Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pro-Kontra Luxury Brand: Gengsi atau Investasi, Jangan Kesampingkan Empati

23 Januari 2023   07:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   19:20 2238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang terkadang mulutnya netizen ini suka bikin gemas ya. Bayangkan, hanya dengan satu komentar saja, suatu konten bisa langsung viral dan dibahas di seantero jagat maya. 

Hal inilah yang terjadi pada salah satu konten Tiktok milik Zoe Gabriel (@zohtaco) beberapa waktu yang lalu, ketika ia menunjukkan rasa bahagianya saat melakukan unboxing tas merek Charles & Keith. Pembaca sekalian yang doyan nge-mall pasti tidak asing dengan brand tas dan sepatu wanita asal Singapura ini, karena gerainya hampir selalu nongol di mal-mal Jakarta.

Dalam unggahannya, remaja putri yang tinggal Singapura itu menyematkan tulisan 'my first luxury bag'. Tapi tak disangka unggahannya justru mengundang komentar bernada negatif dari netizen.

"Not a really a luxury bran actually...unlike Lv, ysl, or Celine.. but not bad of quality tho," tulis seorang netizen.

Netizen lainnya juga menambahkan, "Who's gonna tell her?"

Yah, saya pribadi setuju dengan komentar netizen tersebut bahwa Charles and Keith memang bukan termasuk brand yang sejajar dengan Louis Vuitton, Gucci, apalagi Hermes. Tapi kalau saya mau positive thinking, mungkin netizen tersebut hanya ingin memberitahu. Tapi di sisi lain, menurut saya kata 'luxury' cukup subjektif, tergantung sudut pandangnya dari siapa. Jadi sebetulnya kurang tepat juga memberi komentar seperti itu.

Oleh sebab itu video klarifikasi selanjutnya yang diunggah oleh Zoe juga patut dihargai. Dalam video tersebut ia menyatakan bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga berada. 

Bagi orang lain yang berkecukupan mungkin tidak menganggap tas Charles and Keith sebagai tas mewah. Tapi bagi Zoe tas seharga 80an SGD atau hampir satu juta rupiah, adalah barang yang tergolong mewah. Apalagi ayahnya perlu bekerja keras untuk bisa membelikannya tas tersebut. Hmmm.. ternyata ada kisah sendiri dibaliknya.

Pengalaman Pribadi dengan Brand Charles & Keith

Mirip kisah Zoe yang viral ini, saya langsung teringat pengalaman pribadi saya sekitar tahun 2004-2005, dimana saya juga pernah sangat menginginkan tas Charles & Keith ini.

Tahun itu saya duduk di bangku SMA dan dibandingkan dengan teman-teman saya kebanyakan, saya akui kemampuan ekonomi keluarga saya saat itu biasa-biasa saja. Jadi saya pun tidak bisa dengan mudah membeli setiap barang yang saya inginkan seperti yang teman-teman saya lakukan.

Brand Charles & Keith saat itu baru mulai populer. Teman-teman saya mulai banyak yang membeli (atau lebih tepatnya dibelikan orangtuanya) tas tersebut. Kebetulan sekali, lokasi sekolah saya saat itu juga beseberangan dengan sebuah mal dimana gerai CK dibuka.

Jadi kalau saya dan teman-teman menghabiskan waktu sambil menunggu mobil antar-jemput tiba, kami suka makan es krim sambil window shopping ke gerai CK.

Saya ingat betul ada satu tas yang betul-betul saya inginkan dari gerai tersebut. Tapi karena harganya sangat mahal dan tergolong mewah untuk ukuran saya saat itu, mau tak mau saya harus menabung selama beberapa bulan. Demi mencukupkan tabungan, saya bahkan rela mengurangi jatah makan di sekolah. Dan setiap kali ada kesempatan, saya selalu mengecek ke gerai tersebut apakah stok tas yang saya incar masih ada.

Pada akhirnya ketika tabungan sudah mencukupi, saya pun berhasil membeli tas yang saya impikan. Rasanya luar biasa puas. Meski akhirnya tas tersebut rusak karena saking sayangnya, tas tersebut jarang saya pakai dan kondisi penyimpanan yang salah. Hahah! Lucu juga kalau diingat-ingat.

Piramida hierarki brand mewah menurut Edward Rambourg (Sumber: Dok. The Bling Dynasty: Why the Reign of Chinese Luxury Shoppers Has Only Just Begun)
Piramida hierarki brand mewah menurut Edward Rambourg (Sumber: Dok. The Bling Dynasty: Why the Reign of Chinese Luxury Shoppers Has Only Just Begun)

Pyramid of Luxury Brands

Meski level 'luxury' itu subjektif bagi setiap orang, sebetulnya ada tidak sih ukuran mewah atau tidaknya suatu barang? 

Hasil kekepoan saya berselancar di dunia maya, ternyata ada loh hierarki dalam industri fesyen mewah. Erwan Rambourg dalam buku yang ditulisnya berjudul "The Bling Dynasty: Why the Reign of Chinese Luxury Shoppers has Only Just Begun", membuat piramida brand-brand mewah yang ada di dunia.

Jadi selain harga, ketersediaan barang juga menentukan level mewahnya. Semakin langka atau limited edition suatu barang, maka semakin mewahlah dia.

Piramida tersebut membagi hierarki fesyen mewah menjadi 7 kelas. Mulai dari yang terendah sebagai Everyday Luxury, lalu berikutnya Affordable Luxury, Accessible Core, Premium Core, Superpremium, Ultra High End, hingga yang paling mewah adalah Bespoke.

Everyday Luxury adalah kelas brand mewah dengan harga kurang dari 100 USD atau setara Rp 1.5 juta, seperti parfum desainer, kopi Starbucks, bir/wine impor, dan lainnya. Barang-barang ini tersedia dimana-mana dan selalu mudah ditemukan. Macam gerai minuman hits yang konon selalu mengambil lapak kosong itu deh. Hihihi..

Affordable Luxury adalah kelas brand mewah dengan harga antara 100-300 USD atau setara Rp 4.6 juta, seperti Coach, Tiffany Silver, dan lainnya.

Untuk brand mewah kelas Accessible Core membanderol harga berkisar 300-1,500 USD, seperti Montblanc, Gucci, Louis Vuitton, Prada, Tissot, dan lainnya.

Sedangkan kelas Premium Core dibanderol berkisar 1,500-5,000 USD dimana beberapa brand yang termasuk didalamnya seperti Rolex, Berluti, Hermes, Cartier, Bulgari, Omega, Tag Heuer, dan lainnya.

Untuk kelas Superpremium dengan kisaran harga 5,000-50,000 USD ditempati merek-merek seperti Bottega Veneta, Patek Philippe, Harry Winston, Van Cleef & Arpels, Breguet, dan lainnya.

Lebih mewah lagi ada kelas Ultra High End dengan kisaran harga di atas 50,000 USD seperti brand perhiasan dari Leviev dan Graff.

Kalian menganggap kelas Ultra High End sebagai yang paling mahal? Jangan khawatir, di posisi puncak masih ada kelas Bespoke. Barang mewah yang termasuk dalam kelas Bespoke sudah tidak lagi dikategorikan berdasarkan harganya karena nilainya bisa sangat tinggi dan hanya dibuat apabila dipesan lebih dulu (by request).

Dikutip dari businessinsider.com, barang-barang Bespoke adalah segmen tanpa batas dimana semua impian (dan harga) yang paling gila bisa jadi kenyataan. Maka tak heran mereka yang membeli produk kategori Bespoke adalah golongan 'old money' atau bangsawan kaya raya selama beberapa generasi.

Berdasarkan hierarki ini, pembaca sekalian sudah tahu dong brand Charles and Keith yang sempat viral belakangan ada di kelas mana? Dan tentunya kopi syantiek yang sering kalian minum tiap minggu itu?

Baca juga: Seberapa Penting Barang Branded Untukmu?

Gengsi vs Investasi, Jangan Kesampingkan Empati

Sebagian orang menyukai, bahkan mengoleksi, barang mewah untuk meningkatkan rasa percaya diri dan memperoleh pengakuan status sosial alias gengsi. Pokoknya kalau nggak branded nggak keren. Mereka yang menganut paham ini umumnya lebih konsumtif dalam menggunakan uangnya. Bahkan ada juga yang sudah tahu kemampuan ekonominya terbatas, tapi maksa tampil luxury demi gengsi. Ckckck..

Tapi ada juga loh yang memang menyukai barang mewah untuk tujuan investasi karena umumnya kualitas menentukan harga. Biasanya sih, mereka yang seperti ini memang sudah memahami  jenis dan kualitas barang yang dibutuhkannya, sehingga mereka akan loyal terhadap suatu merek tertentu dan tidak keberatan spend more money. Yah, daripada beli barang murah tapi rusak melulu.

Terlepas tujuannya untuk gengsi atau investasi, tentu sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Jika memang kita termasuk kaum 'chaebol' (istilah keluarga konglomerat di Korea Selatan) atau 'old money', ya sah-sah saja mau beli barang semewah apapun. Tapi yang jadi masalah adalah ketika kita berlagak 'old money' padahal sebetulnya 'no money'. Apalagi sampai minjem KTP teman-teman untuk data pinjol. Aduh!

Dan seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa kemewahan sifatnya subjektif bagi setiap orang. Sesuatu yang bagi kita adalah barang regular, mungkin bagi orang lain adalah barang mewah. 

Bagi saya yang doyan minum kopi Starbucks (kalau ada kupon buy one get one), mungkin terasa biasa saja. Tapi bagi orang lain yang biasanya minum Starling alias Starbucks keliling, kopi tersebut pastilah tergolong mewah. Setiap orang punya level ekonomi yang berbeda. Jadi ada baiknya kita tidak mengesampingkan empati kepada mereka yang mungkin tidak memiliki privilege yang sama dengan kita.

Tapi ngomong-ngomong kalau kalian suka beli barang mewah, tahu cara baca merek-merek mewah di atas nggak sih?

***

Referensi

Kompas.com | Businessinsider.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun