Itu baru macet. Belum lagi ditambah banjir gara-gara sistem drainase yang tidak rapi dan terawat. Beberapa tahun lalu saya pernah luntang-lantung di jalan sejak pagi hingga sore akibat terkepung banjir saat perjalanan ke kantor.Â
Boro-boro sampai ke kantor, mau balik kanan pulang pun tak bisa karena seketika tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Duh, bencinya sampai ke ubun-ubun! Gak terbayang mereka yang rumahnya jadi langganan kebanjiran di musim hujan.
Tapi herannya, dua masalah ini nampaknya tidak pernah tuntas. Alhasil macet dan banjir menjadi seperti identitas Jakarta. Kesel gak sih dengernya? Ibu kota Indonesia Raya kok terkenal macet dan banjir.
Gak cuma macet dan banjir, saya juga benci dengan tindakan kejahatan yang sering terjadi di Jakarta. Ketimpangan status ekonomi dan sosial masyarakat di Jakarta sangat jelas terlihat. Kalau kata orang sih, yang kaya tambah kaya, yang miskin ya miskin aja terus.
Coba lihat, ada banyak rumah yang desainnya super mewah bak istana sultan minyak. Bahkan ada kawasan perumahan elit yang punya dermaga dan speedboat pribadi di pekarangan rumahnya. Iya DERMAGA! Bukan cuma taman berumput Jepang. Sampai kadang saya bingung sendiri, kiranya apa pekerjaan si empunya rumah?
Tapi di sisi lain, rumah-rumah temporer yang terbuat dari papan dan kayu sederhana yang letaknya di gang-gang kecil seperti labirin yang bikin pusing atau di pinggir sungai juga tidak kalah banyak. Boro-boro punya dermaga pribadi, kalau banjir datang bisa jadi papan-papan rumah inilah yang akan jadi perahu alias hanyut.
Mereka yang punya kekayaan tujuh turunan biasanya juga memiliki kebebasan terhadap akses pendidikan dan kesehatan. Jadi bisa bebas mau sekolah di dalam atau luar negeri. Kalau sakit, tinggal telepon langsung masuk kamar VIP.
Belum lagi kalau orang-orang kaya ini juga punya koneksi ke pemangku-pemangku jabatan. You know what I mean, kan?
Lalu bagaimana dengan mereka yang hidup dengan segala keterbatasan?Â
Tempat tinggal terbatas, makan-minum terbatas, tidur terbatas, pendidikan terbatas, akses kesehatan terbatas, hiburan terbatas, lapangan pekerjaan pun terbatas. Pokoknya semua serba terbatas deh.
Tak heran ketimpangan semacam ini ujung-ujungnya membutakan orang-orang tertentu yang kondisinya tersudut untuk melakukan kejahatan atau pekerjaan yang tidak halal demi menyambung nyawa. Miris ya?