Gambia -- Afrika Barat akibat AKI (Acute Kidney Injury / Gangguan Ginjal Akut), diduga disebabkan oleh cemaran berlebih senyawa Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol (EG) dalam produk obat demam/batuk berbentuk sirop.
Isu tentang obat sirop kali ini betul-betul gaduh. Berawal dari laporan kematian puluhan anak-anak diProduk obat tersebut antara lain Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Keempatnya diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, India. Dan sesuai penjelasan yang dirilis oleh BPOM RI, keempat produk tersebut maupun produk lainnya yang diproduksi Maiden tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia.
Selain kasus Gambia tersebut, muncul juga laporan kasus meninggalnya puluhan anak di Indonesia diduga akibat gangguan ginjal misterius. Mayoritas anak meninggal disebabkan karena fungsi ginjal menurun dan terlambat sampai di rumah sakit untuk memperoleh penanganan. Kecurigaan pun timbul apakah kasus gangguan ginjal akut pada anak-anak di Indonesia ini ada kaitannya dengan produk obat sirop seperti yang terjadi di Gambia.
Antara Tindakan Preventif vs Kebutuhan Pasien & Kerugian Pelaku Usaha
Sebagai tindakan pencegahan dan kehati-hatian, Kementerian Kesehatan pun akhirnya menginstruksikan agar tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan tidak meresepkan obat dalam bentuk sediaan cair/sirop. Selain itu sarana apotek diminta untuk tidak menjual obat sirop.Â
Ini artinya semua obat sirop, terlepas apakah obat sirop itu untuk mengatasi demam/batuk/pilek atau penyakit lainnya. Maka risiko selanjutnya adalah kemungkinan terjadinya kelangkaan produk obat sirop di pasar. Akibatnya, kegaduhan pun sempat terjadi.
Saya paham dan yakin bahwa tindakan tersebut tujuannya baik dan diambil sebagai langkah antisipasi untuk meminimalisir risiko. Tapi nyatanya instruksi ini juga menimbulkan dilema.
Pasien yang mengkonsumsi obat sirop umumnya adalah anak-anak karena rasanya yang manis. Tidak semua anak bisa minum obat berbentuk sediaan tablet/kapsul. Sediaan puyer biasanya dicampur dengan air, tapi tidak semua anak juga bisa minum karena rasanya pahit. Selain itu tidak semua obat bisa/boleh digerus untuk dijadikan puyer.
Info dari beberapa rekan sejawat saya yang bekerja di instalasi farmasi fasilitas pelayanan kesehatan, mereka diinstruksikan untuk tidak memberikan obat oral dalam bentuk cair (sirop, suspensi, drop, dan lainnya). Akibatnya mereka pun kebingungan jika ingin memberi obat untuk bayi hingga balita,karena obat yang diberikan umumnya berbentuk oral drop (diberikan dengan cara ditetes). Beberapa obat seperti obat demam mungkin bisa diganti ke bentuk sediaan suppositoria (dimasukkan ke dalam dubur), tapi tentu tidak semua jenis obat bisa dibuat / tersedia dalam bentuk suppositoria.
Selain kerugian dari sisi pasien, para pelaku usaha di bidang produksi dan distribusi obat pun juga terpengaruh. Produsen obat yang memproduksi sediaan sirop kalang kabut karena itu berarti seluruh produk sirop mereka yang sudah beredar terpaksa dihentikan sementara pada seluruh rantai distribusi. Dan itu berarti, produk yang baru selesai diproduksi juga berpotensi menumpuk di gudang karena tidak bisa didistribusikan.
Selain produsen, sarana distribusi hingga sarana ritel juga harap-harap cemas karena cash flow mereka juga pasti akan terganggu jika produk tidak bisa disalurkan. Terbayang kan betapa bingungnya para tenaga kesehatan di lapangan dan masyarakat umum, dan berapa kerugian ekonomi yang mungkin terjadi?
Selang dua hari setelah instruksi ini atau lebih tepatnya tanggal 20 Oktober 2022, BPOM RI akhirnya merilis informasi terkait hasil pengawasan dan sampling yang telah dilakukan. Ada 5 produk yang mengandung cemaran EG yang melebihi ambang batas aman, yaitu:
1. Termorex Sirop (obat demam), produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
2. Flurin DMP Sirop (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
3. Unibebi Cough Sirop (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.
4. Unibebi Demam Sirop (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL8726301237A1, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.
5. Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL1926303336A1, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.
Dan sesuai klarifikasi tersebut, BPOM telah meminta produsen pemilik izin edar untuk melakukan penarikan (recall) produk terkait dari seluruh sarana pada rantai distribusi, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan. Coba dicek kembali, apakah pembaca sekalian ada yang sedang menggunakan obat tersebut?
Bagaimana Dietilen Glikol & Etilen Glikol Ada di Produk Obat Sirop?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui bahwa DEG & EG tidak digunakan dalam produk obat. DEG & EG merupakan bahan kimia yang digunakan industri untuk pembuatan berbagai macam produk seperti resin plastik, antibeku, dan pendingin untuk otomotif. Keracunan DEG/EG dapat menimbulkan beberapa gejala seperti nyeri perut, sakit kepala, mual, muntah, diare, hingga gangguan ginjal akut yang berujung pada kematian.
Namun demikian, DE & EG masih bisa muncul sebagai cemaran (impurity) dalam produk obat yang menggunakan gliserin/gliserol, sorbitol, propilen glikol, dan polietilen glikol. Bahan-bahan ini tergolong zat tambahan yang digunakan sebagai pelarut dalam sediaan larutan oral/sirop dan tidak memberikan efek. Pelarut ini lazim digunakan dalam formulasi obat karena tidak semua zat aktif obat bisa larut dalam air.
Nah, cemaran DEG/EG ini dipantau dengan melakukan pengujian kadar DEG/EG pada produk jadi obat. Sesuai Farmakope dan standar baku yang diakui, ambang batas aman (Tolerable Daily Intake/TDI) untuk cemaran DEG/EG adalah 0.5 mg/kg BB/hari.
Pertanyaan selanjutnya, jika DEG/EG bisa muncul sebagai cemaran dalam produk yang menggunakan keempat bahan pelarut di atas, bagaimana kita bisa mengetahui apakah suatu produk menggunakan keempat pelarut tersebut?
Sesuai regulasi, tidak semua komposisi bahan tambahan wajib dicantumkan pada label kemasan obat. Oleh sebab itu, komposisi yang tercantum pada kemasan obat biasanya hanya zat aktif dan kekuatan dosisnya saja. Misal "Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg dan Chlorpheniramine Maleate 2 mg". Hal ini karena terkait rahasia dagang dan hak kekayaan intelektual atas formulasi obat dari si produsen.
Tentu saya sudah pernah cerita bahwa ada proses panjang yang harus dijalani sampai suatu formulasi obat dapat dibuktikan memiliki khasiat untuk mengobati suatu penyakit. Pun jika obat tersebut sudah habis masa patennya dan bisa diproduksi oleh produsen farmasi lainnya, tetap ada effort dan cost yang tidak sedikit dalam mengembangkan formulasi obat.
Selain itu, bahan tambahan pada obat biasanya tidak memberikan efek terapi. Jadi yang paling penting untuk dicantumkan pada kemasan adalah komposisi zat aktifnya. Namun meski tidak dicantumkan dalam kemasan, seluruh komposisi zat aktif dan zat tambahan yang digunakan dalam formulasi obat sudah dilaporkan dan dievaluasi untuk memenuhi syarat keamanan, mutu, dan efikasi (khasiat) oleh BPOM.
Meskipun suatu produk obat telah memiliki izin edar dari BPOM dan telah dipasarkan, memang tetap ada kemungkinan produk tersebut tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutunya. Oleh sebab itu BPOM juga memiliki kewajiban untuk melakukan post-market surveillance (pengawasan pasca pemasaran) untuk memantau produk-produk yang sudah beredar di pasaran. Dan hal ini juga menuntut produsen untuk selalu konsisten dalam memastikan produk-produk yang dibuatnya sesuai standar yang ditetapkan dan memenuhi persyaratan.
Yuk Lebih Cerdas dan Bijak dalam Menyebarkan Informasi dan Mengkonsumsi Obat
Sebelum terbitnya klarifikasi dari BPOM ini, beberapa teman-teman saya mendapat berbagai macam pesan broadcast berupa daftar berisi 29 produk obat cair yang ditarik dari pasaran, seakan-akan menjawab pertanyaan dari banyak orang tentang produk-produk yang diduga menyebabkan gangguan ginjal pada anak-anak.
Saya paham ada urgenitas dalam isu-isu semacam ini supaya korban yang jatuh tidak bertambah. Tapi perlu diingat tidak semudah dan secepat membalikkan telapak tangan dalam mengumumkan suatu produk yang diduga berbahaya. Perlu investigasi yang komprehensif mulai dari proses pengujian hingga penelusuran batch produk di sepanjang rantai distribusi.
Oleh sebab itu kita juga perlu hati-hati dan bijak dalam menyebarkan informasi, apalagi jika belum valid. Salah-salah, kita bisa dijerat UU ITE atau terlibat dalam black campaign dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjatuhkan pihak lainnya.
Oh ya, perlu dicatat juga meski sudah ada daftar produk obat yang akan ditarik, belum tentu bahwa produk-produk itulah yang menjadi penyebab utama kasus AKI pada anak-anak. Penyebab dan faktor risiko gangguan ginjal akut itu masih perlu diinvestigasi lebih lanjut lagi oleh para pakar beserta seluruh stake holder terkait. Jadi kita tunggu saja perkembangan selanjutnya ya.
Dan tanpa bosan-bosannya, saya juga terus mengingatkan kita semua untuk menjadi konsumen yang bijak dan cerdas. Sejatinya obat adalah racun, meskipun dengan dosis tertentu dapat memberikan manfaat dalam kesehatan. Oleh sebab itu kita juga tidak boleh sembarangan membeli obat dari sarana yang tidak resmi untuk menghindari risiko-risiko yang tidak diinginkan. Semoga segera ada titik terang dari kasus ini sehingga dapat diambil tindakan pencegahan yang lebih tepat lagi untuk melindungi masyarakat.
Referensi:
WHO | BPOM | Cek Fakta Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H