Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Meraih Kembali Kepercayaan Publik terhadap Produk Sirup Obat

28 Maret 2023   07:42 Diperbarui: 5 April 2023   08:54 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, seorang teman bertanya di grup chat. “Guys jadi sekarang tuh udah aman belum sih minum obat sirup? Anak gue udah tiga hari rewel gara-gara badannya anget. Gue kasih puyer tapi susah bener deh minumnya.”

Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) yang sempat heboh pada kuartal 4 tahun 2022 lalu, seakan-akan meninggalkan kekhawatiran yang traumatis bagi masyarakat, khususnya kaum ibu yang memiliki anak kecil. Ratusan anak menjadi korban karena kandungan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol pada produk sirup obat yang melebihi batas aman.

Gara-gara kasus ini pula, Kementerian Kesehatan sempat melarang penggunaan seluruh sirup obat sebagai bentuk tindakan kehati-hatian.

Akibatnya sudah pasti menimbulkan kegaduhan dan kebingungan di kalangan produsen obat, distributor obat, fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas, serta fasilitas pelayanan kefarmasian seperti apotek dan toko obat. Tak hanya itu, para tenaga kesehatan juga kebingungan karena dilarang untuk meresepkan sirup obat.

Setelah itu BPOM sebagai otoritas yang berwenang langsung melakukan penelusuran, investigasi, dan pengujian terhadap seluruh produk sirup obat yang diproduksi oleh seluruh industri farmasi di Indonesia. Secara bertahap, BPOM juga merilis daftar sirup obat yang dinyatakan aman dari kandungan EG/DEG yang melebihi batas aman.

Meski saat ini kasus GGAPA bisa dibilang sudah tertangani, namun nyatanya banyak masyarakat yang masih meragukan keamanan sirup obat. Tidak sedikit pula yang masih takut membeli sirup obat di apotek atau toko obat.

Kebetulan sekali pada tanggal 21 Maret 2023 lalu, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) mengadakan dialog interaktif mengenai sirup obat dengan mengundang para stakeholder mulai dari Kementerian Kesehatan, BPOM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), akademisi, hingga influencer dan blogger.

Tujuannya tak lain tak bukan adalah untuk meraih kembali kepercayaan publik terhadap produk sirup obat, dengan memberikan penjelasan secara komprehensif mengenai keamanan, khasiat, dan mutu sirup obat.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Ada empat jenis bahan tambahan obat yang menjadi sorotan dalam kasus ini yakni Polietilen Glikol (PEG), Propilen Glikol (PG), Sorbitol, dan Gliserin dimana keempat bahan ini paling sering digunakan sebagai pelarut dalam produk sirup obat.

Sebagai informasi, lingkup penggunaan keempat bahan ini rupanya sangat luas. Selain sebagai bahan tambahan obat, keempat bahan ini juga digunakan pada produk kosmetik/skincare (pelembab kulit, serum, body lotion, dll), produk Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga/PKRT (sabun, pasta gigi, obat kumur, dll), produk makanan (bumbu, saus, dll), hingga pelarut pada perisa rokok elektrik.

Kalau sebagai pelarut, kenapa tidak menggunakan air saja supaya lebih aman?

Perlu dipahami bahwa tidak semua bahan obat dapat larut dalam air. Ada beberapa jenis bahan obat yang baru bisa larut dalam pelarut golongan alkohol seperti Gliserin dan Sorbitol, dimana kedua pelarut ini juga cocok digunakan dalam produk sirup obat karena rasanya manis.

Sementara itu, PEG & PG juga sering digunakan dalam formulasi obat sebagai co-solvent (untuk meningkatkan kelarutan obat), stabilizer, humektan, dan pengawet (antimikroba).

Masalahnya adalah, keempat bahan tambahan ini dipastikan hampir tidak ada yang seratus persen murni. Ada cemaran (impurities) berupa Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), dimana hasil metabolitnya yang berupa Asam Oksalat yang bersifat nefrotoksik (toksik pada ginjal). Namun demikian, bukan berarti juga keempat bahan ini berbahaya.

Untuk dapat digunakan pada produk yang dikonsumsi manusia, ada persyaratan ambang batas aman cemaran EG/DEG yang harus dipenuhi. Dan persyaratan ini tercantum pada Farmakope, yakni buku standar yang diterbitkan oleh badan resmi pemerintah berisi persyaratan mutu dan metode analisa bahan obat. Seluruh bahan obat yang digunakan dalam produksi obat harus memenuhi ketentuan dalam farmakope ini.

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

Jika pembaca sekalian mengikuti pemberitaan di media, hasil investigasi menyeluruh pada kasus GGAPA ini menunjukkan bahwa adanya indikasi pemalsuan barang yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, yakni pendistribusian pelarut Propilen Glikol yang mengandung EG/DEG melebihi ambang batas aman.

Harus diakui bahwa memang ada kelalaian dalam proses rantai pasok bahan obat, produksi obat, maupun celah dalam regulasi yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku. Saya tidak akan mengulang detailnya karena sudah banyak penjelasan dan klarifikasi yang beredar di media.

Obat sebagai High-Regulated Product

Saya sepakat bahwa obat sejatinya adalah racun. Namun obat dapat bermanfaat bagi kesehatan jika digunakan dengan benar dengan dosis yang tepat. Itulah mengapa, obat adalah produk yang memiliki regulasi paling ketat (high regulated product) supaya keamanan (safety), khasiat (efficacy), dan mutunya (quality) terjamin sebelum sampai ke tangan pasien sebagai end user.

Sebagai gambaran, berikut proses yang harus dilalui obat untuk bisa sampai ke tangan pasien:

1. Penelitian dan penemuan obat baru

Seperti yang sudah pernah saya singgung sebelumnya, penemuan obat baru harus melalui proses yang panjang. Dan untuk menjamin keamanan dan khasiatnya, obat baru harus terlebih dahulu melewati Uji Preklinik dan Uji Klinik.

Uji Preklinik dilakukan terhadap hewan coba untuk mengevaluasi keamanan obat, sedangkan Uji Klinik dilakukan terhadap sukarelawan sehat dan sakit yang terdiri dari 4 fase, untuk mengevaluasi efikasi/khasiat obat.

Jika berhasil lulus seluruh tahap-tahap tadi, barulah obat baru tersebut dapat dipatenkan untuk digunakan sebagai pengobatan.

Baca juga : Jalan Panjang Penemuan Obat Baru

2. Pembuatan bahan baku obat

Dalam proses produksi obat, tentunya dibutuhkan bahan baku obat. Bahan baku ini terdiri dari bahan aktif obat dan bahan tambahan obat yang harus dibuat di fasilitas produksi berstandar GMP (Good Manufacturing Practice) dan diuji sesuai standar Farmakope.

3. Pendistribusian bahan baku obat

Boleh dibilang 90% bahan baku obat yang digunakan untuk produksi obat di Indonesia masih diadakan melalui importasi. Meski demikian, proses pengadaan (importasi) bahan baku obat hingga penyalurannya ke industri farmasi di Indonesia, diatur secara ketat oleh Kementerian Kesehatan dan BPOM.

Sarana yang diperbolehkan untuk mengimpor dan mendistribusikan bahan obat hanya sarana-sarana tertentu yang harus memiliki izin dari Kementerian Kesehatan dan tersertifikasi Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) oleh BPOM.

Tentu ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh sertifikasi ini, seperti fasilitas penyimpanan yang sesuai hingga SOP yang mumpuni. Tujuannya tak lain untuk memastikan bahwa bahan obat dikelola (pengadaan, penyimpanan, dan penyalurannya) dengan baik, sehingga keaslian dan mutu bahan obat dapat dipertahankan hingga sampai di tangan Industri Farmasi, serta menjamin ketertelusuran rantai pasok untuk meminimalisir penyalahgunaan.

4. Produksi obat jadi

Setelah bahan obat sampai di Industri Farmasi, bahan obat tersebut harus diolah sesuai standar CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) hingga menjadi produk yang siap dikonsumsi pasien.

Proses produksi ini juga termasuk proses quality control (QC) dan quality assurance (QA) yang ketat untuk meluluskan suatu produk. Pelaksanaan pengujiannya pun harus dilakukan dalam laboratorium yang menerapkan standar Good Laboratory Practice (GLP).

5. Registrasi Obat

Sebelum beredar, suatu produk obat harus terlebih dahulu didaftarkan pada otoritas pengawas obat yang berwenang. Di Indonesia otoritas terkait adalah BPOM.

Produsen obat harus menyerahkan semua dokumen yang berkaitan dengan keamanan, khasiat, dan mutu produk sesuai format ASEAN Common Technical Dossier (ACTD) untuk dievaluasi oleh para expert.

Proses ini disebut juga sebagai tahap pengawasan pre-market. Setelah memperoleh Nomor Izin Edar, barulah produk obat dapat diedarkan kepada masyarakat.

6. Pendistribusian obat jadi

Kurang lebih sama dengan poin 3 tadi, proses pendistribusian obat jadi termasuk sarana distribusinya juga diatur secara ketat dalam peraturan perundang-undangan.

Mulai dari pengadaan, penyimpanan, hingga pendistribusiannya. Hal ini bertujuan untuk menjamin keamanan rantai pasok sehingga obat tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak berwenang, serta menjamin mutu obat tetap baik hingga sampai di fasilitas pelayanan kefarmasian seperti apotek & toko obat.

7. Penggunaan oleh pasien

Setelah obat sampai di tangan pasien pun, masih ada aturan yang harus diketahui & dipatuhi pasien, yaitu cara penggunaan, cara penyimpanan, hingga cara membuang obat yang baik dan benar.

Meraih Kembali Kepercayaan Publik terhadap Sirup Obat

Dari uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa seluruh proses termasuk sarana produksi & distribusi obat telah diatur sedemikian rupa supaya keamanannya terjamin dan bermanfaat bagi manusia. Baik itu sediaan injeksi, tablet, topikal, termasuk sirup obat, dan lainnya.

Namun perlu diingat dan dimaklumi juga bahwa peraturan, pedoman, serta buku standar yang telah disusun sedemikian rupa, bukan berarti sudah 100% sempurna. Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab bisa menemukan celah yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata.

Kejadian GGAPA pada anak-anak kemarin memang merupakan peristiwa yang sangat memilukan. Saat pasien berharap sembuh dengan minum obat, tapi nyawa malah melayang. Saya ingat bulan November 2022 lalu Majalah Tempo mengangkat judul "Obat Pencabut Nyawa" pada sampulnya, terkait isu GGAPA yang disebabkan produk sirup obat. Jujur saja, sebagai apoteker saya merasa miris karena image profesi farmasis sebagai ahli obat jadi tercoreng di mata masyarakat.

Namun harus diakui bahwa kejadian ini juga memberi hikmah bagi para seluruh farmasis yang terlibat di seluruh proses life cycle obat-obatan, untuk kembali berbenah agar kejadian yang sama tidak terulang di masa depan.

Meraih kembali kepercayaan publik terhadap keamanan, khasiat, dan mutu obat (terutama sirup obat) mungkin bukan hal yang mudah. Tapi percayalah bahwa sama seperti sediaan obat lainnya, sirup obat aman dikonsumsi selama digunakan sesuai petunjuk penggunaan.

Sebagai informasi, Badan POM juga telah menerbitkan Buku Saku Jilid III berisi Daftar Sirup Obat yang Aman Digunakan Sepanjang Sesuai Aturan Pakai.

Semoga tulisan ini bisa membantu masyarakat untuk kembali yakin dalam menggunakan sirup obat, terutama untuk anak-anak.

Tanya obat, tanya apoteker.

Referensi:

Kajian Risiko EG/DEG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun