Kalau saya ditanya, "Apa sih yang paling berkesan bagi saya saat mengunjungi Danau Toba?"
Jawaban saya selalu satu yakni, "Makan nasi panas ditemani ikan mas arsik di atas kapal saat menyeberangi Danau Toba."
Boleh dibilang jawaban saya ini berangkat dari pengalaman yang saya rasakan pertama kali, bertahun-tahun yang lalu saat saya masih duduk di bangku SD. Saat itu saya diajak orangtua saya mengunjungi Ompung (kakek & nenek) di Onan Runggu di Pulau Samosir.
Usai menempuh perjalanan darat yang panjang dari bandara Polonia, kami tiba di pelabuhan Ajibata di Prapat. Dulu saat bandara Kualanamu dan Silangit belum ada, perjalanan ke Prapat ditempuh dari bandara Polonia di kota Medan dalam waktu lima hingga enam jam dengan menggunakan mobil. Dari pelabuhan Ajibata, kami menumpang sebuah kapal motor menuju Onan Runggu selama sekitar dua jam.
Saat itu hari sudah mulai sore. Dan karena kami sudah lelah dan lapar, kami pun membeli makanan berupa nasi panas dan ikan mas arsik yang dijual oleh inang-inang (ibu-ibu) di kapal tersebut. Mungkin karena memang kelaparan, apalagi ditambah cuaca yang dingin, entah kenapa hidangan sederhana itu terasa begitu nikmat. Apalagi sambil disuapi Mama, mata saya disuguhkan dengan pemandangan birunya Danau Toba.
Mengulang Kenangan Masa Kecil
Usai menghadiri pemakaman Ompung seperti yang sudah saya ceritakan dalam artikel sebelumnya, saya beserta suami dan adik saya pun pulang ke Jakarta dengan menumpang pesawat dari Kualanamu. Namun sebelum ke Kualanamu, kami harus mencapai Prapat lebih dulu. Dari Prapat ke Kualanamu memerlukan waktu sekitar 3-4 jam dengan mobil.
Hari itu, saya bertekad untuk mengulang kembali kenangan saya di masa kecil. Yah setelah ompung pergi, entah kapan lagi saya bisa kembali ke Onan Runggu.Â
Kebetulan juga, suami saya juga belum pernah naik kapal penumpang menyeberangi danau terbesar se-Asia Tenggara ini, yang terbentuk puluhan ribu tahun yang lalu akibat letusan Super Volcano. Dahsyat yah kedengarannya? Hihihi.. Jadi saya ingin suami juga bisa merasakan pengalaman yang sama saat saya masih kecil dulu. So sweet khannn...
Begitu kami naik ke kapal, suami sempat merasa agak waswas. Maklum berita tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun tahun 2018 lalu, langsung muncul di kepalanya begitu saja. Tapi saya meyakinkan dengan memberi penjelasan bahwa cuaca pagi itu bagus, ombak tidak besar, rute Onan Runggu - Ajibata juga boleh dibilang aman dan muatan kapal juga jauh dari kata berlebih.
Umumnya kapal motor seperti ini terdiri dari dua tingkat/dek. Bagi mereka yang tidak suka terkena angin saat kapal berlayar, bisa duduk di dek bawah. Tapi bagi mereka yang ingin melihat pemandangan danau tanpa keberatan terkena angin bisa duduk di dek atas. Kalau saya sendiri sih lebih suka duduk di dek atas karena faktor pemandangan itu tadi.Â
Lagipula kalau duduk di dek bawah agak berisik karena dekat dengan suara mesin dan pastinya tercium bau solar yang lumayan kuat. Kecuali kalau naik kapalnya sore, mau tak mau saya pindah ke bawah. Di samping supaya tidak masuk angin, pemandangannya juga kurang bagus karena gelap.
Suaranya pun lantang mengalahkan suara deru mesin kapal ketika dia mengomel sedikit kepada nahkoda yang mengerem kapal agak mendadak. Pokoknya khas inang-inang Batak deh!
Dan karena kami juga memang belum sempat sarapan, sejak tali kapal dilepas dari penahan besi di pelabuhan, kami sudah bolak-balik menengok ke arah meja dagangannya. Dan kira-kira setelah setengah jam kapal berlayar, saya pun memesan dua piring nasi panas, satu ikan arsik, satu ikan bakar, segelas teh panas, segelas kopi dan satu cup mie instan.
Kami makan bersama di dek bawah bagian belakang sambil menikmati keindahan birunya Danau Toba yang cantik dan dikelilingi hijaunya Bukit Barisan. Rasanya? Tabooooo nai ateh! (Enak sekali). Kombinasi udara dingin pagi hari, hangatnya sinar mentari, birunya air, hijaunya perbukitan, plus nikmatnya nasi panas dan ikan arsik, luar biasa perfecto!
Saat itu juga saya merasa beruntung memiliki opung yang tinggal di Onan Runggu. Saya jadi bisa berkali-kali menyaksikan keindahan Danau Toba secara langsung di saat teman-teman saya mungkin belum memiliki kesempatan yang sama.
Pengalaman Otentik nan Sederhana yang Perlu Dipertahankan
Jujur hingga sekarang saya suka merasa heran mengapa pariwisata di Danau Toba dan sekitarnya lambat berkembang. Padahal dibandingkan dengan Bali dan lokasi-lokasi di timur sana, Danau Toba tidak kalah jauh dari segi alam, budaya tradisional, kuliner dan pengalaman unik lainnya.
Bagi saya menikmati kuliner khas Batak yang sederhana seperti ini saja, sudah merupakan suatu pengalaman unik yang tak terlupakan dan menurut saya tentunya bisa menjadi salah satu tourist attraction yang bisa ditawarkan kepada wisatawan.
So, bagi pembaca yang kebetulan berencana berpelesir ke Danau Toba, mungkin bisa ikut mencoba sedikit pengalaman saya yang sederhana ini di atas kapal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H