Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obrolan Tengah Malam

26 Juli 2020   15:09 Diperbarui: 26 Juli 2020   15:42 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Etnis Lahu | Ilustrasi: themirrorfoundation.org

Pembaca yang budiman, selain suka mengoleksi dan membaca buku, saya juga punya hobi mengoleksi pajangan berupa boneka dengan pakaian tradisional. Boneka-boneka tersebut umumnya saya bawa langsung dari tempat-tempat yang saya pernah saya kunjungi, atau titipan yang saya minta secara khusus dari teman, rekan kerja atau keluarga terdekat yang kebetulan pergi ke luar negeri.

Bagi saya mengoleksi boneka berpakaian tradisional tersebut menjadi kesenangan sendiri karena saya bisa mengenang perjalanan saya atau malah memotivasi saya untuk mengunjungi tempat dari mana boneka tersebut berasal.

Untuk menjaga supaya boneka tersebut tidak rusak dan warna pakaiannya tidak memudar, boneka-boneka tersebut saya bungkus plastik lebih dulu sebelum dimasukkan ke lemari pajangan. Saya tata sedemikian rupa supaya elok dipandang mata.

Tapi, tahukah pembaca yang budiman? Boneka-boneka yang menghuni lemari pajangan saya di kamar ini, ternyata bukan boneka biasa. Meski dari luar boneka ini tampak seperti boneka pada umumnya, ternyata mereka bisa bicara! Ah, yang bener aja nih..

Awalnya saya juga tidak menyadarinya. Sampai kemudian suatu malam ketika tidur, saya mendengar suara bisik-bisik di kamar saya yang gelap gulita. Padahal saya yakin tidak ada orang yang masih terjaga di tengah malam seperti itu. Nah loh!

Eh, tapi kok saya tahu saat itu sudah tengah malam? Ya soalnya dari luar terdengar suara pak satpam perumahan yang memukul tiang listrik dengan pentungan. Seakan jadi tanda bahwa saat itu sudah tengah malam dan semua orang sebaiknya pergi tidur. Di lingkungan tempat tinggal kalian ada yang seperti itu juga?

Oke jadi balik lagi ke suara bisik-bisik tadi. Meski saya tidak bangun dan membuka mata, ibarat menara ATC (Air Traffic Control) di bandara, radar di telinga saya dalam posisi siaga dan saya berusaha menajamkan pendengaran. Jantung saya beregup cepat seperti genderang penanda perang. Semakin lama, saya semakin yakin bahwa memang ada suara beberapa orang wanita sedang mengobrol pelan-pelan. Dan suara itu berasal dari lemari pajangan saya! Tempat boneka-boneka itu saya letakkan.

Beberapa koleksi suvenir dari berbagai tempat | Dokumentasi pribadi
Beberapa koleksi suvenir dari berbagai tempat | Dokumentasi pribadi
Herannya, ternyata rasa penasaran mengalahkan rasa takut saya. Maka sambil tetap berbaring dan menutup mata, saya mendengarkan obrolan boneka-boneka di lemari saya. Mereka berbahasa Indonesia tapi dengan kosakata yang campur-campur macam es campur dan aksen berbeda.

"Halo semuanya! Kayaknya si Irmina udah pules banget tuh. Kita udah bisa ngobrol-ngobrol sekarang," kata si boneka Bali dengan suara halus. "Perkenalkan, saya Deepika dari Indonesia. Kalian tahu Indonesia kan?"

"Konnichiwa! Saya Masumi Hisano dari Jepang. Indonesia itu di mana ya?" tanya si boneka Jepang berpakaian Kimono sutera berwarna merah-biru yang dihiasi bordiran benang keemasan sambil mengipasi dirinya sendiri.

"Aduh, kamu gak tahu Indonesia? Tapi kamu tahu Bali kan? Tepatnya saya dari Bali. Hobi saya menari Pendet," balas Deepika sambil memeragakan salah satu gerakan Tari Pendet.

"Ah, ya. Saya pernah dengar Bali. Pemilik saya sebelumnya pernah ke Bali. Katanya Bali itu indah dan eksotis. Pantainya, budayanya, juga Pura-nya," kata Masumi. Deepika hanya mesem-mesem karena masih ada saja yang mengenal Bali, tapi tidak mengenal Indonesia.

"Annyeonghashimnikka.. Myung Hee imnida (halo, nama saya Myung Hee). Saya dari Joseon," kata si boneka Korea yang memakai Hanbok (pakaian tradisional Korea) berwarna hijau-merah muda yang cerah.  Kedua tangannya diselipkan dibalik Jeogori-nya. Oh ya, Joseon adalah nama wilayah Korea pada zaman dulu.

"Kalau kamu dari mana?" tanya Masumi pada boneka bermata sipit berbaju merah. Di kepalanya terdapat topi dengan bentuk yang unik dengan hiasan bunga warna kuning-jingga berukuran besar. Ia tampak membawa lampion dengan warna yang serasi dengan Changyi (pakaian tradisional wanita Dinasti Qing) yang dipakainya.

"Wan an! Owe punya nama Ming Yue aaa.. Owe dari Dinasti Qing," jawab Ming Yue. "Kalau kalian berdua dari mana?" tanyanya pada sepasang muda-mudi bertopi bulu.

"Saya Sukhbataar dan ini kekasih saya Sarangerel. Kami dari dataran Mongolia, yang dikenal juga sebagai Negara Langit Biru karena kami punya langit cerah berwarna biru hampir sepanjang tahun," jawab Sukhbataar bangga.

Unta Mongolia berpunuk dua | Ilustrasi: koryogroup.com
Unta Mongolia berpunuk dua | Ilustrasi: koryogroup.com
"Ah! Mongolia itu negara yang jumlah ternaknya lebih banyak dari manusianya ya?" tanya wayang Rama. "Saya juga pernah dengar kisah tentang Gengis Khan yang terkenal itu."

Sukhbataar tersenyum, "Ya, Genghis Khan adalah pahlawan yang sangat kami hormati. Kami juga punya banyak ternak mulai dari kuda, domba, yak, rusa, hingga unta berpunuk dua yang merupakan hewan khas Mongolia."

"Eh iya, perkenalkan saya Rama dan ini istri saya Sinta," kata wayang Rama.

 "Ah yaa! Owe pernah dengar kalian punya cerita laaa. Saya sering dengar dari turis negara saya yang datang ke Indonesia untuk menonton petunjukan Rama dan Sinta di Bali atau di Jogjakarta. Cerita kalian terkenal sekali! Kalau ada kesempatan, saya mau nonton kapan-kapan," balas Ming Yue sehingga membuat wayang Sinta tersipu malu.

Sambil merapikan rambut hitam panjangnya, Deepika beralih ke Masumi. "Kamu bagaimana bisa sampai kemari?"

"Oh, dulu aku sebenarnya seorang Geisha yang tinggal di Kyoto. Tapi aku baru pindah ke Tokyo setelah Jepang kalah perang. Saya menyukai hidup saya sebagai Geisha jadi saya minta kepada para dewa supaya saya bisa menjadi Geisha abadi. Saya sempat berpindah-pindah kepemilikan, sampai akhirnya saya dibeli dan dibawa kemari," jelas Masumi.

Ilustrasi Geisha di Jepang | Sumber: tsunagujapan.com
Ilustrasi Geisha di Jepang | Sumber: tsunagujapan.com
"Geisha itu apa?" tanya Sarangerel polos. Bulu-bulu di topinya berkibar saat ia menoleh.

Masumi menjelaskan dengan sabar sambil tetap mengipasi dirinya dengan kipas berwarna keemasan. "Geisha itu wanita penghibur di Jepang yang pandai berias, menari, melukis, bermain musik, membaca puisi dan melakukan upacara minum teh. Tapi jangan salah, Geisha atau Geiko bukan PSK alias Pekerja Seks Komersil loh ya. Sebelum menjadi Geisha, seorang wanita bahkan belajar macam-macam keterampilan seni cukup lama dan disebut sebagai Maiko. Jadi boleh dikatakan Geisha itu adalah seorang seniman wanita. Kalau kalian mau melihat Geisha masa kini, coba datang ke Gion. Siapa tahu kalian beruntung melihat Geisha yang lewat."

"Oh, seperti Gisaeng nampaknya. Kalau di Joseon, ada Gisaeng yang menghibur para Yangban (bangsawan). Kurang lebih mirip Geisha. Dulu saya punya teman, mantan seorang Gisaeng yang cukup terkenal. Dia juga mengenal salah satu Gisaeng paling legendaris, namanya Hwang Jini.Tapi sekarang kelihatannya sudah tidak ada lagi Gisaeng. Orang-orang lebih suka musik K-Pop dan Drama Korea yang isinya Oppa dan Ahjussi tampan," balas Myung Hee tidak mau kalah.

"Oh ya, kamu siapa? Kok diam saja dari tadi?" tanya wayang Sinta pada boneka wanita di belakangnya.

"Sawatdhee Khrap, nama saya Siriporn dan yang saya gendong ini anak saya. Saya orang Lahu atau dikenal juga sebagai Suku Bukit dari Chiang Mai," jawab boneka cantik berpakaian hitam dengan motif warna-warni.

"Chiang Mai itu di mana?" tanya Sukbataar.

"Chiang Mai itu daerah pegunungan di sebelah utara Thailand. Negara yang letaknya sebelahan dengan negara Mbak ini," jawab Siriporn sambil menunjuk boneka keramik yang mengenakan Ao Dai (pakaian nasional Viet nam untuk wanita) berwarna biru yang melambai-lambai.

Etnis Lahu | Ilustrasi: themirrorfoundation.org
Etnis Lahu | Ilustrasi: themirrorfoundation.org
"Xin chao, saya Linh Minh dari Viet Nam," sapa Linh Minh malu-malu kucing. Ia memindahkan posisi topinya ke tangan kanan karena sudah pegal.

"Itu kamu bawa-bawa topi terus kemana-mana?" tanya Sarangerel penasaran.

Linh Minh memutar-mutar topinya yang berbentuk kerucut. "Oh ya, soalnya aku penari Mua Non, jadi aku bawa topi ini terus supaya bisa sekalian latihan."

Para boneka dari berbagai macam negara itu pun terus mengobrol dan kadang tertawa-tawa hingga menjelang pagi.

"Eh, sudah mau pagi. Lebih baik sekarang kita berhenti mengobrol sebelum Irmina bangun untuk siap-siap berangkat ke kantor," kata Myung Hee sambil merapikan Eoyeo Meori-nya.

Masumi pun melakukan hal yang sama dengan hiasan rambut Shimada-mage nya (tatanan rambut Geisha) dan membetulkan posisi berdirinya sambil membuka kipas lipatnya yang berwarna keemasan. Sementara itu Linh Minh kembali memindahkan posisi topinya ke tangan kiri.

"Eh, Ming Yue. Posisi lampionmu salah tuh. Nanti kalau si Irmina sadar posisi lampionmu berubah, bisa ketakutan dia," tegur Sarangerel.

Wayang Rama dan Sinta pun cepat-cepat mengatur posisi dalam kotak mereka dan Siriporn pun kembali berdiri tegak.

Tak lama setelah para boneka kembali diam dalam posisi semula, alarm saya pun berbunyi nyaring. Saya terbangun kaget, lalu cepat-cepat menghampiri lemari saya dan mengamati boneka-boneka itu dengan seksama. Kelihatannya sih tidak ada yang berubah. Lampion Ming Yue tetap tergantung pada kayu yang dipegangnya, Linh Minh tetap memegang topinya di sebelah kiri dan Masumi tetap dalam posisi menarinya.

Tapi saya yakin mereka semua mengobrol tadi malam. Sayangnya saya ketiduran di tengah-tengah obrolan mereka, jadi saya tidak mendengarkan hingga selesai. Jujur meski saya merasa setengah takut setengah takjub, saya tidak mau membuang boneka-boneka tersebut, karena siapa tahu suatu saat di tengah malam saya berani ikut mengobrol dengan mereka tentang kehidupan mereka sebagai boneka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun