Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Betapa Leganya Kami Ketika Commuter Line (Tidak) Jadi Disetop

21 April 2020   07:00 Diperbarui: 22 April 2020   12:05 1563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marka antrean di depan pintu masuk stasiun (Dokumentasi Pribadi)

Sejak saya pindah domisili ke daerah Bogor dua tahun yang lalu, Commuter Line menjadi transportasi publik utama yang saya andalkan karena saya bekerja di Jakarta. 

Bangun pagi-pagi lalu berdesak-desakan saat rush hour sudah jadi makanan sehari-hari saya bersama Anker (Anak Kereta) lainnya. Tapi itu tidak masalah karena Commuter Line lah transportasi yang paling efisien, cepat, dan tentunya pas di kantong.

Saat pertama kali kasus positif Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia awal Maret lalu, beberapa orang rupanya terkena serangan panik sehingga mereka memborong kebutuhan pokok di supermarket. Takut jika terjadi lockdown seperti di Wuhan dan kota-kota lainnya yang menerapkan kebijakan yang sama. Bagaimana dengan saya?

Jujur saya belum sampai pada tahapan panik seperti itu. Saat itu saya berpikir, jika saya ikut-ikutan melakukan aksi panic buying seperti itu, justru akan menstimulasi orang lain untuk melakukan hal yang sama dan pada akhirnya akan menyebabkan kelangkaan barang dan berujung pada kenaikan harga barang yang tidak masuk akal. 

Seperti yang sudah terjadi pada komoditi masker dan hand sanitizer. Belakangan, produk Suplemen Kesehatan yang mengandung Vitamin C, B complex, ekstrak jahe (bahkan jahe itu sendiri) mulai susah didapatkan. Kalaupun ada, harganya sudah naik.

Hari demi hari, minggu demi minggu, kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi semakin meningkat. Dan ketika tanggal 10 April lalu Jakarta akhirnya menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), banyak orang mulai resah. 

Pasalnya penggunaan kendaraan umum semakin dibatasi kapasitasnya yakni diturunkan hingga lima puluh persen. Apalagi ojek online (ojol) maupun ojek pangkalan (opang) tidak diperbolehkan lagi mengangkut penumpang. 

Padahal ojek adalah transportasi andalan saya yang kedua untuk mencapai kantor, setelah Commuter Line. Bagaimana dengan saya? Jujur, saya masih tidak terlalu panik karena saya masih bisa naik angkutan mobil meskipun ongkos yang saya keluarkan semakin bengkak.

Beberapa hari setelah PSBB diterapkan, saya kembali ngantor karena saya bergiliran WFH (Work From Home) dengan rekan kerja yang lain. Apa yang saya temui saat saya sampai di stasiun membuat saya kaget luar biasa.

Suasana antrean di depan pintu masuk stasiun saat pagi (Dokumentasi Pribadi)
Suasana antrean di depan pintu masuk stasiun saat pagi (Dokumentasi Pribadi)
Pagi itu saya tiba di stasiun sekitar pukul 5.20 pagi. Masih gelap, tapi kerumunan para Anker yang seluruhnya memakai masker, sudah nampak hingga ke jalan. 

Ternyata kami diharuskan mengantre untuk masuk ke stasiun. Kenapa harus antre? Karena jumlah penumpang yang masuk ke stasiun, dibatasi hanya 30 orang setiap kali ada kereta arah Jakarta yang berangkat.

Hal ini dilakukan untuk membatasi jumlah penumpang yang masuk ke dalam gerbong kereta, karena setiap gerbong jumlah penumpang yang bisa naik hanya 60 orang saja. Jadi supaya penumpang dari stasiun-stasiun berikutnya kebagian, mulai dari Bogor, jumlah penumpang yang naik dibatasi. 

Alhasil kebijakan ini membuat pengguna kereta harus berangkat lebih pagi, supaya tidak terlambat sampai di tempat kerja. 

Apalagi jam keberangkatan pertama dan terakhir Commuter Line juga harus ikut disesuaikan sedemikian rupa, supaya bisa memenuhi aturan jam operasional kendaraan umum selama PSBB yakni dimulai pukul 6.00 pagi hingga 18.00 sore.

Untungnya, jumlah total pengguna Commuter Line sudah jauh berkurang sejak diberlakukannya kebijakan WFH. Terbayang chaos-nya seperti apa jika jumlah penumpang yang naik Commuter Line masih normal, tapi yang boleh naik dibatasi.

Marka antrean di depan pintu masuk stasiun (Dokumentasi Pribadi)
Marka antrean di depan pintu masuk stasiun (Dokumentasi Pribadi)
Selain kebijakan pembatasan jumlah penumpang, protokol lainnya juga tetap diterapkan terutama soal jaga jarak. Baik di area stasiun maupun di dalam gerbong, telah ditempel marka-marka untuk menandai dimana orang boleh duduk atau berdiri. 

Bagaimana dengan saya? Jujur, saya menghargai usaha pemerintah dan pihak KCI yang mengeluarkan kebijakan ini. Meskipun bagi saya agak annoying karena harus antre saat pagi-pagi buta.

Namun ketika saya mendengar informasi bahwa tanggal 18 April lalu operasional Commuter Line akan dihentikan, saya panik luar biasa. Oke, mungkin saya terkesan barle (barlebihan; dibaca dengan logat Batak) karena lebih mengkhawatirkan tidak bisa naik Commuter Line daripada mengkhawatirkan kesehatan. 

Tentu saya khawatir dengan kesehatan saya ketika saya terpaksa harus keluar rumah, begitu juga dengan keluarga saya di rumah karena mereka juga terekspos oleh saya. Tapi perlu diingat, PSBB adalah pembatasan, bukan pelarangan total. Lain ceritanya jika yang terjadi adalah lockdown.

Itu sebabnya pemerintah masih mengizinkan perusahaan yang bergerak di 8 sektor tertentu untuk tetap beroperasi. 

Kedelapan sektor usaha tersebut antara lain kesehatan, pangan, energi, komunikasi, keuangan dan perbankan, logistik dan distribusi barang, retail, serta industri strategis yang beroperasi di Jakarta. Dan kebetulan, perusahaan tempat di mana saya bekerja termasuk dalam 8 sektor tersebut.

Jadi para netijen yang budiman, kalau ditanya pribadi, mungkin saya lebih memilih bekerja di rumah. Tapi karena alasan tersebut di atas dan kebetulan memang ada pekerjaan saya yang tidak sepenuhnya bisa dilakukan di rumah, maka mau tidak mau, suka tidak suka, saya tetap harus ke kantor walaupun tidak setiap hari.

Suasana & marka dalam gerbong KRL (Dokumentasi Pribadi)
Suasana & marka dalam gerbong KRL (Dokumentasi Pribadi)
Saya paham betul risiko yang saya hadapi, tapi sama seperti Anker lainnya yang masih harus bekerja keluar rumah, risiko ini tetap harus kami hadapi. Untuk itu kami juga sadar diri untuk tetap melakukan pencegahan dari diri sendiri.

Maka jika Commuter Line dihentikan, sudah terbayang kan bagaimana susahnya karyawan-karyawan dari kedelapan sektor tersebut berangkat ke tempat kerja? 

Selama masih ada perusahaan yang beroperasi di Jakarta selama PSBB berlangsung, maka demand publik terhadap operasional angkutan umum akan terus ada. 

Apalagi sebagian besar pekerja di Jakarta berdomisili di kota-kota satelit di sekitar Jakarta seperti Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Dan angkutan umum yang paling efektif dan efisien untuk menjangkau dari dan ke kota-kota tersebut, ya Commuter Line.

So para pejuang Anker di luar sana, mari kita sama-sama menjadi Anker yang kooperatif supaya kita bisa tetap beraktivitas namun tetap mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah demi kesehatan bersama.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait yang masih mengizinkan Commuter Line tetap beroperasi selama PSBB. 

Betapa ini sangat membantu kami untuk tetap produktif di tengah pandemi demi memenuhi kebutuhan keluarga dan masyarakat. Semoga pandemi Covid-19 ini bisa segera berlalu.

Stay safe and stay healthy. Cherio!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun