanya juga video pendek, tentu durasi kontennya tidak lama. Oleh sebab itu, konten edukasi berupa video pendek harus dibuat singkat, padat, dan jelas agar pesannya sampai kepada netizen. Oleh sebab itu isinya seringkali berupa poin-poin yang menjadi pokok permasalahan / informasi. Namun sayangnya, hal ini tidak jarang membuat para netizen menjadi gagal fokus atau bahkan misunderstanding karena isinya tidak lengkap dan komprehensif seperti halnya artikel populer.

Apalagi level pendidikan dan maturity netizen tidak seluruhnya sama. Ada yang dengan bijak ikut membaca referensi sumber yang disertakan, ada juga yang mengartikannya dengan sepotong-sepotong dan menimbulkan mispersepsi.

Lebih parahnya lagi jika netizen tidak bijak dalam memilah sumber konten tersebut apakah berasal dari profesional yang ahli dibidangnya atau tidak, lalu dengan sembarangan mem-posting ulang dan akhirnya menjadi penyebaran hoax. Tentunya hal ini akan semakin berisiko jika informasinya berkaitan dengan kesehatan.

Membuat Konten Edukasi Kesehatan di Media Sosial

Meskipun saat ini ada banyak sekali platform media sosial, saya pribadi saat ini hanya punya dua akun media sosial dimana hanya satu akun yang masih saya maintain secara berkala.

Kesibukan pekerjaan yang kebetulan juga tidak berhubungan dengan media sosial, tidak memungkinkan saya untuk selalu update di media sosial. Lagipula saya pribadi tidak termasuk golongan FOMO yang setiap saat selalu update di media sosial. Bagi saya (setidaknya sampai saat ini) media sosial hanya untuk hiburan semata.

Jadi menjawab pertanyaan tadi, "Kenapa saya juga tidak membuat konten edukasi kesehatan di media sosial?"

Well, sesekali memang saya membagikan tautan artikel yang saya tulis melalui media sosial. Terima kasih kepada Kompasiana, karena kebetulan sekali Kompasiana menyediakan fitur sharing artikel yang menurut saya cukup praktis untuk mengakomodir penulis-penulis yang ingin membagikan artikelnya di media sosial. Tapi saya memang sengaja tidak membuat konten edukasi khusus untuk ditayangkan di media sosial. Mengapa?

Alasan utama saya adalah bahwa konten edukasi yang saya tulis di Kompasiana masih belum bisa terwakilkan secara maksimal jika dibuat berupa video pendek/infografis. Apalagi sesuai profesi saya sebagai apoteker, konten edukasi yang saya buat tidak jauh-jauh dari tema kesehatan dan obat-obatan. Tidak mudah membuat konten edukasi kesehatan berupa video pendek atau infografis karena menurut saya berpotensi disalahartikan oleh orang yang menontonnya.

Saya jadi ingat pada salah satu dokter yang cukup terkenal karena beberapa seri buku yang diterbitkannya. Sejak baca buku beliau, saya pun menjadi followers akun media sosial dokter tersebut. Awal-awalnya ia selalu membagikan konten edukasi sesuai dengan keahliannya yang menurut saya sangat bermanfaat dan insightful. Gayanya dalam menyampaikan konten edukasinya juga sangat menarik perhatian dan mudah dimengerti.

Namun belakangan, beliau tidak lagi membagikan konten edukasinya melalui media sosial. Ternyata alasannya karena ada banyak sekali netizen yang 'sok lebih tahu' dan memberikan komentar-komentar yang mematahkan penjelasan pada konten beliau. Tentunya komentar tersebut hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan tidak berbasis bukti ilmiah (evidence-based).

Akibatnya edukasi yang ingin ia bagaikan jadi tidak tersampaikan karena followers-nya terdistraksi dengan komentar-komentar netizen yang sok tahu tadi.  Bahkan ada juga pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja mencomot kontennya tanpa izin untuk mengiklankan produk-produk yang dijual, padahal tidak ada korelasinya sama sekali.

Saya mengapresiasi content creator di luar sana yang dengan kreatif membuat konten edukasi berupa video pendek/infografis karena tentunya hal itu tidak mudah, apalagi jika bertema kesehatan.

Well, untuk hal-hal tertentu saya memang termasuk anti-mainstream. Orang lain boleh mengatakan saya kuno, gaptek, tidak ikut tren, dan lain sebagainya. Tapi saat ini saya belum berminat untuk membuat konten edukasi kesehatan dalam bentuk video pendek/infografis di media sosial karena (sorry to say) saya masih mempertimbangkan budaya & maturity netizen Indonesia saat bermedia sosial.

Semoga pembaca sekalian masih berkenan menikmati tulisan-tulisan saya di Kompasiana ya. Cherio!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun