Awal tahun 2020 ini, keluarga kami harus mengalami kedukaan ketika akhirnya Opung Doli (kakek) dari pihak Bapak akhirnya dipanggil Tuhan. Sebenarnya kepergian Opung ini mungkin sudah kami "tunggu" karena semakin hari kondisi Opung semakin menurun mengingat usianya yang sudah sangat lanjut.
Beruntunglah saya karena saya masih berkesempatan untuk ikut pulang kampung bersama keluarga (kebetulan ada acara keluarga juga), sehingga saya juga bisa berkunjung ke rumah Opung setelah sekian lama. Karena itu saya juga sempat bertatap muka dengan Opung saat pergantian tahun. Meskipun awalnya dia kelihatan lupa dengan saya saking banyaknya cucu yang dia miliki. Hihihi..
Saat itu, Opung masih bisa duduk (walau harus dibantu), bahkan masih bisa minum anggur favoritnya. Dan ternyata itulah terakhir kalinya saya melihat Opung membuka mata.
Hingga awal Januari 2020, seluruh anak-anaknya yang mayoritas tinggal di Jakarta berganti-gantian pulang ke kampung untuk menengok Opung.Â
Hal ini karena kebetulan kami semua tidak bisa berkumpul sekaligus saat tahun baru seperti kebiasaan yang sudah-sudah. Hingga akhirnya tanggal 7 Januari kemarin, kami menerima kabar duka dari Namboru (Tante) yang kebetulan ada di sana menemani Opung di saat-saat terakhir.
Maka dalam waktu kurang lebih tiga hari berikutnya, dipersiapkanlah upacara adat pemakaman untuk Opung. Seluruh keluarga dari tanah perantauan pun mulai berdatangan ke Onan Runggu (kampung Opung) di Pulau Samosir, untuk menghadiri upacara adat pemakaman.Â
Jadi kalau ada yang bertanya mengapa upacara pemakaman di kampung banyak yang diadakan berhari-hari setelah kepergian almarhum, salah satunya ya karena menunggu seluruh pihak keluarga tiba di tempat.
Dalam adat Batak, Opung sudah tergolong Saurmatua Bulung, di mana ia sudah memperoleh cucu dari seluruh anak laki-laki dan perempuannya, bahkan cicit.Â
Dalam usia kematiannya yakni 95 tahun, ia sudah memiliki 4 anak laki-laki dan 4 parumaen (menantu perempuan), 3 boru (anak perempuan) dan 3 hela (menantu laki-laki), 18 cucu dan 3 cicit.
Sebenarnya ada beberapa klasifikasi kematian dalam adat orang Batak berdasarkan tingkatannya. Mulai dari Mate di bortian (meninggal saat masih di dalam kandungan), Mate Poso-poso (meninggal saat masih bayi), Mate Dakdanak (meninggal saat masih anak-anak), Mate bulung (meninggal saat remaja), Mate Ponggol (meninggal saat sudah dewasa namun belum menikah), Mate Punu (meninggal saat sudah menikah namun belum punya anak), Mate Mangkar (meninggal dengan meninggalkan anak-anak yang belum menikah).
Kemudian Mate Hatungganeon (meninggal saat anaknya sudah dewasa dan/menikah namun belum bercucu), Mate Sarimatua (meninggal saat sudah memiliki cucu namun masih ada anaknya yang belum menikah), Mate Saurmatua (meninggal saat semua anaknya sudah menikah namun tidak harus bercucu dari semua anaknya), Mate Saurmatua Bulung (meninggal saat sudah beroleh cucu dari semua anaknya, bahkan memperoleh cicit dari cucunya) dan terakhir Mate Saurmatua Mauli Bulung (meninggal saat sudah beroleh cucu dari semua anak, memperoleh cicit dan tidak ada satupun keturunannya tersebut meninggal mendahuluinya).
Mengapa harus pesta besar?
Dulu saya ingat ada yang pernah bertanya begini pada saya, "Kenapa sih kalau acara pemakaman adat orang Batak harus membuat pesta besar dan bisa berlangsung berhari-hari?"
Jawaban saya selalu sama yaitu "Tergantung bagaimana status orang yang meninggal". Status yang saya maksud di sini terkait bagaimana posisinya dalam keluarga seperti yang sudah saya singgung di atas. Pesta adat pemakaman yang besar biasanya diadakan untuk orang Batak yang meninggal Saurmatua.
Dalam adat Batak Mate Saurmatua (Saurmatua bulung & Saurmatua Mauli Bulung) dianggap kematian paling ideal, meskipun saat ini orang Batak banyak yang sudah lebih realistis jika menyangkut usia, sehingga mereka berharap paling tidak mengalami kematian Sarimatua. Hal ini menandakan bahwa seluruh tugas almarhum dalam keluarganya (termasuk membesarkan hingga menikahkan anak-anaknya) sudah tuntas dan memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan.
Oleh sebab itu justru upacara adat kematian Saurmatua diadakan dengan meriah seperti layaknya pesta pernikahan. Mengundang banyak tamu, Manortor (menari Tortor), dan menggunakan alat musik Gondang. Pesta ini juga menjadi bentuk rasa syukur keluarga karena Tuhan telah memelihara almarhum dengan memberikan umur yang panjang.
Dalam adat Batak, pemotongan kerbau saat pemakaman seseorang yang sudah Saurmatua akan memberikan kesan positif bagi keluarga almarhum. Misalnya, melambangkan bahwa seluruh keturunannya telah sukses di tanah perantauan. Namun intinya kembali lagi pada kemampuan masing-masing keluarga. Daging kerbau inilah yang kemudian diolah dan diberikan kepada para tamu sebagai sajian.
Selain penyembelihan kerbau, diadakan juga musyawarah untuk membahas teknis acara adat dan pemakaman esok harinya (Martonggo Raja) yang umumnya diadakan sore hari hingga selesai.
Sebenarnya seluruh persiapan dibahas dalam acara Martonggo Raja, tapi umumnya hal-hal seperti pengadaan peti mati, penyewaan parmusik (Gondang), catering, lokasi penguburan sudah siap lebih dulu. Jadi saat Martonggo Raja tinggal membahas teknis acara adat, susunan acara, pemberian Ulos dan lainnya.
Jauh Dari Kesan Kesedihan
Well, ya namanya juga dukacita pastilah akan ada tangisan dari keluarga almarhum yang ditinggalkan. Mulai dari hari pertama saat para tamu yang melayat datang, saat satu per satu anggota keluarga tiba dari tanah perantauan, hingga saat acara perpisahan pada malam sebelum upacara adat.Â
Begitu juga saat pemberian Ulos Saput dan Ulos Tujung. Ulos Saput diberikan oleh pihak Tulang/saudara laki-laki Ibu untuk menyelimuti jenazah. Sedangkan Ulos Tujung diberikan kepada pasangan almarhum dengan tujuan penghiburan.Â
Upacara adat pemakaman di kampung umumnya digelar di halaman terbuka. Dan karena kebetulan Opung memiliki tanah bebas di sekeliling rumah, maka acara adat dilaksanakan di halaman yang sudah dipasangi tenda.
Usai pemberian Ulos Saput dan Ulos Tujung, peti mati dibawa ke halaman terbuka untuk pelaksanaan adat. Seluruh keturunannya akan berdiri di sekeliling peti untuk menyambut tamu-tamu yang datang.
Semasa hidupnya, Opung dikenal sebagai kepala sekolah sekaligus orangtua yang bijak, menyayangi dan menghormati keluarganya. Dia juga suka memberikan nasihat dan berkhotbah mengingat peran aktifnya di gereja.
Jadi alih-alih ratap tangis dan kesedihan, justru sukacitalah yang terpancar dari kami saat menyambut para tamu dan keluarga yang datang membawa tandok berisi beras, Manortor, pembagian Jambar (hak bagian) seperti daging (Jambar Juhut), kesempatan berbicara (Jambar Hata) dan uang (Jambar Hepeng), hiruk-pikuk pihak parhobas (orang-orang yang bertugas menyiapkan makanan dan lain-lainnya), dan kemeriahan dari musik yang mengiringi tarian Tortor kami. Karena kebetulan Opung menganut Pentakosta, alat musik gondang yang kurang familiar digantikan dengan alat musik modern. Full band pastinya.
Jangan ditanya berapa biaya yang dihabiskan untuk mengadakan pesta Saurmatua. Kalau dihitung-hitung bisa setara biaya pesta pernikahan di Jakarta. Namun lagi-lagi bukan soal biayanya, tapi lebih kepada ungkapan syukur keluarga yang berharap doa dari seluruh tamu dan keluarga yang datang supaya seluruh keturunan almarhum hidup rukun dan damai.
Selamat jalan ya Opung Doli.. Sampaikan salamku untuk Opung Boru di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H