Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

AMR, Mungkinkah Menjadi Silent Pandemic Berikutnya?

18 November 2022   07:00 Diperbarui: 18 November 2022   18:20 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uji sensitivitas antibiotik. Biakan bakteri digores pada media agar lalu diletakkan disc antibiotik. Area jernih menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri / bakteri tidak resisten. (Sumber: en.wikipedia.org)

Hingga artikel ini dipublikasikan, pandemi Covid19 belum juga dinyatakan selesai. Meskipun jumlah kasus sudah banyak berkurang dan sudah banyak negara yang mendeklarasi berakhirnya pandemi di negara mereka, tidak sedikit juga yang masih menerapkan protokol kesehatan. Saya berharap dalam waktu dekat, status pandemi secara global dapat segera dicabut supaya kita bisa kembali beraktifitas normal. Ya normal, bukan new normal.

Pertanyaannya, akankah muncul pandemi lain di masa depan? Melihat situasi dan kondisi global seperti sekarang, jawabannya tentu mungkin sekali terjadi.

Akhir-akhir ini dunia menghadapi banyak sekali tantangan di bidang kesehatan. Pada tahun 2019 WHO mengumumkan 10 ancaman kesehatan global yang sangat memerlukan perhatian dari seluruh praktisi kesehatan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Mulai dari polusi udara dan perubahan iklim; penyakit degeneratif; demam berdarah; HIV; hingga Resistensi Antimikroba.

Bertepatan dengan World Antimicrobial Awareness Week (WAAW) yang diperingati pada tanggal 18-24 November setiap tahunnya, saya ingin kembali mengingatkan pembaca sekalian bahwa betapa seriusnya ancaman Resistensi Antimikroba ini.

Apa Itu AMR dan Faktor Penyebabnya

Saya ingat betul pernah menulis tentang Resistensi Antibiotik untuk memberikan edukasi bagi pembaca bahwa kita tidak boleh meremehkan ancaman kesehatan yang satu ini.

Serupa tapi tak sama, Antimicrobial Resistance/AMR (Resistensi Antimikroba) memiliki ruang lingkup yang lebih luas. AMR tidak hanya mencakup antibiotik, tetapi juga antifungi, antiparasit, dan antivirus.

AMR terjadi ketika bakteri, virus, parasit, dan fungi (jamur) terus bermutasi dari waktu ke waktu dan tidak lagi sensitif terhadap obat-obatan yang ada.

Dengan demikian penyakit infeksi bisa semakin sulit untuk disembuhkan dan berpotensi menyebabkan kematian, bahkan kematian massal seperti yang terjadi pada zaman dahulu ketika antibiotik belum ditemukan. Tak hanya penyakit infeksi, risiko pada operasi bedah mayor hingga kemoterapi pun akan meningkat.

Ada beberapa faktor penyebab AMR misalnya:

Penggunaan Antimikroba yang Tidak Sesuai

Tidak sesuai yang disini bisa karena salah penggunaan (misuse) atau penggunaan berlebih (overuse). Salah penggunaan misalnya ketika seseorang sakit flu, dia malah minum antibiotik, padahal flu disebabkan oleh infeksi virus.

Sedangkan penggunaan berlebih (overuse) bisa terjadi ketika seseorang terus menerus mengkonsumsi antibiotik dalam jangka waktu yang lama karena penyakitnya tak kunjung sembuh, padahal penggunaan antibiotik umumnya hanya 3 hingga 7 hari.

Lain cerita jika pasien terinfeksi TBC loh ya. Jika sakit tak kunjung sembuh, sebaiknya pasien menghubungi dokter untuk meminta penggantian jenis antibiotik atau terapi pengganti lainnya.

Selain karena penggunaan antimikroba yang tidak tepat, faktor ketidakpatuhan pasien juga bisa menjadi salah satu penyebab risiko resistensi antimikroba.

Misal ketika seharusnya pasien menggunakan antibiotiknya selama 5 hari, kemudian ia menghentikan pengobatannya dihari ketiga karena merasa sudah sembuh dan tidak ada gejala. Atau ketika pasien TBC tidak patuh meminum antibiotiknya setiap hari.

Hal ini akan menyebabkan mikroba tidak mati dengan tuntas, melainkan menyesuaikan diri dengan 'serangan' antimikroba tersebut. Risiko AMR akan semakin tinggi jika hal tersebut terjadi berulang.

Residu Antibiotik pada Hewan

Pernah dengar bahwa penggunaan antibiotik tertentu pada pakan hewan unggas seperti ayam dapat meningkatkan pertumbuhan? Pemberian Antibiotic Growth Promotor (AGP) ini dulunya bertujuan untuk mengelimir bakteri pada saluran pencernaan hewan, supaya hewan dapat tumbuh dengan baik dan memperoleh bobot yang lebih besar.

Namun pada akhirnya penggunaan AGP ini seringkali tidak terkontrol dan menyebabkan menumpuknya residu antibiotik pada tubuh ayam. Akibatnya ketika ayam-ayam tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka manusia akan ikut terpapar residu antibiotik dan berisiko menyebabkan resistensi antibiotik.

Apa yang selanjutnya terjadi? Resistensi antibiotik akan menyebar lebih luas dan menyebabkan antiobiotik tertentu tidak lagi bisa efektif dalam mengobati penyakit infeksi pada manusia. Ngeri ya?

Layanan Kesehatan yang Tidak Memadai

Tidak bisa dipungkiri bahwa ketersediaan layanan kesehatan saat ini masih belum memadai dan merata di wilayah-wilayah tertentu. Jangan dulu bicara ke negara-negara miskin dan penuh konflik.

Di Indonesia sendiri layanan kesehatan maupun akses terhadap obat-obatan masih belum merata. Entah karena jarak yang jauh, akses transportasi yang tidak memadai, hingga kurangnya ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Contoh, ketika seorang pasien seharusnya memperoleh antibiotik golongan tertentu untuk digunakan selama 1 minggu. Namun karena ketersediaan obat yang kurang, ia hanya bisa mendapatkan obat untuk dikonsumsi selama 3 hari. Maka pasien pun akan berisiko mengalami resistensi antibiotik.

Ketersediaan Akses Sanitasi dan Air Bersih, Polusi, dan Sampah

Sanitasi dan akses air bersih adalah salah satu hal mendasar yang dibutuhkan oleh setiap individu untuk menjamin kehidupan yang sehat. Pun demikian halnya pada hewan ternak. Area peternakan yang bersih dapat mengurangi potensi kontaminasi residu obat-obatan dari kotoran hewan, dan menjamin kesehatan hewan-hewan yang dikembangbiakkan untuk kebutuhan pangan manusia.

Tak hanya sanitasi dan air bersih, polusi dan sampah pun bisa berisiko menyebabkan AMR pada manusia. Misal air dan tanah yang terkontaminasi oleh limbah atau sampah medis (terutama antimikroba), tentunya akan mencemari air bersih hingga tanaman/sayur-mayur yang dikonsumsi manusia.

Oleh sebab itu penting sekali adanya pengelolaan limbah yang baik pada fasilitas produksi farmasi atau fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan apotek, hingga di tingkat rumah tangga.

Sumber: publichealthnotes.com
Sumber: publichealthnotes.com

AMR Bisa Saja Menjadi Silent Pandemic Berikutnya

Pasien yang resisten akan membutuhkan antimikroba dengan golongan yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama untuk sembuh. Dengan demikian biaya pengobatan pun akan semakin tinggi.

Namun bukan hanya soal waktu dan biaya semata. Jika kita terus-menerus abai terhadap pentingnya pengelolaan dan penggunaan antimikroba dengan baik dan tepat, bukan tidak mungkin di masa depan nanti akan semakin sedikit antimikroba yang efektif untuk mengobati penyakit infeksi.

Seperti yang sudah pernah saya singgung sebelumnya, penemuan obat baru tidak bisa dilakukan secara instan karena membutuhkan banyak proses/tahapan untuk menjamin keamanan, mutu, dan khasiatnya.

Sementara biasanya penyebaran penyakit infeksi berlangsung sangat cepat, apalagi jika penularannya melalui udara (airborne). Hal ini akan menimbulkan gap period dan risiko perburukan kesehatan terutama ketika terjadi KLB atau pandemi.

Well ya, AMR bisa saja menjadi silent pandemic berikutnya ketika banyak orang yang sudah mengalami resistensi. Bukan tidak mungkin ketika seseorang mengidap infeksi ringan, namun karena AMR nyawanya tidak bisa diselamatkan. Duh serem!

What Should We Do?

Mungkin pembaca sekalian ada yang beranggapan bahwa permasalahan AMR ini hanya perlu dipikirkan oleh pemerintah dan praktisi kesehatan. Ibaratnya, biarlah para pemangku kepentingan yang memikirkan bagaimana pencegahan peningkatan dan penyebaran AMR. Well, tentu tidak.

Sejalan dengan tema WAAW 2022 yakni 'Preventing Antimicrobial Resistance Together' upaya pencegahan AMR butuh kerjasama dari seluruh pihak, termasuk kita masyarakat awam. Jadi kontribusi apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah AMR ini?

Cerdas dan Patuh dalam Menggunakan Antibiotik

Tak bosan-bosannya saya mengingatkan bahwa antibiotik bukan vitamin yang bisa kita konsumsi kapanpun saat sakit dengan harapan lebih cepat sembuh.

Meskipun ada beberapa golongan antibiotik yang dapat diperoleh tanpa resep dokter, tapi sebaiknya kita konsultasi dengan dokter atau apoteker dalam penggunaannya. Pastikan kita patuh dan paham bagaimana cara konsumsi antibiotik tersebut, berapa lama penggunaannya, dan jangan sharing dengan orang lain.

Mengelola Limbah Farmasi dengan Baik dan Benar

Coba tengok di rumah kita masing-masing, apakah kita menyimpan obat-obatan yang sudah rusak atau kedaluwarsa? Atau bahkan ada sisa antibiotik?

Ingat, jangan dibuang sembarangan loh ya. Pengelolaan limbah farmasi di tingkat rumah tangga sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan limbah farmasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sekaligus mencegah terjadinya polusi atau pencemaran air dan tanah.

Lalu bagaimana cara membuang limbah farmasi yang baik dan benar? Bisa baca selengkapnya disini ya.

Menjaga Sanitasi dan Higienitas

Seperti yang sudah saya singgung diatas, sanitasi dan higienitas adalah hal mendasar yang perlu dibiasakan untuk menciptakan kehidupan yang sehat. Misal cuci tangan setelah memegang obat-obatan atau zat kimia; memegang atau megurus hewan peliharaan, dan lainnya.

Dengan menjaga kebersihan, kita bisa meminimalisir tubuh kita kontak / terpapar dengan kontaminan-kontaminan yang berisiko.

Tidak Menggunakan AGP pada Hewan Ternak

Bila pembaca sekalian ada yang beternak ayam dan sejenisnya, yuk hindari penggunaan Antibiotic Growth Promotor (AGP) untuk meningkatkan pertumbuhan. Sebaiknya gunakan pengganti Growth Promotor seperti bahan-bahan alam, probiotik, enzim, dan lainnya. Penggunaan antimikroba pada hewan sebaiknya sesuai dengan indikasi yakni untuk mengatasi penyakit infeksi.

Yuk semakin bijak & aware dalam menggunakan antimikroba. Tentu kita tidak ingin ancaman AMR ini betul-betul menjadi silent pandemic di masa depan, bukan?

Stay healthy, stay happy!

Referensi

WHO | UNDP | FAO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun