Sejak pertama kali diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) selama pandemi Covid-19 dimana ketika semua orang diharuskan untuk mengkarantina diri di rumah (kecuali bekerja dan hal penting lainnya), saya tidak pernah lagi pergi ke Kebun Raya Bogor di akhir minggu untuk berolahraga.
Tapi pagi ini setelah sekian lama tidak berolahraga di luar ruangan, akhirnya saya memutuskan untuk morning walk alias jalan pagi ke kompleks Kebun Raya Bogor, sekalian melihat situasi dan kondisi terkini di sana karena PSBB sudah dilonggarkan. Loh, gak takut kena virus?
Saya sempat lihat pemberitaan di media online, bahwa ketika jalan Sudirman di Jakarta kembali dibuka untuk CFD (Car Free Day), jalan tersebut langsung dipenuhi banyak orang sehingga kelihatannya himbauan untuk tetap social distancing dan physical distancing jadi terabaikan.Â
Hal ini menimbulkan banyak kritikan, "Kenapa sih olahraga aja harus jauh-jauh ke jalan Sudirman yang rame begitu? Itu mah sama aja akan meningkatkan kasus positif Covid-19 lagi". Bahkan singkatan CFD sempat diplesetkan menjadi Corona Free Day, saking banyaknya kerumunan di jalan protokol tersebut.
Well, tanpa bermaksud memihak, menurut saya sah-sah saja berolahraga di luar, yang penting tetap menerapkan 'jaga jarak aman' dan memakai masker bila perlu.
Tapi kalau olahraganya banyak melibatkan gerakan kardio seperti naik sepeda dan jogging, sebaiknya tidak menggunakan masker. Saat berolahraga kardio, tubuh kita akan menghasilkan CO2 (karbon dioksida) lebih banyak. Dan ini akan membahayakan seseorang jika ia menggunakan masker karena menghalangi pertukaran udara.
Selama saya jalan pagi di Kebun Raya pagi ini, saya pun menerapkan hal yang sama, yakni jaga jarak aman. Namun apa yang saya lihat pagi ini betul-betul membuat saya heran. Jumlah pesepeda ternyata lebih banyak dari biasanya.
Yah, meskipun tidak sampai mengalahkan jumlah yang jogging atau jalan kaki. Bahkan saya melihat di beberapa titik jalur khusus sepeda, tampak terjadi kemacetan karena antrean atau karena berpapasan dengan yang jalan kaki.
Aktivitas bersepeda kembali menjadi tren setelah diberlakukannya New Normal. Berawal dari larangan berboncengan dengan kendaraan motor saat PSBB lalu, banyak orang yang mulai beralih menggunakan sepeda sebagai transportasi. Penjualan sepeda pun meningkat pesat.
Orang-orang mulai membeli sepeda dengan berbagai macam tipe. Mulai yang biasa-biasa saja sampai yang didukung berbagai fitur modern seperti gear (gigi), ban antislip, dan lainnya. Mulai dari yang seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Mulai dari sepeda biasa hingga sepeda lipat.
Dan tidak hanya sepeda, perlengkapannya pun tak kalah laku. Helm, pelindung siku dan lutut, manset, sepatu, kacamata dan lainnya. Barang-barang tersebut mendadak jadi banyak jenisnya karena ada banyak demand (permintaan) pembeli.
Jadi selama jalan pagi tadi, ketika melihat begitu banyak pendatang baru di dunia persepedaan, alias pesepeda dadakan, saya jadi teringat beberapa jenis olahraga yang dulu sempat tren. Mulai dari lari. yoga dan pilates, hingga aerobik macam zumba.
Saat Olahraga Dipandang sebagai Tren
Dulu, waktu aktivitas lari jadi tren, orang berbondong-bondong beli sepatu lari. Mulai dari yang tidak bermerek sampai yang branded dengan harga jutaan rupiah. Mereka bahkan mulai banyak yang latihan treadmill atau bahkan ikut ajang lari maraton. Namun nyatanya setelah beberapa bulan, sepatu lari pun tak pernah lagi keluar dari rak sepatu.
Lalu ketika olahraga yoga dan pilates naik daun, orang berbondong-bondong membeli matras warna-warni dan ikut kelas yoga atau pilates di pusat kebugaran (gym). Mereka bahkan rela membayar biaya kelas dan keanggotaan (member) yang lumayan mahal untuk beberapa kali pertemuan dalam seminggu, hingga sewa instruktur pribadi.
Namun setelah beberapa bulan, mereka mulai mencari-cari alasan untuk tidak mengikuti kelas dan lebih memilih nongkrong di mal dengan teman-teman. Terbuanglah dengan sia-sia uang yang sudah dibayar di muka.
Kemudian ketika olahraga aerobik seperti zumba juga naik daun, orang-orang mulai ramai beli kostum senam. Beberapa orang yang memiliki minat yang sama, bahkan rela patungan dan merogoh kocek lebih dalam untuk memanggil instruktur zumba. Fenomena ini biasanya terjadi di kompleks perumahan maupun kantor. Namun setelah beberapa lama, pesertanya satu per satu menghilang.
Sekarang, bersepeda kembali menjadi tren. Sebenarnya agak miris juga sih karena kesadaran bersepeda orang-orang justru dipicu dengan adanya pandemi Covid-19, bukannya murni dari keinginan diri sendiri untuk menjalani gaya hidup sehat dan mengurangi polusi udara.
Jangan Cuma Sekadar Ikut-ikutan
Meski demikian, saya tetap mengapresiasi keinginan tersebut. Tapi kalau bisa, semoga para pesepeda tersebut tidak cuma ikut-ikutan alias latah dengan tren yang ada. Jangan menjadi orang yang FOMO (Fear of Missing Out) yakni takut ketinggalan tren yang sedang berlangsung.
Saran saya sih, baiknya kalau olahraga dilakukan dengan sungguh-sungguh dan usahakan untuk konsisten (dalam hal frekuensi). Jadi jangan cuma ikut-ikutan tren dan latah scrolling online shop untuk membeli perlengkapan olahraga kekinian atau daftar member sana-sini, tapi ujung-ujungnya tidak dipakai ketika sudah tidak lagi jadi tren. Dan kalau olahraga, jangan kebanyakan selfie atau candid-nya. Apalah arti sebuah pencitraan.
Jujur saya sendiri lumayan kesulitan mendisiplinkan diri untuk olahraga teratur. Apalagi godaan untuk bangun siang saat akhir minggu suka lebih besar, karena setiap harinya saya harus berangkat subuh untuk ke kantor dan baru sampai di rumah saat hari sudah gelap. Sementara itu saya lebih suka berolahraga saat pagi hari.
Jadi boro-boro ikut-ikutan tren olahraga kekinian. Bagi saya, olahraga memang merupakan suatu aktivitas fisik yang harus dilakukan untuk menjaga kebugaran.
Baca Juga: Suatu Saat Permainan Catur akan Menjadi Olahraga yang Menghibur
Saya juga memilih jenis olahraga yang menurut saya paling cocok dengan diri saya, yakni jalan pagi, pilates atau bersepeda. Meskipun saya tidak expert dalam melakukan ketiga olahraga tersebut, tapi saya berusaha untuk konsisten melakukannya.
Saat bersepeda, lakukanlah dengan tertib. Menggunakan perlengkapan pelindung dengan baik dan benar, menggunakan jalur yang sesuai, serta mematuhi rambu-rambu yang ada. Jangan mentang-mentang naik sepeda, jadi merasa paling benar dibandingkan mereka yang menggunakan kendaraan bermotor (motor atau mobil).Â
Saya jadi ingat pernah membaca buku yang ditulis oleh salah satu Kompasianer (Mbak Gana Stegmann) tentang serba-serbi hidup di Jerman. Di buku tersebut ada bab yang menceritakan bahwa pendidikan bersepeda yang baik dan benar telah diajarkan sejak masih anak-anak.
Bahkan di sana ada SIM untuk mengemudi sepeda! SIM ini akan didapat seseorang setelah mengikuti kursus dan ujian tertentu, supaya mereka bisa bersepeda di jalan raya. Kalau tidak punya SIM, ya palingan cuma bisa bersepeda keliling kompleks.
Ngomong-ngomong saya jadi penasaran, kira-kira kebiasaan bersepeda ini bakal tahan berapa lama ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H