Sepanjang jalan, Allu berpikir keras bagaimana supaya ia bisa memakamkan Ambe-nya dengan sederhana di Makassar. Ia jelas mengetahui tidak akan sanggup menyelenggarakan upacara Rambu Solo untuk Ambe-nya karena terkendala biaya. Tapi ia juga tahu keluarga besarnya akan menentangnya habis-habisan dan dianggap tidak tahu adat serta mempermalukan keluarga besarnya. Apalagi kebetulan Rante Ralla adalah seorang ketua adat, dan sudah selayaknya kematiannya diupacarakan dalam suatu Rambu Solo yang sempurna.
Masalahnya, untuk menyelenggarakan upacara Rambu Solo yang sempurna dibutuhkan biaya ratusan juta rupiah karena keluarga mendiang harus mengurbankan puluhan kerbau dan babi (dipercaya sebagai tunggangan bagi almarhum menuju ke puya), serta membangun lantang (tempat tinggal sementara) untuk kerabatnya yang datang dari jauh.
Bersamaan dengan itu, sebuah perusahaan tambang nikel sedang mengincar tanah tempat Tongkonan keluarga Ralla berdiri. Pihak perusahaan tambang berkali-kali membujuk keluarga Ralla untuk melepas tanahnya dan menawarkan biaya ganti rugi dalam jumlah banyak. Sejalan dengan keinginan alamarhum Ambe-nya, Allu tidak berniat menyerahkan tanahnya karena aset yang tersisa hanyalah tanah tersebut yang juga merupakan tanah adat warisan leluhur mereka.
Ditengah kegalauan dan kericuhan keluarga besar yang marah karena niat Allu Ralla, tiba-tiba mantan kekasih Allu muncul kembali. Malena yang merupakan putri Kepala Desa setempat kembali dari studinya di Jawa. Allu yang masih memiliki rasa cinta terhadap Malena, menjadi goyah ketika Malena memintanya untuk segera menikahinya sebelum ia diambil pria lain.
Pergumulan hebat memenuhi kepala Allu. Dalam budaya suku Toraja, adalah suatu hal yang pantang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan sebelum kewajiban Allu yang kini sebagai kepala keluarga terlaksana, yakni mengupacarakan Ambe-nya.
Di satu sisi Allu tidak mau berhutang dan menyusahkan kehidupannya di masa depan karena memaksa pelaksanaan Rambu Solo, tapi di sisi lain ia juga ingin agar roh Ambe-nya bisa masuk ke Puya dan bertemu dengan Maria Ralla, adik Allu yang lebih dulu meninggal ketika usianya belum sampai 6 bulan.
Selain itu, jika Allu menunggu biaya pemakaman terkumpul, ia tidak bisa segera menikahi Malena. Allu takut kehilangan Malena untuk yang kedua kalinya.
Allu sadar bahwa ia membutuhkan biaya lebih banyak untuk menggelar Rambu Solo dan untuk menikahi Malena. Dalam hati, Allu merasa marah dengan tradisi kaku yang dianut oleh keluarganya. Ia merasa seharusnya tradisi dapat bersifat dinamis dan bukannya menyebabkan kesulitan seperti yang dialaminya.
Apakah akhirnya Allu Ralla menerima tawaran perusahaan tambang untuk menjual tanah warisan demi memenuhi keinginan keluarga besarnya untuk menggelar Rambu Solo dan menikahi Malena? Atau apakah Allu tetap gigih pada pendiriannya untuk menghiraukan tradisi sukunya yang dianggapnya kaku dan merepotkan? Apakah Malena betul-betul ingin kembali pada Allu atau ia justru terlibat dalam lobi-lobi perusahaan tambang?
Baca sendiri saja ya? Hehe..
Moral Cerita