Ini masih cerita tentang perjalanan saya waktu pulang kampung akhir tahun 2019 lalu. Kalau pembaca sekalian pernah mengikuti tulisan-tulisan saya, tentunya sudah tahu dimana lokasi kampung saya? Well, lebih tepatnya sih kampung orangtua saya, karena sebetulnya saya sudah kelahiran Jakarta. Hehehe
Kebetulan sekali acara pulang kampung kemarin diikuti oleh rombongan dari keluarga Mama yakni keluarga besar Hutahaean, karena memang kami mengadakan acara syukuran di kampung Hutahaean yaitu Lumbanrihit di Laguboti.
Jadi setelah acara syukuran selesai, tanggal 29 Desember saya dan sebagian rombongan (karena sebagian lainnya pergi ke kota lain) memulai perjalanan ke Onan Runggu di Pulau Samosir untuk tahun baruan di rumah Ompung sekaligus menengok Ompung Doli yang saat itu sedang sakit (dan kini sudah almarhum).
Setelah diskusi panjang lebar, kami memutuskan untuk tidak menyeberang lewat Danau Toba dengan pertimbangan, pastilah antrian mobil yang akan menumpang kapal feri akan sangat panjang. Maklum, kalau liburan natal-tahun baru biasanya halak hita dari tanah perantauan akan berbondong-bondong pulang kampung. Membayangkannya saja sudah ngeri kali!
Oleh sebab itu, kami putuskan untuk lewat jalan darat melalui Tele. Sekalian supaya kami bisa keliling-keliling dan singgah di beberapa tempat wisata seperti Salib Kasih di Tarutung yang seumur-umur belum pernah saya kunjungi meskipun saya sudah bolak-balik Jakarta-Sumatera Utara. Tapi cerita tentang Salib Kasih saya tulis di artikel lain saja ya!
Singkatnya setelah kami berkunjung dari Salib Kasih, kami berencana untuk langsung melanjutkan perjalanan. Namun karena hari sudah terlalu sore, pastinya kami akan sampai di daerah Tele menjelang malam. Berhubung katanya jalan Tele itu agak seram karena berkelok-kelok di tepi jurang, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di sekitar Dolok Sanggul dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Well, jujur saya agak excited dan penasaran dengan perjalanan ini karena merupakan pengalaman pertama kalinya saya melewati Tele yang terkenal seram itu. Maklum, kalau saya ke Onan Runggu biasanya saya duduk santai di atas kapal penumpang atau kapal feri yang menyeberangi Danau Toba.
Kalau diperhatikan, kelihatannya jalan Tele ini memang sudah diperbaiki sehingga terasa mulus, serta dilengkapi pagar pembatas di sisi jurang sehingga lebih aman. Saya ingat dulu banyak saudara yang mengatakan kalau jalan Tele kurang bagus dan rawan longsor, sehingga mobil yang lewat harus berjalan pelan dan hati-hati.
Selain itu saya perhatikan juga kalau di beberapa titik jalan ini, telah dibuat area kecil untuk beristirahat dan duduk-duduk. Tentunya lokasinya cukup strategis dari segi pemandangan. Dengan catatan tidak ada kabut loh ya..
Singgah di Menara Pandang Tele
Ketika melewati jalan Tele, tentunya kurang lengkap kalau tidak mampir ke Menara Pandang Tele. Menara ini merupakan lokasi paling oke untuk menikmati keindahan panorama Danau Toba. Bangunan bertingkat empat dengan hiasan atap khas rumah adat Batak ini terletak di kecamatan Harian dan telah berdiri sejak tahun 80an. Dari sini, hanya butuh waktu sekitar 45 menitan untuk sampai di Pangururan, Samosir.
Dengan membayar retribusi yang tak sampai sepuluh ribu rupiah per orang, kita bisa masuk ke dalam menara untuk melihat-lihat keindahan Danau Toba dari atas.
Saya akui bahwa area ini memang spot yang oke untuk menikmati pemandangan Danau Toba. Tapi sayangnya menurut saya belum maksimal karena:
1. Menaranya kurang tinggi
Dari atas menara, kita memang bisa melihat cantiknya Danau Toba dari ketinggian. Tapi karena area Danau Toba yang memang dikelilingi perbukitan, pemandangan ke arah danau dan lembah agak terhalang oleh ketinggian pepohonan. Mungkin akan lebih baik jika ketinggiannya ditambahkan sedikit. Satu atau dua tingkat lagi mungkin? Jadi pengunjung bisa lebih leluasa memandang ke bawah.
Saat saya masuk ke dalam menara, keadaan bagian dalam menara yang kotor langsung menarik perhatian saya. Tidak hanya kotor, tapi juga berdebu. Kayu jendela dan pintu banyak yang rusak karena lapuk dan dimakan rayap. Selain itu kaca yang dipasang di sekeliling menara pada tingkat paling atas juga sudah kotor dan buram.Â
Kelihatannya jarang dibersihkan. Padahal kalau kacanya bersih, tentu akan lebih nyaman melihat pemandangan di luar. Untuk ukuran bangunan yang sudah lama berdiri dan sering dikunjungi wisatawan, sayang sekali kalau kebersihannya tidak terawat seperti itu.
3. Sarana pendukung kurang memadai
Tidak banyak sarana yang ditempatkan di area menara ini karena dari tingkat satu sampai paling atas plong begitu saja. Kalaupun ada bangku, sama kotornya dengan lantai. Entah karena saya kurang teliti, tapi saya juga tidak menemukan toilet di sekitar menara.
Saya jadi teringat saat berkunjung ke Namsan Tower di Seoul. Di lantai paling atas disediakan teropong untuk melihat objek yang jaraknya jauh, walaupun harus berbayar jika ingin menggunakannya. Mungkin bisa diadaptasi juga?
Meski begitu, di area Menara Pandang Tele ini sudah dilengkapi papan informasi tentang sejarah terbentuknya Danau Toba. Lumayan lah untuk menambah informasi bagi pengunjung.
Well, berhubung saya baru sekali ini mengunjungi Menara Pandang Tele, saya tidak tahu apakah di hari-hari lain kondisinya tidak seperti yang saya lihat. Kalaupun iya, semoga bisa menjadi perhatian bagi pengelola supaya bisa diperbaiki. Bagaimanapun lokasi ini sangat cocok jadi ikon wisata di daerah Tele dan bisa menarik banyak turis.
Sisi positifnya, Kawasan Menara Pandang Tele ini sudah ibarat rest area. Oleh sebab itu di sekelilingnya sudah banyak tempat makan sampai toko souvenir. Area parkir mobil juga tersedia meski tidak terlalu banyak. Pengunjung yang sudah capek menyetir atau duduk berjam-jam di mobil, bisa meregangkan kaki dan badan sejenak sambil menikmati pemandangan dan merasakan sejuknya udara.
Kamu sudah pernah ke sini belum?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H