Menurut beberapa sumber yang saya baca, ada dua istilah terkait pembagian golongan masyarakat ini yakni Catur Kasta dan  Catur Warna. Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra memiliki perbedaan pengertian dalam hal kasta dan warna.
Dalam bahasa Sansekerta, warna (varna) berarti 'memilih'. Jadi, jika kasta erat kaitannya dengan garis keturunan yang otomatis didapat sejak lahir, warna lebih berkaitan dengan pilihan profesi seseorang sesuai dengan keahlian yang ditekuni. Jadi seorang kasta Sudra bisa saja memiliki warna Ksatria jika ia bekerja di bidang pemerintahan atau sebagai tokoh masyarakat.
Mungkin ada pembaca sekalian yang memiliki pengetahuan lebih baik mengenai kasta ini? Boleh share di kolom komentar ya..
2. Jika waktunya tiba, cinta tidak memandang kasta
Saya bukan ahli dalam hal cinta-cintaan. Tapi anggapan bahwa cinta tidak memandang perbedaan, baik usia maupun kasta atau golongan, mungkin benar adanya. Jadi jika memang waktunya sudah tiba, kita bisa saja menyukai seseorang yang memiliki latar kehidupan yang sangat berbeda dengan kita. Meskipun mungkin kita sudah menerapkan kriteria tertentu dalam memilih pasangan hidup.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita bisa menerima perasaan itu atau bersikeras menyangkalnya dan tetap mencari seseorang yang memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan?
Sama halnya dengan tokoh Telaga dan Wayan. Meskipun Telaga menyadari bahwa ia adalah seorang Ida Ayu yang sudah seharusnya menikah dengan seorang Ida Bagus, ia tidak bisa menghalangi perasaan cinta yang muncul terhadap pasangan menarinya, Wayan.
Dan meskipun Wayan menyadari bahwa tidak seharusnya seorang pria Sudra jatuh cinta pada wanita Brahmana, tapi Wayan juga tidak bisa membendung perasaannya terhadap Telaga. Uhuyy!
3. Akan selalu ada risiko dalam setiap pilihan yang diambil
Tokoh Sekar (Jero Kenanga) digambarkan sebagai wanita yang keras kepala dan penuh ambisi. Ia rela melakukan apa saja demi bisa menikahi seorang pria Brahmana. Ia bahkan tidak peduli apakah dia mencintai pria tersebut, apalagi berharap dicintai. Baginya yang terpenting adalah, ia tak lagi hidup susah dan menjadi orang yang terpandang dan disegani.
Jadi ketika ibunya berulang kali mengingatkan untuk berpikir dua kali ketika akan menikahi Ida Bagus Ngurah Pidada, Sekar menutup mata dan telinganya. Ia sudah mantap memilih jalan tersebut untuk memperbaiki kehidupannya, meskipun ia harus mengorbankan masa lalunya, bahkan kebutuhan dirinya sendiri untuk dicintai dan dihormati oleh suaminya.