Writing daily journal is one of our way to save our memories, to look back to our life and let the people in the future know about us and our stories - irmina gultom.
Pembaca sekalian, apakah di antara kalian ada yang masih menulis buku atau jurnal harian saat ini? Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa menulis buku harian hanya untuk orang-orang yang melankolis atau introvert atau mereka yang cenderung sulit untuk menyuarakan pikiran dan isi hati.
Ada juga yang mengasosiasikan bahwa menulis buku harian cuma untuk kalangan cewek-cewek saja. Hal ini karena umumnya kaum hawa lebih mengutamakan sisi emosionalnya sehingga cenderung memendamnya dalam hati ketika mengalami suatu peristiwa atau merasakan sesuatu. Oleh sebab itu buku harian adalah media yang cocok untuk mengeluarkan isi hati dan pikiran tanpa harus merasa malu.Â
Berbeda dengan cowok-cowok yang tidak segan-segan mengutarakan secara langsung jika ada yang mengusik pikiran atau hatinya. Benar gak tuh ya?
Mungkin waktu masih sekolah dulu, kita masih suka menulis buku harian. Apalagi kalau buku hariannya punya cover dengan desain lucu dan keren. Membuat kita tambah semangat untuk menulis. Biasanya sih, selalu diawali dengan kata-kata pamungkas 'Dear diary...', kemudian diakhiri dengan tanda tangan. Ya khan?
Seiring bertambahnya usia, ketika kita beranjak dewasa dan mengenyam dunia kerja, ada kalanya kita menjadi jarang, bahkan tak lagi melanjutkan kebiasaan menulis buku harian.
Ya iyalah, nulis buku harian kan cuma buat anak-anak sekolah atau kuliahan. Isinya juga paling-paling curahan hati soal naksir kakak kelas, atau cinta bertepuk sebelah tangan, atau berantem sama pacar. Kalau sudah kerja mana ada waktu buat nulis-nulis gituan. Cuma bikin tangan pegal. Mending cerita langsung sama teman atau posting di medsos sekalian.
Ada yang berpikir demikian?
Well, bagi saya istilah jurnal harian mungkin lebih relevan saat ini dibandingkan buku harian. Di zaman teknologi canggih seperti sekarang, belum tentu semua merekam peristiwa-peristiwa penting dalam hidup dengan menulis secara manual pada buku harian kan? Meski demikian, saya sendiri hingga saat ini masih menulis di buku harian.
Saya memulai menulis buku harian sejak Januari 2002. Kira-kira kelas 1 SMP. Saat itu saya termasuk rajin dalam menulis buku harian. Hampir setiap hari.Â
Isinya macam-macam, mulai dari soal sekolah, teman, keluarga, pencapaian, dan sebagainya. Beranjak SMA, topiknya bertambah soal naksir-naksiran, kegalauan hati soal rencana pendidikan, dan lain sebagainya.
Ketika kuliah, saya mulai jarang menulis buku harian karena kesibukan di perkuliahan farmasi sungguh luar biasa. Meski begitu, saya tetap menuliskan peristiwa-peristiwa penting yang saya alami.Â
Dan tetap berlanjut ketika saya mulai bekerja hingga sekarang. Kalau dihitung-hitung, total sudah ada tujuh buku harian yang saya tulis. Dan saya berencana akan tetap terus menulis buku harian, karena itulah cara saya mengabadikan riwayat hidup saya.
1. Melepas Stres
Kadang ada kalanya kita merasa penat akibat tekanan yang dialami saat menjalani pendidikan, pekerjaan, atau mungkin tekanan dari lingkungan sosial. Kadang kita merasa jenuh dan tidak tahu harus berbuat apa.Â
Hal-hal semacam ini tentunya bisa membuat kita stres. Namun ketika kita tidak bisa atau tidak nyaman untuk mencurahkan apa yang kita alami kepada orang lain, menulis jurnal harian bisa menjadi salah satu cara melepas stres. Dengan menulis, kita bisa mengeluarkan unek-unek tanpa perlu merasa malu, apalagi dihakimi.Â
Tidak peduli tutur bahasa kita berantakan, alur maju-mundur, tulisan seperti cakar ayam, panjang atau pendek. Pokoknya kita menulis sampai puas.
Jadi daripada kita mencurahkan stres dan kegalauan hati di media sosial, lebih baik kita menuliskannya di jurnal. Bukan tidak mungkin, setelah kita lebih tenang karena telah mencurahkannya dalam tulisan, pikiran kita jadi lebih jernih dalam menghadapi suatu permasalahan.
2. Self Reminder
Dalam jurnal harian, saya pernah menuliskan impian-impian saya, cita-cita saya, dan hal-hal lain yang ingin saya capai di masa depan. Menulis jurnal harian bisa menjadi pengingat bagi kita sendiri mengenai hal-hal yang ingin kita raih di masa depan.Â
Seperti apa target jangka pendek maupun jangka panjang kita, apa saja yang sudah dicapai, apa yang belum dan bagaimana strategi yang harus kita terapkan untuk mencapainya.
Oh ya, dari jurnal harian itu pula, saya jadi ingat kembali kalau dulu saya pernah ingin jadi penulis karena banyak membaca novel. Dan rupanya kini keinginan saya tercapai. Walaupun bukan sebagai penulis novel, saya senang bisa menjadi salah satu penulis di Kompasiana.Â
Selain itu, saat ini saya juga berniat untuk menerbitkan paling tidak satu buku, supaya lebih afdol jadi penulis. Hehe.. Doakan saya yah supaya bisa terwujud.
3. Refleksi Diri Tentang Hal-hal yang Sudah Kita Lewati
Hingga tulisan ini saya publikasikan, selama delapan belas tahun saya sudah merekam kehidupan saya. Dan selama itu pula, terkadang saya membuka dan membaca kembali catatan-catatan saya.Â
Tentu sudah banyak peristiwa yang saya alami, pencapaian yang telah saya raih, hingga kesalahan yang sudah saya perbuat. Apa yang saya tulis di sana dapat saya gunakan untuk refleksi diri.Â
Bagaimana saya harus menjalani hidup saya selanjutnya, kesalahan apa yang tidak boleh saya ulang, pencapaian dan hal-hal apa yang bisa saya jadikan motivasi untuk menjalani hidup dengan lebih baik.
4. Merekam Kenangan Suka-Duka
Bagi pembaca sekalian yang masih suka menulis jurnal harian, pernah senyum-senyum dan tertawa dan menangis sendiri saat membaca ulang catatan yang dituliskan di masa lalu?Â
Well, menurut saya ini pengalaman berharga loh. Di saat kita mulai lupa terhadap detail peristiwa-peristiwa penting yang kita alami, rekaman pada jurnal harian membantu kita untuk mengingat kembali saat-saat itu.Â
Sama halnya dengan hobi saya mengabadikan kenangan melalui foto-foto yang saya ambil. Boleh dibilang, jurnal harian adalah kenangan detailnya, sementara foto adalah kenangan visualnya.
Oleh sebab itu, meski saya sudah tidak terlalu sering lagi menulis jurnal harian, sebisa mungkin saya menyempatkan diri untuk menuliskan peristiwa-peristiwa penting yang saya alami.
Tidak hanya yang senang-senang saja, yang sedih pun saya tulis karena memang hidup tidak selalu indah bukan? Biasanya sih, saya meluangkan waktu khusus saat akan menulis jurnal harian supaya saya bisa menuliskannya dengan detail. Tapi tidak terlalu detail pun tidak masalah, yang penting poin-poin utamanya ada.
5. Melatih Kemampuan Menulis
Nah, ini sudah pasti ya. Kalau saya membaca kembali jurnal yang saya tulis tahun 2002 hingga saat ini, gaya penulisan saya sungguh berbeda. Mulai dari yang alurnya berantakan, lama kelamaan jadi lebih terstruktur. Dulu ternyata saya juga suka menyingkat kata saat menulis, tapi sekarang sudah mulai berkurang.Â
Jadi boleh dibilang, menulis jurnal harian secara otomatis akan membuat kita berlatih menulis yang baik dan benar. Apalagi kini saya juga menulis di Kompasiana yang memberi saya lebih banyak lagi pelajaran tentang menulis dan pastinya mempraktikkan kemampuan menulis saya.
Jadi setelah membaca kembali seluruh jurnal harian saya, ternyata ada begitu banyak perubahan tren yang sudah saya alami sebagai generasi 90-an. Mulai dari tren koleksi kertas binder dan stiker warna-warni hingga koleksi perangko. Mulai dari hobi main karet dan bola bekel, gamebot, Tamagotchi, sampai main game di komputer.Â
Mulai dari merekam lagu-lagu di radio dengan kaset bekas, mendengarkan lagu lewat walkman, discman, sampai MP3 dan Ipod. Mulai dari nonton dengan televisi yang "berkonde" di rumah tetangga, sampai punya televisi LED layar datar. Mulai dari hobi nonton film telenovela, film India, hingga drama Korea.Â
Mulai dari mengumpulkan koin untuk antre di telepon umum, wartel (warung telepon), punya telepon rumah sendiri, hingga punya handphone sendiri. Mulai dari pakai handphone yang berukuran tebal dan berat dengan ringtone monophonic/polyphonic, sampai pakai smartphone yang tipis dengan teknologi touchscreen.Â
Mulai dari pakai disket Dos di komputer yang besar dan "berkonde" sampai pakai USB dan memory card di laptop super tipis. Mulai dari chatting "ASL PLS" di mIRC, Friendster, Facebook, Twitter, BBM, hingga WhatsApp, Line dan Instagram. Dan pastinya, saya juga mengalami beberapa kali perubahan mata uang Rupiah. Luar biasa ya?
Entah perubahan tren apa lagi yang akan saya alami di masa depan. Tapi pastinya saya akan mencatatnya di jurnal harian saya. Meski saya bukan orang terkenal yang biografinya dibaca banyak orang, mungkin suatu saat keturunan saya akan mengenal saya lewat foto-foto dan jurnal harian yang saya kumpulkan? Siapa tahu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H