Tak terasa sudah mendekati 2 tahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak kasus pertama diumumkan pada awal Maret 2020 lalu. Meski saat ini kasusnya sudah menurun, namun nampaknya belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir. Atau mungkin Covid-19 malah akan menjadi penyakit endemik dimana kita mau tak mau harus terus hidup berdampingan dengannya? Entahlah..
Seperti yang dirangkum dalam laman history.com beberapa pandemi yang pernah melanda dunia dan memakan banyak korban misalnya pandemi Kolera pertama di tahun 1817, pandemi Pes di tahun 1855, dan Flu Spanyol ditahun 1918. Jujur saya tidak menyangka akan ikut menjadi bagian dari sejarah pandemi itu.
Saya ingat betul ketika masa-masa awal pandemi menyerang Indonesia, informasi masih banyak yang simpang siur. Apalagi dengan dukungan teknologi yang semakin canggih, berbagai informasi yang entah betul entah hoax, menyebar sama cepatnya dengan si virus.Â
Orang-orang berlomba mencari cara untuk melindungi diri sendiri dari virus SARS-CoV-2 yang mematikan, hingga sempat terjadi fenomena panic buying di beberapa daerah. Masker, hand sanitizer, produk suplemen yang mendukung imunitas tubuh adalah beberapa komoditi yang sempat menghilang di pasaran.
Tak hanya itu, oksigen juga sempat langka ketika gelombang kedua dengan virus yang sudah bermutasi itu kembali menyerang. Seluruh rumah sakit penuh dengan pasien yang sesak nafas.Â
Bahkan ada yang rela tidur di lorong rumah sakit atau di tenda yang didirikan di area parkir ruamh sakit dengan fasilitas seadanya, demi bisa dipantau oleh para tenaga kesehatan yang mayoritas juga sudah mengalami kelelahan.
Berpacu dengan waktu, para peneliti berusaha mati-matian menemukan obat dan vaksin untuk mengatasi wabah baru ini supaya tidak semakin banyak korban yang jatuh. Namun penemuan obat baru tidak seperti mencari resep makanan baru yang bisa dilakukan hanya dalam hitungan bulan. Oleh sebab itu selama penantian tersebut, obat-obat yang diberikan sifatnya hanyalah untuk mengobati gejala dan profilaksis (pencegahan).
Apakah pembaca masih ingat dulu sempat beredar informasi bahwa Dexamethasone (antiinflamasi kortikosteroid) mampu mengobati Covid-19? Sejak itu informasi mengenai obat yang diklaim mampu menyembuhkan Covid-19 terus bermunculan, beberapa contoh diantaranya:
1. Dexamethasone
Obat yang dijuluki sebagai ‘Obat Dewa’ ini pernah mendadak terkenal karena diberitakan memiliki khasiat untuk menyembuhkan pasien Covid-19. Obat ‘jadoel’ yang telah digunakan sejak tahun 60an sebagai anti-inflamasi (untuk mengatasi radang) ini sempat dicari-cari orang karena pemberitaan tersebut. Apalagi harganya juga murah. Namun karena termasuk dalam golongan obat keras, saat pembelian seharusnya disertai resep dokter.
Penggunaan Dexamethasone secara sembarangan bisa menyebabkan berbagai efek samping, termasuk diantaranya moon face (wajah bengkak) jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Meski memang sering digunakan sebagai kombinasi obat untuk mengatasi radang saat flu, tapi Dexamethasone belum terbukti secara klinis mampu menyembuhkan pasien Covid-19. Namun dalam jurnal penelitian yang sudah ada, dijelaskan bahwa Dexamethasone dapat mengurangi potensi kematian pasien Covid-19 yang parah.
2. Hidroksiklorokuin & Klorokuin
Obat Malaria ini juga pernah naik daun dan digunakan dalam pengobatan Covid-19. Orang-orang sempat berbondong-bondong mencari akses untuk dapat membeli kedua obat ini, padahal obat antimalaria juga tergolong dalam obat keras.
Hidroksiklorokuin dan Klorokuin juga sempat memperoleh Persetujuan Penggunaan Darurat (Emergency Used Authorization/EUA) untuk pengobatan Covid-19 dari Badan POM.Â
Namun pada November 2020, EUA Hidroksiklorokuin dan Klorokuin akhirnya dicabut karena berdasarkan hasil penelitian lebih lanjut, kedua obat ini memiliki risiko yang lebih besar daripada manfaatnya dalam pengobatan Covid-19, yakni dapat menyebabkan gangguan ritme jantung.
Meski demikian, kedua obat ini masih tetap dapat digunakan untuk pengobatan sesuai dengan indikasi yang telah disetujui.
3. IvermectinÂ
Ivermectin yang merupakan anti-parasit (obat cacing) juga sempat diberitakan memiliki efek penyembuhan terhadap pasien Covid-19. Namun seperti yang dikutip dari laman BPOM, saat ini belum ada bukti ilmiah yang cukup untuk mendukung publikasi tersebut.
Sebagai informasi, Ivermectin sebagai obat cacing di Indonesia juga masih tergolong baru dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter karena juga termasuk dalam golongan obat keras. Oleh sebab itu ada baiknya agar masyarakat juga berhati-hati, dan tidak membeli obat ini secara sembarangan (misal melalui platform online).
Well, penelitian masih terus berjalan. Bukan tidak mungkin jika di kemudian hari ketiga obat ini dinyatakan memiliki efek penyembuhan terhadap Covid-19. Begitu pula dengan obat-obat lainnya. Namun demikian ada baiknya penggunaannya tetap harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaru yang mendukung.
Obat Baru dan EUA (Emergency Used Authorization)
Meskipun pengembangan obat baru untuk mengatasi pandemi Covid -19 berkejaran dengan waktu, setiap obat yang akan digunakan untuk pengobatan Covid-19 ini tetap harus diawasi dengan ketat dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.
Oleh sebab itu, masyarakat sangat diharapkan untuk tidak gegabah jika ada informasi terkait obat-obat yang diklaim mampu mengobati Covid-19, karena ketika suatu obat diklaim mampu mengobati penyakit tertentu, harus ada bukti ilmiah yang memadai terkait keamanan (safety), khasiat (efficacy), dan mutu (quality).
Baca juga: Jalan Panjang Penemuan Obat Baru
Nah, karena proses pengembangan obat baru hingga obat tersebut memperoleh izin edar membutuhkan waktu yang cukup lama, sementara kondisi pandemi adalah situasi darurat, disinilah dibutuhkannya EUA.
EUA ini sifatnya dinamis karena obat-obat dengan EUA terus dipantau aspek keamanan dan khasiatnya selama penggunaannya melalui mekanisme farmakovigilans yakni, seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat (WHO).
Baca juga: Mengenal Apa Itu EUA
Oleh sebab itu jangan heran apabila badan otoritas terkait bisa mencabut kembali EUA yang sudah diterbitkan, jika ditemukan bukti baru dimana risikonya lebih besar dari manfaat. Selain itu persetujuan EUA hanya berlaku hingga ditetapkannya akhir masa kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat oleh pemerintah.
Sampai tulisan ini saya publikasikan, EUA yang sudah diterbitkan oleh BPOM untuk obat Covid-19 antara lain:
1. Remdesivir
Remdesivir memiliki aktivitas anti-virus spektrum luas dalam melawan virus RNA seperti SARS, MERS, dan Ebola. Antivirus ini bekerja dengan menghambat RNA-dependent RNA polymerase (RdRp), yakni suatu enzim yang berperan dalam proses replikasi (penggandaan) virus. Dan hingga saat ini Remdesivir masih diteliti efikasinya dalam melawan virus SARS-CoV-2.
Bentuk sediaan Remdesivir adalah serbuk injeksi yang harus dilarutkan lebih dulu sebelum pemakaian melalui infus intravena.
2. Favipiravir
Favipiravir merupakan pro-drug (obat yang yang harus mengalami perubahan lebih dulu dalam sel tubuh untuk menjadi bentuk senyawa aktif) yang bekerja secara selektif menghambat RdRp virus influenza, sehingga proses replikasi virus terhambat.
Obat ini diberikan secara oral dan saat ini hanya untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih dengan derajat Covid-19 ringan hingga sedang, dan dikombinasikan dengan obat pendukung lainnya.
3. Regdanvimab
Regdanvimab merupakan antibodi monoklonal, yakni protein buatan yang meniru sistem kekebalan tubuh manusia untuk melawan antigen yang berbahaya seperti virus.
Obat ini bekerja dengan mengikat reseptor pada protein spike virus SARS-CoV-2. Protein spike ini berbentuk seperti paku-paku yang menancap pada permukaan virus dan memiliki afinitas kuat dengan reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) yang menempel pada beberapa organ penting manusia seperti paru-paru, jantung, ginjal dan usus. Dengan demikian virus dan reseptor sel manusia tidak dapat berinteraksi sehingga menurunkan kemampuan virus untuk masuk ke dalam sel tubuh.
Pemberian Regdanvimab melalui larutan infus untuk pengobatan Covid-19 hanya pada pasien dewasa yang tidak memerlukan terapi oksigen dan yang memiliki risiko tinggi mengalami Covid-19 derajat berat.
Molnupiravir, Obat Baru yang Lebih Menjanjikan?
Baru-baru ini beredar informasi bahwa Menkes Budi Sadikin berencana untuk mendatangkan Molnupiravir dalam waktu dekat. Nah, apa sih Molnupiravir itu?
Molnupiravir merupakan obat (antivirus) yang awalnya dikembangkan oleh Emory Institute of Drug Development yang kemudian diakuisisi oleh salah satu perusahaan besar farmasi AS.
Seperti Favipiravir, Molnupiravir merupakan pro-drug yang harus berubah menjadi bentuk senyawa aktif lebih dulu untuk dapat memberikan efek terapeutik. Molnupiravir bekerja dengan memasuki viral genome (materi genetik) virus dan menyebabkan akumulasi mutasi genetik dan mengacaukan replikasi virus.
Berdasarkan hasil Uji Klinik Fase I, Molnupiravir dapat ditoleransi dengan baik oleh subjek tanpa menimbulkan efek samping yang serius. Sementara itu hasil Uji Klinik Fase II, Molnupiravir memiliki efikasi tinggi dalam menurunkan viral load SARS-CoV-2 pada nasofaring (saluran pernafasan atas) dengan profil keamanan yang menguntungkan.
Saat ini Molnupiravir sudah memasuki tahap Uji Klinis Fase 3 dengan  lingkup yang lebih luas baik dalam hal jumlah subjek penelitian dan area studi yang terdiri dari berbagai negara.Â
Dan berdasarkan hasil pendahuluan (pada 29 hari pengamatan terhadap 2 kelompok subjek yang diberikan Molnupiravir dan plasebo) menunjukkan bahwa Molnupiravir dapat menekan risiko rawat inap atau kematian pada pasien dewasa dengan derajat Covid-19 ringan hingga sedang yang tidak dirawat di rumah sakit, hingga 50%.
Jika dilihat dari hasil studi Uji Klinis, nampaknya Molnupiravir memang cukup menjanjikan. Apalagi obat ini memiliki kemampuan untuk bekerja secara langsung pada materi genetik virus. Baru-baru ini otoritas pengawasan obat Inggris (Medicine and Healthcare product Regulatory Agency / MHRA)t elah menerbitkan Conditional Marketing Authorization (CMA) atas Molnupiravir, untuk dapat digunakan oleh publik.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita tunggu kabarnya saja ya?
Referensi:
PIONAS | MHRA | Science Direct | MDPI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H