Ketika si anak masih single dan belum memiliki tanggungan lain, mungkin tidak masalah. Tapi biasanya konflik akan muncul ketika si anak juga sudah memiliki keluarga sendiri yang harus dinafkahi. Maka terjadilah fenomena Generasi Sandwich tadi. Ibarat daging ham dalam roti sandwich, si anak terjepit di antara dua generasi
Menghindari Pemikiran Toxic Positivity dengan Komunikasi Dua Arah
Well, saya sependapat bahwa sebagai seorang anak sudah sepatutnya untuk berbakti kepada orangtua. Bentuk bakti juga bermacam-macam, meski kalau dipikir-pikir mau sebanyak apapun balas budi kita, tetap saja tidak bisa "melunasi" kebaikan dan pengorbanan orangtua pada kita.
Tapi faktanya, tidak semua anak-anak yang sudah lepas dari orangtuanya (dalam hal ini karena si anak telah memiliki keluarga sendiri) memiliki kemapanan finansial sehingga sanggup menanggung biaya hidup dua keluarga (keluarganya sendiri dan keluarga orangtuanya).
Jika mengingat bagaimana luar biasanya pengorbanan orangtua dalam merawat dan mendidik kita sejak kecil, memang kurang pantas rasanya menganggap bahwa menanggung biaya hidup orangtua di masa tua mereka adalah beban. Tapi kenyataannya bagi beberapa keluarga muda yang kurang beruntung dalam hal finansial, hal tersebut memang betul-betul beban.
Jangankan menanggung hidup orangtua, buat makan keluarga tiga kali sehari saja susahnya minta ampun. Belum lagi kebutuhan anak-anak dan dana pendidikan, dana kesehatan, dan lain sebagainya.Â
Dan pastinya akan terasa semakin berat ketika kebetulan orangtua memiliki "peninggalan" berupa hutang di sana-sini, sehingga mau tak mau anak-anaknya harus berpartisipasi membantu melunasi hutang-hutang orangtuanya.
Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah ketika menanggung biaya hidup dua keluarga dirasa cukup memberatkan, jangan menyangkalnya dengan pikiran toxic positivity yang justru bisa semakin menjerumuskan diri ke dalam lingkaran setan.
Toxic Positivity yang saya maksud di sini misalnya pemikiran-pemikiran pasrah semacam, "Yah mau gimana lagi. Memang udah takdir. Hitung-hitung nabung pahala," atau "Anggap aja balas budi biar orangtua juga senang & gak diomongin orang", atau pemikiran-pemikiran lain yang seakan-akan memaksa kita untuk menerima keadaan seperti itu sebagai sesuatu yang lumrah, dan bukannya mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Jadi menurut saya, yang perlu dilakukan adalah mengkomunikasikannya dengan pasangan dan orangtua untuk mencari penyebab dan jalan keluarnya.Â
Tentu komunikasi harus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan sedemikian rupa supaya tidak menyinggung hati orangtua maupun pasangan.Â
Bagaimana solusi terbaik supaya orangtua memahami kesulitan anaknya, tapi di sisi lain si anak juga tidak berarti mengabaikan orangtuanya.