Saya selalu bangga dengan Indonesia khususnya dalam hal kekayaan alam dan keanekaragaman hayatinya. Negara kita yang beriklim tropis ini memiliki begitu banyak koleksi flora dan fauna.
Baru-baru ini, kemenangan dua orang siswi SMA Negeri 2 Palangkaraya dalam ajang World Invention Creativity (WICO) di Seoul, Korea Selatan, membuat salah satu tanaman khas Kalimantan Tengah mendadak viral.
Ya, apa lagi kalau bukan tanaman Bajakah. Dalam kompetisi tersebut, bagian akar tanaman Bajakah disebutkan berkhasiat sebagai obat kanker payudara setelah diteliti kandungan fitokimianya yang mampu menghilangkan tumor pada hewan coba (tikus). Mereka bahkan berhasil membawa pulang medali emas sebagai tanda kemenangan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium, Tanaman Bajakah yang memiliki nama Latin Spatholobus littoralis Hassk ini diklaim mengandung puluhan jenis senyawa fitokimia seperti Flavonoid, Tanin, Alkonoid, Tepenoid, Saponin, Fenolik dan Steroid.
Kandungan senyawa-senyawa inilah yang diklaim mampu menyembuhkan kanker pada hewan coba. Caranya yakni dengan membuat rajangan (tanaman dikeringkan di bawah sinar matahari, dicacah, kemudian direbus). Air rebusan inilah yang kemudian dikonsumsi (diberikan pada hewan coba).
Tanaman Bajakah ini memang sudah dikenal digunakan oleh nenek moyang suku Dayak secara empiris (turun-temurun) sebagai obat. Namun jika kita menyebut Bajakah sebagai obat kanker, kelihatannya masih terlalu dini. Mengapa? Karena tanaman tersebut baru diuji pada hewan coba. Padahal untuk dapat mengklaim suatu obat baru, ada serangkaian proses pengujian yang harus dilalui.
Tahap-Tahap Penemuan Obat Baru
Secara umum, penemuan suatu obat baru (baik yang berasal dari senyawa kimia sintetis maupun alami) memerlukan proses penelitian yang sangat panjang.
Perlu saya tekankan disini, obat berbahan alami (Obat Bahan Alam) di Indonesia dibagi menjadi 3 kategori yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka. Baca perbedaannya pada artikel saya disini.
Tujuan pengujian ini tentunya adalah untuk memastikan efficacy (khasiat), safety (keamanan) dan quality (mutu) suatu obat baru. Sebisa mungkin saya akan berusaha menjelaskan tahapan-tahapan ini dengan bahasa yang mudah dimengerti. Apa saja itu?
Uji Pre-Klinik
Tahap ini dilakukan dengan menguji calon obat baru pada hewan coba dan bertujuan untuk mengevaluasi keamanan suatu obat baru. Hewan coba yang baku digunakan adalah galur tertentu. Â Bisa berupa mencit, hamster, tikus, kelinci, anjing atau bahkan primata. Umumnya ada tiga jenis uji dalam Uji Pre-Klinik:
1. Uji Eksperimental In Vitro
Ekstrak atau senyawa obat diberikan pada kultur sel atau mikroba, kemudian diamati efek yang ditimbulkan.
2. Uji Eksperimental In Vivo
Ekstrak atau senyawa obat diberikan pada hewan coba yang telah disebutkan tadi, kemudian diamati efek yang ditimbulkan.
Uji toksisitas bertujuan untuk mempelajari efek toksik (beracun) dari suatu senyawa. Efek toksik ini  bisa berupa efek karsinogenik (pemicu kanker), teratogenik (berbahaya pada janin), mutagenik (perubahan rantai genetik), dan lainnya.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM nomor 7 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo, Uji Toksisitas ini mencakup 10 jenis. Namun yang paling umum dilakukan adalah Uji Toksisitas Akut dan Uji Toksisitas Subkronik.
Uji Toksisitas Akut (LD50), bertujuan untuk mendeteksi efek toksik suatu zat yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian dosis tunggal atau dosis berulang dalam waktu 24 jam. LD50 atau Lethal Dose 50 berarti dosis maksimal yamg dapat menyebabkan kematian pada 50% hewan uji.
Sedangkan Uji Toksisitas Subkronik, bertujuan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian suatu dosis setiap hari selama 28 atau 90 hari.
Jika calon obat baru tidak lulus Uji Pre-Klinik, maka calon obat baru tersebut tidak bisa dilanjutkan ke Uji Klinik.
Uji Klinik
Setelah lulus dalam Uji Pre-Klinik, barulah calon obat baru diperbolehkan untuk dicobakan pada manusia. Dan ada empat fase Uji Klinik yang harus dilalui:
Fase I
Pada fase ini, calon obat diuji pada sekelompok sukarelawan sehat (misal 25 -- 50 orang).
Fase II
Pada fase ini, calon obat diuji pada sekelompok pasien (misal 100-200 orang), kemudian diamati efek yang ditimbulkan. Uji Klinik Fase II ini dipisahkan menjadi Fase IIA (untuk menentukan dosis) dan Fase IIB (untuk menentukan khasiat obat).
Fase III
Uji Klinik Fase III melibatkan sekelompok besar pasien (misal 300-3000 orang) yang ditentukan secara random (acak), kemudian diamati efek yang ditimbulkan.
Setelah calon obat terbukti berkhasiat dan aman, barulah obat tersebut dizinkan untuk diproduksi oleh industri dan dipasarkan. Tentunya sebelum dipasarkan, obat baru tersebut harus didaftarkan dan dievaluasi lebih dulu oleh pihak otoritas terkait. Misalnya BPOM (Indonesia), US FDA (Amerika Serikat), TGA (Australia), MHRA (Inggris), dan lainnya.
Uji Klinik Fase IV dilakukan setelah obat dipasarkan, sehingga disebut juga dengan Studi Pasca-Pemasaran (Post-Market Surveillance). Mengapa? Bukankah obat yang sudah dipasarkan berarti sudah disetujui oleh otoritas terkait dan terjamin khasiat dan keamanannya?
Jadi begini, walaupun suatu obat baru telah lulus serangkaian penelitian dan pengujian yang ketat, tapi ketika obat tersebut dikonsumsi oleh seluruh orang dunia dengan usia dan ras yang beragam, itu berarti cakupan pemakainya lebih luas lagi. Maka bisa jadi ada efek samping tertentu yang tidak muncul saat Uji Klinik sebelumnya.
Oleh sebab itu, pasien yang mengalami efek samping yang tidak disebutkan dalam brosur obat, wajib melaporkan kepada produsen atau pihak otoritas terkait. Hal ini disebut juga dengan istilah Farmakovigilans.
Jika ada banyak laporan dan dinilai obat tersebut membahayakan, bukan tidak mungkin obat tersebut akan ditarik dari peredaran (recall). Beberapa contoh obat yang ditarik dari peredaran setelah obat tersebut beredar di pasar misalnya, Cerivastatin (Antihiperkolesterolemia) ditarik karena dapat merusak ginjal (nefrotoksik), Talidomid (antimual) yang dapat menyebabkan cacat janin (teratogenik), dan lainnya.
Mematenkan Obat Baru
Setelah viralnya tanaman Bajakah ini, diberitakan banyak muncul seruan untuk mematenkan tanaman tersebut. Perlu dicatat bahwa mematenkan suatu obat tujuannya lebih terkait ke komersil. Tentunya selama proses penelitian yang begitu lama, suatu perusahaan telah mengeluarkan banyak sekali biaya.
Jangan membayangkan proses ini berjalan sangat mulus tahap demi tahap. Proses ini bisa memakan waktu belasan hingga puluhan tahun. Dimulai dari penentuan senyawa (secara sintetis atau mengambil isolat dari bahan alam), formulasi, uji stabilitas, dan seterusnya hingga Uji Klinik selesai.Â
Setiap tahapan bisa jadi harus diulang berkali-kali. Itulah mengapa pengembangan obat baru biasanya lebih lambat daripada perkembangan penyakit baru, karena waktu yang dibutuhkan untuk penemuan obat baru memang sangat lama dan membutuhkan modal yang tinggi. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri di dunia kesehatan.
Jadi boleh dikatakan Paten menjadi suatu hak eksklusif suatu pihak  yang telah berhasil menemukan senyawa atau obat baru tersebut. Tidak heran juga, harga obat originator (istilah untuk menyebut obat baru yang sudah dipatenkan) biasanya sangat mahal. Masa paten umumnya berlangsung 20 tahun. Jadi selama masa paten belum berakhir, siapapun tidak boleh memproduksi obat yang sama.
Jika tanaman Bajakah hendak dipatenkan sebagai obat baru untuk menyembuhkan kanker, tentunya merupakan suatu hal yang luar biasa. Namun seperti yang sudah banyak diberitakan, Bajakah mengandung banyak sekali senyawa Fitokimia. Nah, pihak inventor harus menentukan secara spesifik senyawa apa saja yang benar-benar memiliki khasiat sebagai antikanker, berapa dosisnya, bentuk sediaannya, dan lain sebagainya.
Semoga pembaca sekalian kini bisa memahami kira-kira sepanjang apa perjalanan yang harus dilalui oleh suatu obat baru untuk dapat diklaim dapat menyembuhkan penyakit. Seluruh tahap ini tentunya untuk memastikan Safety (keamanan), Efficacy (khasiat) dan Quality (mutu) obat.
Meski demikian, sekali lagi penemuan ini sangat perlu diapresiasi dengan cara melakukan penelitian lebih lanjut. Jika memang Bajakah memiliki potensi besar sebagai obat kanker, tentunya akan menjadi sebuah terobosan besar dalam sejarah pengobatan, khususnya di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H