"Gimana Kak, aku udah cocok belum?" tanya salah seorang sepupu jauh yang akan lulus kuliah dalam waktu dekat. Saat itu kebetulan kami sedang ikut acara kumpul-kumpul keluarga.
"Cocok" yang dimaksud adalah penampilannya saat dia menggendong anak dari sepupu jauh saya yang lain, yang usianya belum genap 1 tahun. Wajah sepupu saya itu sumringah, mungkin karena ia juga senang melihat anak kecil.
Sambil bergurau saya tanyalah sepupu saya itu, "Memang abis lulus mau langsung merit?"
"Ya kalau ada yang cocok kenapa nggak?" jawabnya. Entah perkataannya itu serius atau tidak.
Saya jadi ingat dulu sebagian besar teman saya, baik teman SMA maupun kuliah, banyak yang menikah di usia muda. Pokoknya paling lambat selang satu atau dua tahun setelah lulus kuliah, mereka langsung menikah.Â
"Ya biar umur gue sama anak gue gak jauh-jauh amat. Kan asik tuh kalo kelihatan gak beda jauh sama anak sendiri", kira-kira begitulah alasan mereka kalau ditanya kenapa ingin cepat menikah.
Maka tidak heran, saat saya masih sibuk dengan pekerjaan, media sosial saya dibanjiri foto pre-wedding mereka dan kemudian undangan pernikahan pun berdatangan seperti laron (oke, soal laron ini agak lebay).
Jujur saat saya masih seumuran sepupu saya itu, tidak pernah terpikir sekalipun oleh saya untuk cepat-cepat menikah, karena menurut saya pernikahan butuh persiapan super matang. Mulai dari mental, fisik hingga finansial. Kalau saya sendiri merasa belum yakin dengan ketiga hal tersebut, saya tidak mau repot-repot ambil risiko.
Sebaliknya, justru saat itu yang saya inginkan adalah berkarir dan merasakan bagaimana rasanya punya penghasilan sendiri. Menabung untuk mencapai impian saya yaitu membeli sebuah rumah, melanjutkan kuliah S2, sampai traveling ke negara-negara yang sudah lama saya impikan untuk dikunjungi.
Dan sebagai bentuk terima kasih, saya juga ingin "membalas" jerih payah orangtua yang sudah menyekolahkan saya hingga lulus apoteker. Meski saya tahu sebanyak apapun yang saya berikan, mungkin tidak bisa membalas kebaikan kedua orangtua saya secara total. Tapi tetap saya ingin mereka bisa merasakan hasil jerih payah saya.
Puji Tuhan, beberapa impian saya sudah tercapai, dan mungkin ada jalan lain dari Tuhan supaya saya bisa meraih impian saya yang lainnya. Karena target-target saya itulah, saya boleh dikatakan termasuk batch terakhir dari teman-teman seangkatan saya yang menikah.
Saya akui sebagian masyarakat kita saat ini masih beranggapan bahwa sebaiknya wanita tidak boleh terlalu lama single alias jomblo. Bahkan orangtua biasanya sudah mulai harap-harap cemas jika anak perempuannya belum menikah, padahal usia sudah mendekati kepala tiga. Dan mereka pun akan sibuk kesana-kemari mencarikan jodoh yang kira-kira cocok.
Well, menurut saya idak ada yang salah dengan langsung menikah atau berkarir dulu selepas kuliah. Namun perlu dicatat sebelum mengambil keputusan di antara kedua pilihan tersebut, harus betul-betul dipikirkan. Mulai dari kesungguhan berkomitmen hingga persiapan untuk berumah tangga.
Menikah Dulu
Seperti yang sudah saya singgung tadi, menikah memerlukan persiapan matang terkait mental, fisik dan finansial.
Baik wanita maupun pria harus memiliki mental yang kuat dalam menjalani hidup berumah tangga. Jangan hanya mau senangnya, tapi juga harus siap dengan kemungkinan munculnya badai-badai khas rumah tangga.Â
Biasanya setelah menikah, sifat asli masing-masing akan muncul satu demi satu, baik maupun jelek. Siapkah pasangan memahami satu sama lain? Di saat salah satu mengalami kesusahan, sanggupkah yang lain mengesampingkan ego dan memberikan dukungan tanpa memalingkan muka?
Selain mental, fisik juga menjadi salah satu yang harus disiapkan. Saat dua orang bersatu, bukan berarti beban kehidupan auto-ringan karena berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Setelah menikah, justru akan ada banyak pekerjaan yang harus dijalani. Mulai dari pekerjaan di luar, pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, bersosialisasi dengan anggota keluarga baru, kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya. Sanggupkah pasangan membagi waktu dan menjalani semuanya dengan seimbang?
Memang sekarang bukan zamannya lagi pria bekerja di luar mencari nafkah sementara istri mengurus rumah dan melayani keluarga.Â
Saat ini sudah banyak pria yang terbuka jika istrinya ingin tetap bekerja setelah menikah. Tapi tetap saja si wanita harus berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Mendukung suaminya, membimbing anak-anak, mengurus rumah dan lainnya.Â
Begitu pun pria, berusaha bersikap layaknya seorang suami yang bisa memimpin keluarga, mendukung istrinya, menafkahi keluarga dan lainnya. Namun sebaiknya suami juga ikut berpartisipasi dalam pekerjaan rumah tangga.
Dalam hal pekerjaan rumah tangga pun keduanya harus bisa membagi tugas. Jangan sampai masing-masing maunya dilayani. Apalagi kalau keduanya sama-sama bekerja, atau salah satu sambil kuliah.Â
Sudah lelah karena pekerjaan di luar rumah dan tugas kuliah, jangan sampai pekerjaan rumah tangga jadi beban karena masing-masing tidak mau saling membantu.
Setelah mental dan fisik dirasa siap, kondisi finansial juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Biasanya kemapanan finansial ini lebih ditujukan ke pihak pria (meskipun sekarang wanita juga sudah banyak yang mempersiapkan hal tersebut) karena dialah yang akan jadi kepala keluarga.
Maka tidak heran seorang pria yang ingin menikah akan bertanya pada dirinya sendiri "Bagaimana saya bisa menafkahi keluarga saya?"Jadi kalau si pria sendiri belum mapan (apalagi wanitanya juga), cepat atau lambat keuangan akan terus menjadi sumber masalah.Â
Ingat, berumah tangga bukan soal cinta semata. Kalau kondisi finansial belum mendukung, mau makan apa setelah menikah nanti? Makan tuh cinta. Well, memang uang bukan segalanya, tapi tanpa uang kita juga tidak bisa apa-apa ya kan?
Melanjutkan Sekolah atau Berkarir Dulu
Pilihan sebaliknya ini sejujurnya sesuai dengan pendapat ideal saya. Setelah lulus kuliah, saya lebih memilih melanjutkan sekolah (jika kondisi keuangan memungkinkan) atau bekerja.Â
Dengan demikian saya bisa memiliki banyak waktu untuk fokus mengembangkan diri, berkarir, memperluas pergaulan dan pandangan tentang hidup.
Banyak yang mengatakan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi sampai lama, karena toh ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. Eh tapi siapa bilang ibu rumah tangga tidak boleh sekolah tinggi-tinggi?Â
Kalau tidak sekolah, bagaimana bisa dia mendidik anaknya nanti? Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya? Bagaimana dia bisa mengatur keuangan rumah tangga?
Mereka yang memilih untuk fokus dengan studi dan/atau berkarir lebih dulu, umumnya akan lebih siap secara mental dan finansial dalam mengemban tanggung jawab setelah menikah nanti. Tapi dengan catatan mereka tidak menjalani masa muda mereka dengan hedon loh ya.Â
Kalau semasa muda terus-terusan menjalani gaya hidup di luar kemampuan ekonomi tanpa memikirkan investasi atau persiapan untuk masa depan, ya sama saja bohong.
Biasanya, di masa-masa awal kita bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, pastilah senangnya bukan main karena bisa membeli apapun sesuka hati.Â
Namun sejak saya mulai bekerja, mama saya selalu mengingatkan untuk tidak menghambur-hamburkan uang, melainkan ditabung untuk masa depan. Dan untungnya saya selalu nurut.
Selain itu, pengalaman menemui berbagai macam masalah dalam pekerjaan, bagaimana cara mencari solusinya, hingga bertemu dengan banyak orang yang memiliki beragam kepribadian dan pemikiran, lambat laun akan membentuk karakter seseorang lebih matang dan berpandangan luas dalam menjalani hidup.Â
Hal ini akan membuktikan bahwa kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari usia, melainkan dari cara dia berpikir, berbicara, bersikap dan menyelesaikan masalah.
Sisi negatifnya, mereka yang sedang berusaha mengejar karir di masa mudanya biasanya berisiko memiliki relasi yang kurang akrab dengan keluarga. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja. Tapi jika pintar mengatur waktu, saya yakin quality time dengan keluarga tidak akan terganggu.
Selain itu mereka yang fokus dengan berkarir lebih dulu, berisiko memiliki standar pasangan yang terlalu tinggi dan membuat mereka auto-picky alias pemilih.Â
Keadaan ekonomi, pengalaman buruk berelasi dengan pria, atau karena telah menyaksikan kehidupan rumah tangga orang lain yang buruk, membuat mereka "menaikkan" kriteria dalam mencari pasangan demi mencegah hal yang sama terjadi pada mereka. Saking pemilihnya, mereka tidak sadar usia semakin bertambah.
Memang tidak ada batas waktu yang baku untuk menilai seseorang terlambat menikah. Tapi perlu diingat bahwa semakin bertambah usia, kesehatan semakin berisiko menurun. Terutama wanita, yang memiliki risiko tinggi jika mengalami kehamilan di usia 40 tahun ke atas.
Jadi intinya yang mana dulu dong, menikah dulu atau karir dulu?
Seperti yang sudah saya singgung tadi, keduanya tidak ada yang salah. Keputusan ada pada setiap masing-masing individu, mana yang mau dijalani lebih dulu.Â
Hal terpenting, keputusan tersebut diambil setelah dipikirkan dengan matang sesuai dengan kesadaran dan kemampuan diri sendiri. Bukan karena soal tren, orangtua, keluarga besar, teman, apalagi tetangga.
Cherio!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H