"Tiga belas abad yang lalu sekumpulan seniman dan rohaniwan yang sampai sekarang tidak diketahui namanya, mendirikan sebuah bangunan dari batu masif di suatu daerah yang dianggap keramat di Jawa tengah dan dilingkungi oleh beberapa gunung berapi".
Entah sudah berapa kali saya naik ke Candi Borobudur, Candi Buddha terbesar di Indonesia yang pernah masuk dalam jajaran The Seven Wonders of the World (Tujuh Keajaiban Dunia), yang dibangun pada masa Wangsa Syailendra. Dan setiap kali itu pula, saya selalu takjub melihat betapa cantik, eksotis, dan kokohnya situs ini. Tak habis pikir saya bagaimana hebatnya orang-orang zaman dahulu yang membangun candi ini dengan peralatan dan perlengkapan yang masih tradisional berabad-abad yang lalu.
Saya bahkan pernah sengaja ikut tur Borobudur Sunrise dan membayar harga tiket berkali-kali lipat, demi menuntaskan rasa penasaran saya seperti apa rasanya naik ke candi saat pagi-pagi buta. Menikmati keheningan dan udara pagi sambil menunggu terbitnya matahari dari balik pegunungan yang berkabut. Magisnya bukan main. Tapi yah, sekali saja cukup sih. Soalnya mehong (mahal) sih! Hihihi...
Baca ceritanya juga: Mengejar Fajar Borobudur
Meski sudah ke sekian kalinya saya berkunjung ke Candi Borobudur, sebetulnya saya belum pernah mengamati secara detail cerita yang terukir pada relief-relief Borobudur, karena keterbatasan waktu. Yah maklumlah, namanya juga turis ya. Sejarah mengenai Borobudur saya serap sepotong demi sepotong dari berbagai brosur, bacaan, penjelasan pemandu wisata, dan pameran di museum. Jadi ketika saya menemukan buku yang ditulis oleh Daoed Joesoef ini, saya langsung merasa: 'Ini dia!'
Blurb
Berdasarkan tampilan candi dan temuan huruf yang sama pada bagian kaki candi dengan beberapa prasasti dari akhir abad VIII sampai awal abad IX, disimpulkan bahwa Candi Borobudur merupakan candi Buddha dibangun sekitar tahun 800M pada masa pemerintahan Raja Smaratungga dari Wangsa Syailendra yang pernah memerintah Jawa Tengah.
Nyatanya, Candi Borobudur pernah hilang dari pandangan karena tertutup timbunan tanah dan semak belukar sampai ke tubuh candi. Pada tahun 1814 ketika Indonesia dikuasai Inggris, Letnan Gubernur Inggris sekaligus Wali Negara di Indonesia, Sir Thomas Stanford Raffles, diberitahu tentang keberadaan Candi Borobudur. Ia mengutus Cornelius, seorang ahli dalam masalah percandian, untuk membuka dan membersihkan situs. Setelah itu, dilakukan berbagai usaha untuk memelihara keutuhan candi, termasuk pemugaran candi.
Pada tanggal 10 Agustus 1973 setelah melalui banyak proses perundingan, pemerintah Indonesia bersama UNESCO dan beberapa negara anggota yang bersedia membantu pemugaran candi, memulai proses pemugaran besar-besaran. Pemugaran ini tentunya melibatkan banyak ahli dari berbagai bidang ilmu, yakni arkeologi, arsitektur, fisika, seismologi, teknologi konstruksi, hingga mikrobiologi, analisis foto, dan lainnya. Sepuluh tahun kemudian pada tanggal 23 Februari 1983, pemugaran Candi Borobudur dinyatakan selesai dengan sukses dan menghabiskan total biaya 24 juta Dollar AS!
Menurut kosmologi India, alam semesta dibagi menjadi 3 dunia yakni, Kamdhatu (Dunia Hasrat), Ruapadhatu (Dunia Rupa), dan Arupadhatu (Dunia Tanpa Rupa). Sebagian orang mungkin ada yang mengira bahwa Candi Borobodur memiliki ruang kosong di bawahnya kerena strukturnya bertingkat, namun faktanya candi ini dibangun di atas tanah yang berundak. Ketiga dunia tadi diwakili oleh undakan-undakan pada candi.
Kamadhatu diwakili oleh kaki candi. Kelima undakan di atasnya mewakili Rupadhatu yang kaya dengan hiasan dan ukiran. Sedangkan tiga batur bundar beserta stupa induknya melambangkan Arupadhatu yang tanpa hiasan atau ukiran.
Pada bagian Rupadhatu dan Arupadhatu, ada banyak arca Buddha yang bisa kita temui. Secara sekilas mungkin arca-arca tersebut terlihat sama, namun jika diperhatikan ada perbedaan pada sikap tangannya (mudra). Setiap arca yang menghadap arah yang sama (timur, barat, utara, selatan) memiliki mudra yang sama. Kecuali arca di langkan kelima dimana semua arca memiliki mudra yang sama ke manapun arca tersebut menghadap. Kelima macam mudra tersebut antara lain, Bhumispras-mudra, Abhaya-mudra, Dhyana-mudra, Wara-mudra, dan Dharmacakra-mudra.
Nah ya, saya tidak mau banyak-banyak spoiler. Intinya ada banyak informasi yang mungkin jarang diketahui orang tentang Candi Borobudur, ada dalam buku ini. Jadi lebih baik pembaca kepoin sendiri yah!
Bagi sebagian orang (termasuk saya), membaca buku sejarah kadang terasa membosankan. Tapi meski buku ini boleh dikatakan termasuk dalam genre sejarah, penulis telah menyajikan kisah dan sejumlah fakta mengenai Candi Borobudur dengan sangat apik, menarik, padat namun tidak bertele-tele.
Buku ini juga menyertakan beberapa ilustrasi yang kebanyakan berupa sketsa gambar. Ilustrasi-ilustrasi ini sangat membantu pembaca untuk membayangkan dan memahami penjelasan-penjelasan tertentu, misal mengenai struktur candi.
Dengan demikian ketika suatu saat pembaca mengunjungi Candi Borobudur, pembaca akan lebih mudah memahami ketika pemandu wisata menjelaskan mengenai sejarah, struktur, dan keindahan candi. Atau kalau suatu saat pembaca memiliki waktu yang santai untuk mengamati candi, boleh juga tuh ikut cek dan ricek beberapa informasi yang kita peroleh dari buku ini. Misal soal arca dengan beberapa tipe mudra tadi, atau melihat Stupa Bhima yang terkenal, atau seperti apa bentuk 'The Unfinished Buddha' yang terkenal misterius itu.
Bahkan kalau pembaca sekalian menjadi pemandu wisata dadakan untuk anggota keluarga yang baru pertama kali mengunjungi Candi Borobudur, buku ini sangat membantu lho. Oleh sebab itu buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh semua kalangan, mulai dari pelajar hingga dewasa.
Moral Cerita
Sebagai warga negara Indonesia, saya bangga kita memiliki Candi Borobudur. Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari hadirnya situs bersejarah ini. Dengan membaca buku ini, kita menjadi lebih mengenal seluk-beluk Candi Borobudur, sehingga diharapkan kita dan generasi-generasi selanjutnya memiliki kesadaran diri untuk mencintai dan memelihara peninggalan bersejarah sebagai warisan umat manusia.
Selain itu, karena fokus utama buku ini adalah Candi Borobudur yang bernuansa agama Buddha, sedikit banyak pembaca juga mempelajari tentang sejarah agama Buddha di Indonesia. Dengan demikian, pembaca diharapkan memiliki toleransi terhadap keberagaman agama dan budaya yang ada di Indonesia.
Jadi gimana, pembaca sekalian tertarik membaca buku ini? Atau ada yang sudah pernah baca? Cerita di kolom komentar yah!
Judul buku: Warisan Umat Manusia Borobudur
Penulis: Daoed Joesoef
Penerbit & tahun terbit: Kompas (2015)
Jumlah halaman: 176Â halaman
Rating pribadi: 5/5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H