Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hikmah di Balik Momen Terendah yang Dialami

15 Juni 2020   14:16 Diperbarui: 24 Juni 2020   02:35 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cita-cita menjadi dokter (Ilustrasi: healthline.com)

Coba ingat-ingat, dulu waktu kalian masih kecil kalau ditanya "Sudah besar nanti mau jadi apa?" pasti jawabannya tidak jauh-jauh dari nyanyiannya Susan feat Kak Ria Enes zaman dulu. "Susan, Susan, Susan, besok gede mau jadi apa? Aku kepingin pinter, biar jadi dokter!" Atau mungkin profesi lainnya yang beken-beken macam Pilot, Polisi, Artis, Guru, sampai jadi Presiden.

Saya gak tahu sih, anak-anak zaman sekarang seleranya sudah berubah atau belum. Tapi yang jelas, baik dulu maupun sekarang, saya rasa tidak ada yang jawab mau jadi Apoteker.

Sebelum saya lanjutkan, boleh dibilang tulisan saya kali cerita tentang pengalaman saya saat mengalami titik terendah (setidaknya hingga saat ini). Dan sejujurnya saya belum pernah cerita kepada siapapun soal ini karena saya malu. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya saya cerita. 

Apalagi kebetulan juga berkaitan dengan awal pendidikan saya di dunia farmasi. Jadi lumayan pas juga dengan momen lulus-lulusan saat ini.

Siapa tahu di luar sana ada adik, kakak, sepupu, keponakan, atau bahkan Kompasianer sendiri yang merasakan hal yang kurang lebih sama, mungkin ada baiknya baca tulisan saya kali ini supaya lebih semangat. Tulisan kali ini lumayan panjang, semoga tidak bosan. Hehehe...

Maksud Hati Kepingin Jadi Dokter, Tapi...
Kembali ke topik. Saya sendiri dulu kalau ditanya soal cita-cita, jawaban saya lumayan random dan sering berubah-ubah, tergantung apa yang menginspirasi saya pada saat itu. 

Mulai dari mau jadi penulis setelah suka baca buku Goosebumps karya R.L. Stine, lalu berubah ingin menjadi wanita karir gara-gara nonton film telenovela, hingga mau jadi arkeolog setelah baca buku sejarah. Tak sekalipun kata 'apoteker' tercetus dari pikiran maupun mulut saya.

Begitu beranjak remaja saat saya masuk SMP, cita-cita saya berubah lagi yakni ingin menjadi seorang psikolog karena terdengar keren, sampai akhirnya cita-cita saya berakhir untuk menjadi seorang dokter (lagi) dan bertahan terus hingga menjelang masuk SMA. 

Dan dengan demikian, saya mulai serius mempersiapkan diri demi bisa mengikuti ujian masuk Fakultas Kedokteran.

Cita-cita menjadi dokter (Ilustrasi: healthline.com)
Cita-cita menjadi dokter (Ilustrasi: healthline.com)
Cita-cita menjadi dokter tersebut berawal dari omongan-omongan orang lain yang mengatakan bahwa untuk menjadi seorang dokter (atau minimal bisa kuliah jurusan kedokteran) nilai mata pelajaran Biologi harus bagus. Kebetulan sekali, semasa SMP nilai-nilai mata pelajaran Biologi saya cemerlang. 

Saya bahkan menjadi salah satu siswi favorit guru Biologi karena prestasi saya itu dan selalu menjadi panutan untuk teman-teman lainnya. Dan karena itulah saya merasa telah memenuhi syarat untuk memiliki cita-cita sebagai dokter. Tapi rupanya pikiran saya ini terlalu polos.

Saking cintanya saya pada mata pelajaran tersebut, saya bahkan sampai ikut kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) Biologi! Padahal kegiatan ekskul tersebut tak ubahnya semacam kelas tambahan dan menjadi salah satu kegiatan ekskul yang paling sepi peminat.

Namun demikian saya (dan beberapa siswi lain) menyukainya karena kegiatannya lebih banyak berpusat pada praktikum daripada belajar teori. Bahkan ada beberapa percobaan yang tidak dilakukan di kelas regular, namun saya dapatkan di kegiatan tersebut. Saya merasa punya kebanggaan tersendiri karena sudah mempelajari sesuatu yang belum dipelajari oleh murid lainnya.

Cita-cita saya menjadi dokter semakin mantap ketika memasuki program penjurusan di SMA. Pada masa saya sekolah saat itu, ada dua penjurusan di SMA yakni IPA dan IPS yang dimulai pada kelas XI (setara kelas 2 SMA). 

Jadi saya menyadari bahwa, sebagai langkah awal menuju cita-cita saya sebagai dokter adalah dengan masuk kelas IPA (tentunya kelas IPS tidak bisa dijadikan bekal untuk mendaftar di Fakultas Kedokteran). Dan ketika saya tembus kelas IPA, bukan main senangnya saya pada saat itu, apalagi kedua orangtua saya.

Sesuai tren pada masa itu, kelas IPA memiliki predikat sebagai kelas yang paling prestisius, karena terkenal dengan 'penghuninya' yang berotak encer. 

Oleh sebab itu hanya murid-murid terpilih yang dinilai mampu masuk dan bertahan di kelas tersebut. Dan karena ketatnya proses seleksi, biasanya jumlah muridnya pun tidak sebanyak murid kelas IPS, sehingga menjadikan kelas tersebut semakin terkesan eksklusif.

Jadi kalau ada teman atau anggota keluarga yang bertanya "Masuk jurusan apa di sekolah?" begitu kita menjawab IPA, pasti komentar mereka tidak jauh-jauh dari "Wah hebat ya bisa masuk IPA", atau "Ih, pinter ya. Padahal masuk IPA kan susah tuh", atau "Pasti mau jadi dokter ya nanti?" dan pujian-pujian lain yang bisa membuat perasaan happy nan melayang karena bangga.

Saya sendiri merasa sangat excited begitu dinyatakan lulus kelas IPA. Namun nyatanya kelas IPA tak seindah yang saya bayangkan! Saya tidak menyangka kelas IPA 'sesulit' itu. Tiga bulan pertama saya di kelas IPA, saya bagai terkena shock therapy.

Jurusan IPA Tak Seprestisius yang Dibayangkan
Selama kurang lebih lima jam kali lima hari, mata pelajaran yang saya ikuti didominasi pelajaran eksak dan sains yakni MaFiABio (Matematika IPA, Fisika, Kimia, Biologi). 

Hari-hari saya mulai berpusat seputar Trigonometri, Integral, Matriks, Hukum Pascal, Termodinamika, Rantai Karbon, Mitosis-Meiosis dan lainnya. Kalau diingat-ingat, rasanya saat itu isi kepala saya bisa meledak kapan saja. Ambyar!

Anak jurusan IPA (Ilustrasi: rencanamu.id)
Anak jurusan IPA (Ilustrasi: rencanamu.id)
Belum lagi saat itu guru matematika saya tergolong killer (tahu dong tipe guru killer itu seperti apa?) Bahkan sebelum guru tersebut menginjakkan kaki di kelas, saya sudah lebih dulu merasa waswas karena takut tidak bisa menjawab saat diminta mengerjakan soal di papan tulis (walaupun memang sering tidak bisanya daripada bisanya). 

Akibatnya saya sulit berkonsentrasi di kelas saking terus merasa waswas. Bahkan beliau tidak segan-segan berkomentar "Kalau kalian seperti ini terus, pasti kalian tidak bisa lulus Ujian Nasional" yang justru semakin membuat saya dan teman-teman lain yang senasib, merasa semakin down dan ketakutan.

Kalau guru matematika saya terkenal killer, lain halnya dengan guru fisika. Alih-alih killer, beliau justru terkenal sebagai guru yang terkenal suka guyon alias bercanda. Ibarat gayung bersambut, beliau paling gampang terpancing jika diajak ngobrol ngalor-ngidul oleh teman-teman saat di kelas.

Akibatnya dari total 90 menit pelajaran, separuhnya habis dengan tawa dan canda. Saya yang kebetulan logika fisika-nya tidak terlalu 'sampai', akhirnya semakin 'tidak sampai'.

Alhasil saat ulangan (ujian mingguan), saya (hampir selalu) hanya mampu menulis tiga komponen jawaban dasar khas fisika berupa 'Diketahui, Ditanya dan Rumus' tanpa menyelesaikan jawabannya. Atau bahkan menuliskan jawabannya tanpa bisa menjabarkan alurnya!

Dengan demikian setiap kali ulangan matematika dan fisika, saya juga hampir selalu menjadi langganan peserta 'her' (ulangan perbaikan / remedial). Miris banget kan, peserta kelas IPA tapi selalu ikut her. Pokoknya pada masa itu, kalau sudah dapat nilai minimal sebagai syarat tidak ikut her, rasanya senang luar biasa!

Oleh sebab itulah saya sempat beberapa kali merasa salah jurusan dan menyesal masuk ke kelas IPA. Sering kali saya bertanya-tanya, mengapa pula saat itu saya sok-sokan masuk kelas IPA padahal saya sadar betul kemampuan eksak saya tidak sebaik kemampuan menghafal.Namun karena gengsi serta terlalu berpegang pada kemampuan di bidang Biologi dan Kimia saja, saya hampir 'jatuh' karena Fisika dan Matematika. 

Saya bahkan merasa agak iri dengan teman-teman lainnya karena mereka kelihatannya tidak merasakan kesulitan dan ketakutan yang sama besarnya dengan saya. Ya betul, saya ketakutan!

Mengalami Titik Terendah
Puncaknya adalah ketika saya dan beberapa teman lain dipanggil oleh guru BP gara-gara hasil Try Out yang jelek. Kami mendapat peringatan bahwa jika tidak ada perubahan, kami terancam tidak lulus Ujian Nasional (UN). Sebagai informasi, pada masa itu UN masih menjadi salah satu komponen utama dalam penentuan kelulusan siswa.

Bukan main takutnya saya waktu itu. Tidak terbayang bagaimana malu dan kecewanya orangtua saya nanti jika anaknya tidak lulus UN. Apalagi biaya sekolah saya waktu itu lumayan mahal alias menguras kantong dan tenaga orangtua, karena sekolah saya adalah Yayasan Katolik.

Saya semakin tidak tega pada orangtua saya, kalau biaya sekolah sebanyak itu terbuang sia-sia jika saya tidak lulus UN. Belum lagi gunjingan yang pasti muncul di kalangan keluarga, mengingat pendidikan menjadi salah satu faktor penting yang diutamakan dalam keluarga saya yang notabene adalah orang Batak.

Kesedihan (Ilustrasi: ibcd.org)
Kesedihan (Ilustrasi: ibcd.org)
Komentar macam "Ish, bodok kali anaknya itu. Bisa-bisanya gak lulus UN. Gak pernah belajarnya dia? Jadi apalah anaknya itu nanti?", atau "Ya ampun, kasian kali mamaknya itu. Mahal-mahal disekolahinnya anaknya itu, tapi gak lulus UN pulak. Entah berapa duit mamaknya itu habis", atau yang lebih parah lagi "Ya ampun, kok bisa sampai gak lulus UN. Kek mana mau kuliah dia? Mana ada kampus yang mau terima ijazah Paket C. Dikawinkan sajalah anaknya itu", sudah terbayang di benak saya. Ngerinya bukan main!

Akhirnya segala macam cara saya lakukan untuk meningkatkan nilai saya. Mulai dari ikut kelas tambahan, ikut belajar kelompok di luar jam sekolah, les privat berkelompok, hingga mengerjakan soal latihan UN setiap malam. 

Pokoknya sudah seperti persiapan ujian masuk universitas. Dan akhirnya setelah berdarah-darah... SAYA LULUS JUGA, meskipun dengan nilai yang biasa-biasa saja.

Namun cerita tidak berhenti di situ. Nilai saya yang biasa-biasa saja itu, pada akhirnya mulai menjauhkan saya dari cita-cita saya untuk masuk Fakultas Kedokteran. 

Saya bahkan mengikuti BTA (Bimbingan Tes Alumni) untuk persiapan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dengan biaya yang lumayan mahal untuk program enam bulan, namun ternyata tidak berhasil juga. 

Pendaftaran saya ke FK alias Fakultas Kedokteran di beberapa universitas swasta juga gagal bersaing karena nilai-nilai saya yang tidak memenuhi standar.

Bahkan saya sempat mendaftar seleksi Fakultas Psikologi di salah satu universitas swasta, hingga seleksi masuk STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi negara), saking putus asanya. Dan sayangnya, tidak lolos juga.

Saya akui dengan jujur, itulah pertama kalinya saya betul-betul merasa down. Merasa terbuang. Saya bahkan merasa malu dan sering bertanya-tanya, "Apakah benar saya sebodoh itu?". 

Untuk pertama kalinya saya merasa tidak yakin akan jadi apa saya di masa depan. Saya tidak punya plan B sehingga saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan jika plan A gagal.

 Saya tahu, meskipun di luar saya berusaha tampak biasa-biasa saja, orangtua saya juga merasakan kekhawatiran yang sama. Dan hal itu semakin membuat saya merasa bodoh dan tidak berguna. 

Berulang-ulang dua kata tersebut muncul di pikiran saya. Mungkin kalau saya tidak memikirkan orangtua saya, pasti saya sudah jatuh ke lingkaran depresi.

Titik Balik
Di tengah-tengah keputusasaan saya saat itu, salah seorang sahabat Bapak yakni Alm. Drs. G.P. Sinurat, Apt. (yang belakangan baru saya ketahui bahwa dia adalah salah satu dosen di fakultas farmasi), bertanya pada saya "Mau tidak kalau masuk kuliah Farmasi?". 

Memang sebelumnya Bapak sudah pernah menanyakan hal itu, namun karena hanya sambil lalu, saya tidak terlalu menganggap serius.

Mahasiswa farmasi (Ilustrasi: uta45jakarta.ac.id)
Mahasiswa farmasi (Ilustrasi: uta45jakarta.ac.id)
Saya bukannya buta sama sekali tentang Farmasi, tapi yang saya ketahui saat itu, ilmu Farmasi adalah ilmu yang mempelajari tentang obat-obatan. 

Beberapa kakak kelas yang sudah lulus SMA, pernah menceritakannya saat kelas BK (Bimbingan & Konseling) di SMA. Namun saya tidak tahu persis kuliahnya seperti apa dan pekerjaan apa saja yang tersedia untuk lulusan Farmasi.

Jadi begitu saya ditawari kembali, saat itu juga saya berpikir, tidak ada salahnya juga untuk dicoba. Toh, ilmu Farmasi juga berkaitan dengan ilmu kedokteran. Saya bahkan berencana untuk mencoba masuk Farmasi dan satu tahun kemudian saya akan coba ikut tes SNMPTN untuk masuk FK lagi.

Saat itu juga saya merasa semangat saya mulai kembali sedikit demi sedikit. Dan akhirnya dengan bantuan beliau, saya diperbolehkan untuk ikut tes masuk karena sebenarnya periode tes masuk sudah lewat. 

Untungnya saya lolos tes dan dalam waktu sekitar satu bulan, saya mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti Orientasi Mahasiswa Baru bersama sekitar lima puluh orang lainnya tahun angkatan 2007.

Jalan akan selalu ada kalau kita semangat dan berniat baik
Tak disangka, justru keputusasaan dan kegagalan itulah yang mempertemukan saya dengan dunia Farmasi yang kini saya geluti. Cieilehh... Meskipun saya sempat merasa down dan tidak tahu lagi harus bagaimana, saya mencoba tetap berusaha berpikir positif dan berdoa.

Saya meyakini, Yang Di Atas selalu punya jalan yang unik untuk masing-masing orang. Kita boleh berusaha, tapi Dia yang memutuskan. Jadi ketika kita sudah berusaha untuk mencapai keinginan namun terus saja gagal, bisa jadi ada jalan lain yang sudah disiapkan untuk kita. Tinggal kita mau mencoba menerimanya atau tidak.

Apa yang ingin saya bagikan di sini adalah, kita boleh memiliki tujuan, target atau apapun itu karena hal itu akan menjadi motivasi untuk mengembangkan diri. Tapi memang ada hal-hal yang mungkin berjalan tidak sesuai keinginan, sehingga kita perlu membuka diri terhadap kesempatan lainnya. 

Jalan akan selalu ada kalau kita semangat dan berniat baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun