"Aku tidak lagi menjadi senang sebab rambu solo diadakan dengan tingkatan rapasan sundun, tak ada lagi gunanya pikirku. Sebab aku akan tiba di puya dengan beban tidak bisa menurunkan tanggung jawab." - Puya ke Puya.
Pernah dengar Rambu Solo? Ya, serangkaian upacara adat kedukaan (kematian) yang diselenggarakan oleh masyarakat Toraja untuk mengantar keberangkatan almarhum ke surga (puya).
Well, saya memang belum pernah menyaksikannya secara langsung, tapi bersyukurlah saya karena perkembangan teknologi saat ini, membuat kita bisa mencari informasi apapun yang ingin kita ketahui hanya dengan bermodal gadget, jaringan internet dan jempol. Kalau penasaran, pembaca bisa lihat video mengenai Rambu Solo di Youtube.
Menurut Aluk Todolo, masyarakat suku Toraja memiliki dua upacara adat utama yakni Rambu Tuka dan Rambu Solo. Aluk Todolo sendiri artinya adalah Aturan Leluhur, yakni suatu pedoman atau tatanan kehidupan masyarakat Toraja yang diturunkan oleh para leluhur. Jika Rambu Tuka diadakan dalam rangka sukacita, maka sebaliknya untuk Rambu Solo.
Umumnya, jika kita merayakan sesuatu dengan meriah dalam suasana sukacita akan terasa lumrah. Tapi lain halnya jika dalam suasana dukacita. Upacara adat dengan suasana meriah yang diadakan ketika kita sedang berduka cita justru menjadi sesuatu hal yang unik dan menarik di mata orang lain. Itulah mengapa Rambu Solo menjadi terkenal di mata masyarakat di luar Toraja, terutama turis. Sama halnya dengan upacara adat Saurmatua dalam suku Batak.
Berhubung penyelenggaraan Rambu Solo membutuhkan biaya yang tinggi dan melibatkan seluruh keluarga besar, maka seringnya Rambu Solo tidak bisa diadakan segera setelah almarhum meninggal.
Dalam kepercayaan suku Toraja, orang yang meninggal dianggap sebagai 'mayat sakit' dan tetap diletakkan di dalam Tongkonan keluarga. Dengan demikian, keluarga akan memperlakukan jenazah tersebut seperti orang yang sedang sakit dan diberi makan (walau tidak benar-benar dimakan) sampai Rambu Solo diadakan.
Nah, buku yang ingin saya ulas kali ini tidak jauh-jauh dari kisah mengenai Rambu Solo yang terkenal itu. Jujur saya tidak sengaja mengetahui buku ini ketika sedang iseng browsing internet. Setelah membaca beberapa ulasannya, saya jadi tertarik untuk membacanya. Masalahnya, ternyata saya perlu waktu lama untuk menemukannya karena ternyata buku ini kelihatannya belum dicetak ulang sejak penerbitan pertamanya. Tapi akhirnya saya bisa mendapatkannya meski sayangnya kertasnya sudah menguning. Tak apalah, yang penting masih bisa dibaca.
Blurb
Allu Ralla pusing setengah mati ketika ia mendapat kabar bahwa Ambe (Ayah) nya, Rante Ralla, meninggal secara tiba-tiba. Segera ia meninggalkan kuliahnya di Makassar dan pulang ke Tongkonan untuk menemui Indo (Ibu) nya dan seluruh keluarga besarnya.
Sepanjang jalan, Allu berpikir keras bagaimana supaya ia bisa memakamkan Ambe-nya dengan sederhana di Makassar. Ia jelas mengetahui tidak akan sanggup menyelenggarakan upacara Rambu Solo untuk Ambe-nya karena terkendala biaya. Tapi ia juga tahu keluarga besarnya akan menentangnya habis-habisan dan dianggap tidak tahu adat serta mempermalukan keluarga besarnya. Apalagi kebetulan Rante Ralla adalah seorang ketua adat, dan sudah selayaknya kematiannya diupacarakan dalam suatu Rambu Solo yang sempurna.
Masalahnya, untuk menyelenggarakan upacara Rambu Solo yang sempurna dibutuhkan biaya ratusan juta rupiah karena keluarga mendiang harus mengurbankan puluhan kerbau dan babi (dipercaya sebagai tunggangan bagi almarhum menuju ke puya), serta membangun lantang (tempat tinggal sementara) untuk kerabatnya yang datang dari jauh.
Bersamaan dengan itu, sebuah perusahaan tambang nikel sedang mengincar tanah tempat Tongkonan keluarga Ralla berdiri. Pihak perusahaan tambang berkali-kali membujuk keluarga Ralla untuk melepas tanahnya dan menawarkan biaya ganti rugi dalam jumlah banyak. Sejalan dengan keinginan alamarhum Ambe-nya, Allu tidak berniat menyerahkan tanahnya karena aset yang tersisa hanyalah tanah tersebut yang juga merupakan tanah adat warisan leluhur mereka.
Ditengah kegalauan dan kericuhan keluarga besar yang marah karena niat Allu Ralla, tiba-tiba mantan kekasih Allu muncul kembali. Malena yang merupakan putri Kepala Desa setempat kembali dari studinya di Jawa. Allu yang masih memiliki rasa cinta terhadap Malena, menjadi goyah ketika Malena memintanya untuk segera menikahinya sebelum ia diambil pria lain.
Pergumulan hebat memenuhi kepala Allu. Dalam budaya suku Toraja, adalah suatu hal yang pantang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan sebelum kewajiban Allu yang kini sebagai kepala keluarga terlaksana, yakni mengupacarakan Ambe-nya.
Di satu sisi Allu tidak mau berhutang dan menyusahkan kehidupannya di masa depan karena memaksa pelaksanaan Rambu Solo, tapi di sisi lain ia juga ingin agar roh Ambe-nya bisa masuk ke Puya dan bertemu dengan Maria Ralla, adik Allu yang lebih dulu meninggal ketika usianya belum sampai 6 bulan.
Selain itu, jika Allu menunggu biaya pemakaman terkumpul, ia tidak bisa segera menikahi Malena. Allu takut kehilangan Malena untuk yang kedua kalinya.
Allu sadar bahwa ia membutuhkan biaya lebih banyak untuk menggelar Rambu Solo dan untuk menikahi Malena. Dalam hati, Allu merasa marah dengan tradisi kaku yang dianut oleh keluarganya. Ia merasa seharusnya tradisi dapat bersifat dinamis dan bukannya menyebabkan kesulitan seperti yang dialaminya.
Apakah akhirnya Allu Ralla menerima tawaran perusahaan tambang untuk menjual tanah warisan demi memenuhi keinginan keluarga besarnya untuk menggelar Rambu Solo dan menikahi Malena? Atau apakah Allu tetap gigih pada pendiriannya untuk menghiraukan tradisi sukunya yang dianggapnya kaku dan merepotkan? Apakah Malena betul-betul ingin kembali pada Allu atau ia justru terlibat dalam lobi-lobi perusahaan tambang?
Baca sendiri saja ya? Hehe..
Moral Cerita
Sebetulnya ada banyak moral yang bisa dipetik dari cerita yang ditulis dengan sangat menarik oleh Faisal Oddang ini. Tapi menurut saya ada 3 pelajaran penting yang bisa kita renungkan, yakni:
Perlunya Memandang Adat Istiadat secara Objektif
Sebagai masyarakat Indonesia yang hidup di tengah keberagaman budaya, sudah sepatutnya kita mempertahankan dan melestarikan adat istiadat dan budaya suku kita. Karena bagaimanapun, hal itulah yang akan menjadi identitas kita dimanapun kita berada.
Namun demikian, ada kalanya kita terbentur dengan biaya maupun hal-hal yang berkaitan dengan kepraktisan, sehingga pelaksanaan adat tertentu dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi di masa sekarang.
Kebimbangan dan kemarahan tokoh Allu akibat tradisi Rambu Solo dalam buku ini, mengingatkan tradisi budaya suku saya sendiri.
Sebagai Boru Batak, saya sudah sering melihat fenomena yang mirip dengan kondisi yang dikisahkan dalam buku ini. Prosesi adat yang tidak praktis dan memakan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari, otomatis akan membuat biaya yang ditanggung semakin besar. Belum lagi masih adanya sebagian orang yang mengedepankan gengsi dalam pelaksanaan adat, supaya disanjung orang lain. Yah yang bikin mahal bukan adatnya, tapi gengsinya kan?
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Tak lain tak bukan adalah musyawarah dan kerendahan hati untuk berlapang dada. Dalam penyelenggaraan adat, sudah sepatutnya kita berunding dengan keluarga dan pihak-pihak yang berkepentingan, dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi, waktu, dan kepraktisan, namun tanpa menghilangkan esensi suatu tradisi. Dan pastinya semua pihak tidak boleh mengedepankan egonya masing-masing hanya demi gengsi, supaya tercapai win-win solution.
Pertimbangan matang sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan besar
Dalam buku ini, saya melihat tokoh Allu sangat tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Pertemuannya kembali dengan Malena membuat Allu sangat emosional karena takut kehilangan gadis yang dicintainya.
Penyelenggaraan Rambu Solo dan acara pernikahan sama-sama merupakan momen yang dalam pelaksanaannya harus dirundingkan dengan masak oleh seluruh pihak keluarga. Acara besar yang diselenggarakan secara tergesa-gesa berpotensi menemui hambatan. Entah besar atau kecil.
Oleh sebab itu, ada baiknya kita tidak mengambil keputusan secara tergesa-gesa apalagi dalam kondisi emosional untuk suatu hal yang penting dan menyangkut orang lain.
Pentingnya mempersiapkan dana pensiun
Dalam buku ini dikisahkan bahwa meskipun keluarga Ralla adalah keluarga yang dihormati karena Rante Ralla adalah seorang ketua adat, mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menyelenggarakan Rambu Solo sesuai tradisi suku mereka. Hal ini karena kebiasaan buruk Rante Ralla yang suka minum ballo (minuman keras khas Toraja) dan berjudi. Akibatnya ia tidak bisa meninggalkan cukup warisan bagi keluarganya, padahal ia tahu tradisi upacara kematian di suku Toraja membutuhkan biaya yang besar.
Saya jadi teringat ketika upacara Saurmatua Opung pada awal tahun 2020 lalu yang juga menghabiskan biaya ratusan juta, menurut cerita yang saya dengar dari keluarga, almarhum Opung ternyata sudah menyisihkan sebagian dana karena ia sadar acara pemakamannya nanti akan memakan biaya yang besar. Ia tidak ingin keturunannnya merasa terbebani.
Baca juga: Pemakaman Saurmatua yang Jauh dari Kesan Kesedihan
Memang tidak semua orang memiliki privilege untuk memperoleh penghasilan tetap dan menyisihkannya sebagian untuk ditabung. Dalam fenomena Generasi Sandwich pun, orangtua yang tidak mempersiapkan dana pensiun juga tidak bisa kita salahkan begitu saja, karena bisa jadi semua penghasilan yang diperolehnya dialokasikan untuk kebutuhan hidup keluarga.
Oleh sebab itu sebagai generasi muda saat ini, ada baiknya untuk mengurangi gaya hidup hedonisme dan mulai mempersiapkan dana pensiun supaya bisa menikmati masa tua nanti dengan tenang tanpa membebani generasi penerus.
Rekomendasi
Buku ini ditulis dalam empat bagian, dimana masing-masing bagian terdiri dari beberapa bab. Uniknya, penulis menuturkan ceritanya dari dua sisi kehidupan yakni sisi manusia yang hidup dan sisi roh Rante Ralla, Maria Ralla, dan leluhur.
Cara penulis memindahkan sudut pandang pun terbilang unik, tidak seperti novel-novel lainnya. Awalnya saya sempat merasa bingung, tapi nyatanya tidak terlalu sulit untuk mengikuti alurnya. Selain itu, alur ceritanya dibuat maju dan mundur sehingga pembaca akan mendapat beberapa plot twist yang tak terduga.
Satu hal yang penting, penulis menyelipkan pengetahuan budaya suku Toraja ke dalam cerita dengan sangat apik. Selain itu ia juga memposisikan tokoh Allu Ralla sebagai perwakilan pemikirannya yang modern dalam memandang suatu tradisi yang sudah ratusan tahun diturunkan oleh leluhur suku Toraja. Dengan demikian pembaca bisa memperoleh ilmu baru dan memahami budaya suku Toraja beserta konflik yang mungkin muncul karenanya, sekaligus berpikir kritis dengan mengajak pembaca merenungkan sisi misteri dan spiritual dari kehidupan di alam baka.
Jadi gimana, penasaran gak sama ceritanya?
Judul buku: Puya ke Puya
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit & tahun terbit: Kepustakaan Populer Gramedia (2015)
Jumlah halaman: 218Â halaman
Rating pribadi: 5/5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H